PENYAKIT yang menyerang mantan presiden Soeharto sebenarnya juga banyak diderita orang lain. Namun, karena kali ini yang sakit adalah bekas orang terkuat di negeri ini, tak aneh jika banyak orang ingin mengetahuinya. Tak ada salahnya, memang, mengikuti kesehatan Soeharto. Dari pengalaman sakitnya—hingga dua kali masuk rumah sakit dalam waktu berdekatan—orang bisa belajar banyak.
Sakit apakah Pak Harto? Mula-mula ia dikabarkan mendapat stroke Juli lalu, sehingga harus dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta. Salah satu penyebab stroke itu diduga adalah tersumbatnya aliran darah di otak atau disebut arteries diseases (gangguan pembuluh darah). Agar aliran darah ke otak kembali lancar, tim dokter mengambil keputusan memberi Soeharto obat-obatan pengencer darah dan pencegah penggumpalan.
Siapa sangka, setelah pulang dan dirawat di rumah, beberapa hari kemudian jenderal besar itu masuk rumah sakit lagi. Kali ini, ia mengalami perdarahan pada saluran pencernaannya. Menurut sumber TEMPO, perdarahan pada saluran pencernaan tersebut justru disebabkan oleh obat-obatan yang diminumnya. Obat pengencer darah yang diberikan ke Soeharto ternyata mengakibatkan usus besarnya yang sudah luka (divertikel) mengucurkan darah terus-menerus. Padahal, "Luka itu sebenarnya kecil dan berdiameter sekitar tiga milimeter," kata si sumber. Sebelumnya, luka di usus besar itu tidak diketahui tim dokter, dan Pak Harto bahkan sempat hendak dioperasi.
Tim dokter lantas memutuskan agar Soeharto lebih banyak mengonsumsi obat-obatan yang berfungsi menyumbat darah, di antaranya adona AC 17 (untuk menghentikan pendarahan), ethoxysclerol (suntikan penyumbat pembuluh darah saluran pencernaan), emineton (perangsang kemampuan membuat butir darah), vitamin K (vitamin yang membantu menghentikan pendarahan), dan beriplast (semprotan penghenti pendarahan). Untuk obat pencegah penggumpalan, yang semula dua macam, kini hanya heparin yang diberikan kepada Soeharto.
Stroke dengan efek samping seperti yang dialami Pak Harto itu sebenarnya cukup rumit karena pengobatannya bertentangan. Dalam istilah sumber TEMPO, "Kalau bagian atasnya (penyumbatan aliran darah di otak) diberesi, yang bawah (perdarahan usus) bisa kumat. Begitu pula sebaliknya." Karena itu, tim dokter berusaha secermat mungkin dalam memberikan obat.
Toh, kondisi kesehatan Pak Harto yang cepat membaik, menurut sumber TEMPO, tergolong sangat jarang terjadi pada penderita stroke pada umumnya. Bahkan, ia menyatakan ketakjubannya. Sebab, apabila kondisi itu terjadi pada orang kebanyakan, biasanya penyakit ini berubah makin rumit. Sementara itu, Soeharto masuk rumah sakit hari Sabtu, tapi pada hari Senin kondisinya sudah terkontrol.
Menurut Dr. Lukman Hakim, Ketua Pusat Informasi Obat Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, komplikasi seperti yang dialami Soeharto sangat mungkin terjadi akibat banyaknya obat yang diberikan kepadanya. Dan memang, ketika sakit, Pak Harto mendapat sekitar 15 jenis obat. Namun, menurut Lukman, pemberian berbagai macam obat itu bukan karena dokternya ceroboh.
"Memang rumit sekali. Semua dokter akan mengalami hal itu. Saya kira tim dokter tidak punya pilihan lain. Soeharto sudah tua, rentan terhadap komplikasi. Usia lanjut menyebabkan terjadinya interaksi obat akibat sistem metabolisme menurun," kata Lukman. Dan kesulitan semacam itu biasa dihadapi dokter ketika menangani pasien lanjut usia, yang umumnya punya beragam penyakit.
Bagi orang pada umumnya, obat memang seperti pedang bermata dua. "Di satu sisi obat bisa menyembuhkan orang sakit, tapi di sisi lain juga dapat menyebabkan orang sakit," kata Prof. Iwan Darmansyah, farmakolog dari Universitas Indonesia, kepada Yayi Ichram dari TEMPO. Iwan menyebut contoh, kalau seseorang mengonsumsi obat antinyeri Panadol terus-menerus, lama-kelamaan ginjalnya bisa ambrol. Obat-obatan yang mengandung sildenafil (seperti Viagra), misalnya, berbahaya bagi orang yang berpenyakit jantung. Karena itu, Iwan menganjurkan agar para penderita sakit memilih dokter yang mengerti benar tentang obat-obatan.
Asal tahu saja, masih ada dokter yang memberikan obat-obatan yang kontradiktif dalam waktu bersamaan, misalnya memberikan antibiotik bersamaan dengan obat sakit mag sehingga antibiotiknya tak bisa berfungsi. Jadi, para pasien, jangan takut bersikap kritis.
Wicaksono, Agus S. Riyanto, dan L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini