PAMPAS San Juan, daerah kumuh di pinggiran Lima, ibu kota Peru. Di situ pemandangan sehari-hari adalah lorong permukiman berhias teriakan bocah yang bertelanjang dada. Mereka main di onggokan sampah yang membuat ribuan lalat beterbangan. Dari tempat semacam inilah kolera berawal. Hingga awal Mei lalu, sudah 10 ribu warga Peru dipatil kolera. Dan sepersepuluh di antaranya tewas. Musibah ini mengingatkan kejadian pada 1895 di Amerika Selatan, ketika wabah yang sama menyerang enam juta penduduk serta merenggut 40.000 nyawa. Lingkungan kotor dan sistem sanitasi yang buruk itu merupakan sarang empuk bagi bakteri kolera. Sebagian besar korban memang berasal dari tempat semacam Pampas. Kondisi serupa itu banyak dijumpai di negara berkembang. Dan di Peru saja, hanya 40 persen warganya menikmati air bersih. Bahkan mereka tak jarang meminum air yang belum dimasak. Repotnya, harga minyak tanah yang dulu 28 sen kini menjadi 1 dolar per liter. Selain itu, penduduk juga jarang memiliki jamban di rumahnya. Untuk buang hajat, mereka punya WC terpanjang di pantai. Atau cuma di selokan serta tepi sungai. Keadaan buruk ini semakin runyam akibat sikap tradisional masyarakat Peru. Mereka masih percaya bahwa serangan kolera bukan karena bakteri, tetapi ulah gaib si "mata setan". Jadi, kalau keluarganya kena wabah, bukan dibawa ke dokter atau rumah sakit, tapi rajin mencari dukun. Penyakit ini kini menjalar ke negara tetangga. Dari Lima, El Tor, menyeberang ke Panama, Meksiko, dan Kosta Rika. Kemudian merambat lagi ke utara, menuju Ekuador (di sini meninggalkan 3.000 kasus) dan ke selatan, selanjutnya terus menuju Cili. Wabah ini meloncat dari pantai Peru ke dataran tinggi di barat Amazon, Februari lalu, dan mulai menerkam penduduk di seputar kota-kota kecil di Kolombia dan Brasil. Prosesnya lewat manusia yang membawa bakteri, atau bahan makanan dan sayuran yang didatangkan dari daerah yang terjangkit. "Ancaman kolera bagaikan badai tornado yang menghantam tiap pelosok negara kami," kata seorang pejabat dinas kesehatan Rio de Janeiro, pekan lalu. Karena itu, pemerintah Brasil melarang warganya membeli ikan dari Peru. Tindakan serupa juga dilakukan di Kolombia, sekaligus mengingatkan warganya agar tak makan ikan dan sayur yang belum dimasak. Jadi, persis seperti hasil penelitian Rita Colwell. Menurut profesor mikrobiologi di Universitas Maryland di Amerika Selikat ini, bakteri kolera ternyata membonceng plankton yang dimakan ikan, kemudian masuk ke tubuh manusia karena ulahnya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini