Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jumayati masih ingat pengalaman dia berjuang sembuh dari penyakit tuberkulosis, alias TBC. Bukan sekali, dua kali, namun ia sudah tiga kali berperang melawan penyakit mematikan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wanita kelahiran Desember 1977 ini pertama kali terjangkit TBC pada 1999. Kala itu, warga Bekasi ini masih menjadi pegawai di sebuah perusahaan di Cikarang, Kabupaten Bekasi. "Aku ketahuan TBC SO saat perusahaan melakukan cek kesehatan pada pegawai," katanya saat dihubungi Tempo pada 11 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tuberkulosis atau TBC adalah penyakit menular akibat infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. TBC umumnya menyerang paru-paru, tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lain, seperti ginjal, tulang belakang, dan otak.
TBC sendiri dibagi menjadi 2 jenis, yaitu TBC Sensitif Obat (SO) dan TBC Resisten Obat (RO). TBC SO adalah TBC yang biasanya menyerang paru-paru, namun bisa juga menyerang organ tubuh lain. Sementara TBC RO adalah TBC paru dan TBC ekstra paru yang telah kebal atau resisten terhadap obat pada lini pertama atau obat TBC SO sebelumnya. Yang menjadi pembeda antara kedua jenis TBC ini adalah lama pengobatannya, TBC SO bisa antara 6-12 bulan sementara TBC RO antara 6-24 bulan ternagunt resisten obat yang dialami.
Jumayati tidak tahu dari mana ia tertular penyakit itu. Namun ia terus mengikuti proses pengobatannya. Ia sendiri dinyatakan sembuh oleh dokter dari kantornya 6 bulan setelah meminum obat secara teratur. "Tapi aku tidak disuruh rontgen waktu itu. Pokoknya sudah sembuh karena sudah minum obat 6 bulan," katanya.
Ilustrasi Tuberkulosis atau TBC. Shutterstock
Jumayati mengira, ia sudah selesai 'berinteraksi' dengan penyakit tersebut. Namun ternyata ia salah. Jumayati harus kembali menjalani pengobatan TBC pada 2012. Kali ini, ia terkena TBC RO. Jumlah obat yang dia harus telan kali ini lebih banyak disbanding saat terkena TBC SO.
Wanita yang sudah berhenti dari kantornya di Cikarang ini, pun perlu mendapatkan pengobatan suntik setiap hari di rumah sakit besar. "Totalnya aku dapat 60 kali suntikan dalam 2 bulan. Tapi aku minum obat sampai 9 bulan lamanya," kata Jumayati yang sudah dinyatakan sembuh juga oleh dokter pada penularan TBC untuk yang kedua kalinya.
Ia mengira, ia sudah aman beraktivitas dan tidak perlu menghiraukan 'kedatangan' penyakit TBC lagi. Namun ia salah. Jumayati harus kembali 'berperang melawan TBC pada 2016. Parahnya lagi, kala itu, Jumayati sedang mengandung 3 bulan. "(TBC) Saya kambuh lagi saat saya hamil. Kali ini lebih parah karena saya sampai alami batuk berdarah," kata Jumayati.
Ilustrasi Tuberkulosis atau TBC. Shutterstock
Masih jelas ingatan Jumayati ketika batuk berdarah di wastafel rumah sakit. Kala itu, ia berniat sedang memeriksakan kandungannya. Namun gatel di tenggorokan akibat batuknya tidak tertahan hingga yang keluar dari tenggorokannya, bukan dahak namun darah. "Darah yang keluar saat batuk tidak hanya darah, tapi seperti ada daging yang keluar juga. Saya saja ngeri melihatnya," kata Jumayati.
Warna merah pekat memenuhi wastafel rumah sakit. Jumlahnya pun banyak. "Saya sudah nyaris pingsan, dan akhirnya dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD)," kata Jumayati yang akhirnya dirawat selama sepekan akibat insiden itu.
Selain batuk berdarah, Jumayati juga merasakan sesak di dada. Saat itu, dokter menyarankan wanita yang berdomisili di Kota Bekasi ini untuk berobat ke RS Persahabatan, Jakarta. Kepada dokter, ia mengadu soal kekhawatirannya terhadap dampak TBC ke janinnya. "Tidak mudah ikuti pengobatan TBC saat sedang mengandung, tapi sebenarnya bisa tetap dilakukan," kata Jumayati.
Sebelum mengikuti pengobatan TBC RO kali ini, Jumayati harus diperiksa mata, telinga, darah dan hampir seluruh tubuhnya. Saat diminta rontgen pun Jumayati, harus 'nebeng' ke rumah sakit yang memiliki alat rontgen khusus untuk ibu hamil. "Hal ini beda dengan TBC SO dulu. Untuk memulai pengobatan di TBC SO, saya hanya diperiksa dahak dan rontgen paru saja," kata Jumayati.
Menjalani pengobatan TBC saat hamil, sangat menantang bagi Jumayati. Sebagai pasien TB RO, ia kembali harus minum obat langsung dari rumah sakit. Sering kali ia naik ojek dari Bekasi hingga Rawamangun hanya untuk minum obat. Batuk berdarah terus dialaminya beberapa kali di masa pengobatan itu. Tak jarang pula, batuk berdarah datang saat malam hari. Kalau sudah seperti itu, Jumayati akan langsung diantar ke rumah sakit, dan akhirnya harus menjalani rawat inap. Tidak jarang pula HB darahnya dinyatakan rendah saat hamil. Ia pun beberapa kali harus transfusi darah karena kondisinya itu. "Selama alami TBC RO pada 2016, aku bolak balik dirawat di rumah sakit," katanya.
Tantangan lain yang menjadi masalah adalah berat badannya yang cukup kecil. Kala hamil, berat badannya hanya 50 kilogram. Sebagai pasien TBC yang sedang hamil, Jumayanti dipantau sangat ketat oleh para dokter dari berbagai spesialisasi. Ada dokter spesialis paru yang memantau perkembangan masalah TBC yang dialaminya, ada pula dokter spesialis obstetri dan ginekologi yang memantau perkembangan janinnya. Selain itu, ada pula dokter gizi yang memantau kondisi asupan gizinya.
Pengobatan TBC yang dilakukan selama hamil, kata Jumayati, lebih banyak dilakukan dengan obat oral. Namun ketika wanita ini sudah melahirkan, pengobatan TBC dilakukan selain obat oral, ada pula dengan obat suntik.
Perjuangan Jumayati melawan TBC setelah melahirkan belum berhenti. Oleh dokter, ia tidak dibolehkan memberikan air susu ibu untuk anaknya. Beberapa saat setelah melahirkan pun, berat badannya terus turun hingga 27 kilogram. Akibatnya, ia tidak boleh menggendong anaknya, karena khawatir ia tidak berdiri dengan stabil. Sehingga suami dan orang tuanya lah yang merawat bayinya yang baru lahir.
Ilustrasi kuman tuberculosis atau TBC (pixabay.com)
TBC yang menular lewat udara, membuatnya wajib menggunakan masker sepanjang hari selama di rumah. Ia pun tidak boleh dekat-dekat dengan anak-anaknya. Ia juga tidak boleh bersosialisasi dengan tetangga karena khawatir menularkan penyakit tersebut.
Tantangan untuk meminum obat pun terus terjadi. "Saking banyaknya obat yang harus diminum, rasanya itu seperti ngefly. Pusing dan mual saat minum obat itu terus bermunculan. Belum lagi terkadang jadi halusinasi dan juga depresi," katanya.
Jumlah obat yang ia minum selama menjalani pengobatan TBC RO pun tidak main main. Saat hamil, ia hanya minum 9 butir obat per hari. Setelah melahirkan, ia mengkonsumsi 17 butir obat setiap hari. Demi bisa terus menelan obatnya, Jumayati mencari berbagai cara. Terkadang ia mengkonsumsi obat dengan pisang, lain waktu itu sambil ngemil makanan lain. "Rasanya sudah enek sekali minum obat. Tapi semua harus ditelan. Bahkan kalau muntah, minum obatnya harus mulai dari awal lagi," katanya mengenang masa itu.
Perlahan tapi pasti, hasil pengobatannya membuahkan hasil. Berat badannya terus naik secara berkala. "Naiknya setiap bulan satu kilogram, sampai akhirnya pada bulan ke-20, berat badan aku mencapai 55 kilogram. Naik terus sampai sekarang sekitar 60 kilogram," katanya.
Ia merasa beruntung mendapatkan sistem pendukung yang baik dalam menjalani pengobatan TBC. Suaminya, terus menyemangatinya dan mau mengantarnya untuk berobat ke RS Persahabatan di sela-sela ia mencari nafkah. Tidak jarang pula suaminya mengurus pekerjaan rumah, saat kondisi Jumayati yang terkadang sangat lemah. Orang tua dan mertua nya pun mau ikut membantu mengurus anak-anak Jumayati ketika ia harus menjaga jarak agar tidak menularkan penyakit ini ke buah hati. "Yang menguatkan hari-hari saya ya keluarga. Saya mau sembuh dan mau sehat demi anak-anak saya," katanya tidak putus harapan.
Setelah dinyatakan sembuh dari TBC, Jumayati aktif memberikan pendampingan kepada pasien TBC lain. Pengetahuannya dan pengalamannya berperang melawan TBC kerap menjadi penyemangat pasien TBC lain untuk tidak putus menjalani pengobatan. "Biasanya aku diminta menjadi pendamping pasien TBC yang sedang hamil. Jumlah mereka saat ini pun semakin banyak," kata Jumayati yang saat ini menjabat sebagai Ketua PETA (Pejuang Tangguh) Jakarta. Organisasi PETA terdiri dari para penyintas TBC RO.
Jumayati adalah satu dari ribuan kasus pasien TBC di Tanah Air. Indonesia sendiri adalah negara ketiga dengan kasus TBC terbanyak di dunia setelah India dan Cina. Indeks kasus tuberkulosis di Indonesia mencapai 824 ribu kasus per tahun dengan jumlah kematian mencapai 93 ribu per tahun
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi mengatakan timnya terus melakukan berbagai upaya untuk mengatasi TBC di Indonesia. Salah satu capaiannya adalah kasus TBC yang tidak terlaporkan terus menurun. Di tingkat non puskesmas, misalnya, kasus yang tidak terlaporkan saat ini diperkirakan hanya 19,6 persen. Padahal dibanding 2017, angkanya mencapai 70,7 persen. "Artinya semakin berkurang jumlah kasus TBC yang terdeteksi tapi tidak terlaporkan di sistem surveillance nasional," kata Imran dalam acara Dialog nasional: Lika-Liku Public-Private Mix pada 24 Juli 2024.
Imran pun menambahkan ada 3 indikator sukses penanganan TBC yang selalu dipantau setiap bulan. Pertama adalah penemuan kasus, kedua rasio keberhasilan pengobatan, terakhir terapi pencegahan TBC (TPT) kontak serumah. Ketika persentase penemuan kasus dan rasio keberhasilan pengobatan mencapai 90 persen, terapi pencegahan TBC hanya mencapai 48 persen pada 2024. "Saat ini yang paling rendah itu, terapi pencegahan. Itu yang harus terus kita dorong bersama," katanya.
Ilustrasi Tuberkulosis atau TBC. Shutterstock
Imran pun mengatakan saat ini tim Kementerian Kesehatan sudah bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dalam mengatasi TBC di bawah payung Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Hal ini sebagai acuan agar kementerian lembaga, pemerintah daerah provinsi serta kabupaten/kota, hingga perangkat desa serta pemangku kepentingan ikut terus melakukan upaya untuk menanggulangi TBC. "Aturan ini membuat Menteri Dalam Negeri absen dan minta kepala daerah aware (soal masalah TBC). Juga membuat dinas kesehatan mengejar ketertinggalan dalam mengatasi kasus TBC," katanya.
Saat ini, timnya sedang melakukan pembicaraan dengan World Bank soal pembiayaan penanggulangan TBC di tingkat fasilitas layanan kesehatan primer. "Kami sedang mencoba mekanisme insentif. Agar penderita TBC tidak perlu merujuk ke rumah sakit, jadi sebisa mungkin kasusnya diselesaikan di tingkat fasyankes primer. Hal ini mendekatkan pelayanan ke masyarakat," katanya.
Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia (STPI) Henry Diatmo mengingatkan penting agar ada komunikasi antar lembaga dalam menangani kasus TBC. "Pemerintah dan fasilitas layanan kesehatan perlu tingkatkan cara berjejaring mereka. Jangan sampai pasien merasa kecewa karena dioper-oper (ke puskesmas, atau ke rumah sakit), dalam penanganan TBC mereka," kata Henry.
Ilustrasi obat Tuberkulosis atau TBC. Shutterstock
Ia pun mendukung adanya kerja sama antara Kemenkes dan Kemendagri dalam hal monitoring kasus TBC. Walau begitu, ia berharap kedua kementerian ini bisa lebih jeli memantau para kepala daerah dalam hal perencanaan dan penganggaran penanganan TBC. "Biasanya yang terjadi, anggaran kesehatan daerah meningkat, tapi anggaran mengatasi kasus TBC masih sangat kecil," katanya terus mempertanyakan para kepala daerah dalam komitmen atasi TBC.
Henry mengatakan, timnya pun sudah bekerja sama dengan Kementerian kesehatan dalam membuat wadah untuk menganalisa kebijakan pemerintah daerah dalam menangani TBC. "Namanya Policy Tracker. Kami mau tahu sejauh mana komitmennya. Sudah ada kebijakan TBC kah? Sudah sejauh mana? Kalau belum, kenapa?" kata Henry.
Ia berharap akan semakin banyak pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang semakin fokus membuat kebijakan dalam atasi TBC di daerahnya masing-masing.