Ulil Abshar-Abdalla
Staf Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta
Tampaknya Gus Dur mulai percaya bahwa sejumlah tokoh "poros tengah" memang benar-benar hendak mencalonkannya menjadi presiden. Agak susah dimengerti, bagaimana mungkin dia percaya bahwa Pak Amien Rais, mewakili teman-temannya dari "poros tengah" yang lain, memang ikhlas dan benar-benar serius menominasikannya sebagai presiden. Padahal, jika kita lacak ke belakang, biasanya Gus Dur agak sulit mempercayai figur Amien Rais. Sudah lama kedua tokoh ini punya perbedaan pandangan dan sikap politik yang membuat keduanya saling "berjauhan". Momentum reformasilah yang tampaknya membuat mereka "terpaksa" harus mengatasi perbedaan-perbedaan pribadi, dan akhirnya mau wawuh atau bergandengan tangan.
Meski demikian, sejumlah kalangan di dalam PKB meragukan kesungguhan hati elite "poros tengah" itu untuk mencalonkan Gus Dur. Sebagian dari mereka ada yang beranggapan bahwa itu hanyalah trik politik sesaat yang sengaja dilakukan untuk menjebak Gus Dur. Pada akhirnya, menurut anggapan mereka, poros tersebut akan mencalonkan Habibie. Sebab, bagaimanapun, poros tengah bukan saja "dikendalikan" secara pribadi oleh Amien Rais, tetapi ada tokoh-tokoh lain yang dalam arena politik bisa digambarkan sebagai "kartu liar" yang sewaktu-waktu bisa melakukan manuver balik secara mendadak. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa arena politik kita lebih banyak dihuni oleh elite yang amat sukar ditebak perangainya, terutama elite yang kurang punya akar konstituen yang kuat.
Harus dipertimbangkan perbedaan antara Gus Dur pra dan pascapartai dilihat dari segi luas dan sempitnya konstituen dan pengaruh politik yang mendukungnya. Sebelum tenggelam "basah" dalam partai (baca: PKB), tampaknya konstituen Gus Dur mencakup banyak sekali lapisan dan golongan, baik di dalam maupun di luar Islam. Setelah menjadi bagian dari PKB, konstituensi yang sebelumnya berwatak inklusif itu agak sedikit menyempit karena kedudukan Gus Dur yang secara "terbatas" terikat pada partai tertentu. Sebelum menjadi bagian dari partai, kedudukan Gus Dur selaku "budayawan" tampaknya memungkinkannya untuk bergerak secara lintas batas: dari lingkaran yang satu ke lingkaran yang lain, tanpa ada kendala "prasangka kekelompokan" yang sempit.
Hal ini tampaknya sudah tak dimungkinkan lagi setelah Gus Dur menjadi bagian dari PKB. Karena sebagian besar pemilih PKB terbatas di Pulau Jawa dan sebagian kecil daerah Sumatra dan Kalimantan, dengan sendirinya Gus Dur pascapartai hampir identik dengan aspek "kejawaan" itu sendiri. Gus Dur, yang semula merupakan tokoh nasional dengan lingkup pengaruh yang menjangkau secara inklusif ke pelbagai kelompok etnis, kini tiba-tiba menjadi tokoh "lokal" dalam tanda petik. Dengan kata lain, ada proses "penjawaan Gus Dur".
Di pihak lain, sikap politik Gus Dur yang selalu berubah-ubah arah sepanjang satu tahun setelah 21 Mei 1998 membuat kedudukan Gus Dur sebagai "kiblat" politik aktivis prodemokrasi juga semakin kendur. Sikap Gus Dur terhadap isu demiliterisasi dianggap oleh banyak pihak kurang "desisif" dan terlalu memberi angin kepada pihak TNI. Tindakan Gus Dur mendatangi mantan presiden Soeharto pada saat berkecamuknya kasus Banyuwangi juga dipandang terlalu memberi hati kepada Soeharto, yang saat itu menjadi pusat hujatan publik.
Begitu juga, kunjungannya ke Habibie selama beberapa kali pada waktu yang terakhir ini membuat banyak kalangan proreformasi agak sedikit masygul: ada apa dan mau apa Gus Dur? Singkat kata, konsituen Gus Dur dari kalangan "aktivis proreformasi" juga sedikit menyempit, begitu pula popularitas tokoh ini di kalangan mereka.
Dengan melihat "kontraksi" pengaruh Gus Dur semacam ini, bisa diperkirakan bahwa terpilihnya Gus Dur sebagai presiden (jika benar nanti) akan mengundang pula sejumlah kritik. Kritik yang paling keras bisa diperkirakan akan datang sekaligus dari dua arah: dari orang-orang luar Jawa dan kubu PDIP sendiri. Publik luar Jawa akan beranggapan bahwa terpilihnya Gus Dur berarti memperlihatkan masih kuatnya "orientasi Jawa" dalam politik Indonesia. Dari pihak PDIP sendiri, hal itu berarti Gus Dur telah menyalahi komitmen politiknya kepada Mega. Bagi kaum proreformasi, terpilihnya Gus Dur juga akan dikritik sebagai seolah-olah menyepelekan proses elektoral yang sudah membawa kubu Megawati ke posisi terdepan dalam pengumpulan suara. Meski secara prosedural pemilu kita hanya memilih wakil-wakil rakyat di MPR dan bukan memilih presiden, aspirasi politik yang hidup dalam masyarakat memperlihatkan hal yang sebaliknya.
Tapi, tampaknya, Amien Rais dan tokoh-tokoh "poros tengah" berpikir bahwa harus dihindari adanya opsi yang terjelek, yakni mengerucutnya persaingan kepresidenan pada dua tokoh yang sama-sama punya cacat "kronis". Di satu pihak ada figur Habibie, yang kian mempermalukan publik politik dengan skandal-skandal politik; di pihak lain ada figur Megawati, yang memang terus terang kurang bisa "mengambil hati" golongan Islam yang sedang bangkit kesadaran politiknya. Dalam Islam memang ada prinsip akhaffud dararain, yakni jika ada dua pilihan yang buruk, harus dipilih salah satunya yang paling sedikit buruknya. Minimalisme politik inilah yang mendorong poros tengah untuk mengajukan figur Gus Dur sebagai calon presiden.
Kalau boleh memilih, saya lebih suka jika Gus Dur melakukan "resignasi" atau mundur dari arena politik kepartaian, dan kembali menjadi "kiai" yang berdiri bebas di atas semua kelompok. Kedudukan inilah yang dahulu memberikan kepada Gus Dur suatu reputasi politik yang widely recognized. Dengan kata lain, Gus Dur memang layak kembali ke situasi "prapartai" dan kembali menjadi "bapak bangsa" yang tidak terlalu sibuk dengan political trivialities—remeh temeh politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini