Di Aceh, Sumatera Barat, Maluku, dan Bali ratusan korban terserang kolera. Tahun ini mungkin siklus 10 tahunannya. KALI ini Idul Fitri menjadi hari kelabu bagi warga Kecamatan Rao Mapattunggul di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Karena diserang kolera, mereka itu hondoh-pondoh (berduyung-duyun) ke puskesmas. Tapi karena puskesmas tak mampu menampung, sejak Hari Raya kedua, tengah April silam, bahkan lelaki perempuan, besar kecil, tua muda, ada yang dibaringkan di bawah sejumlah tenda darurat. Kolera yang mengganas ternyata bukan saja di Rao Mapatunggul -- 200 km di utara Kota Padang. Wabah ini juga merambah hingga Kecamatan Panti (masih di kabupaten yang sama) yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara. Sampai Sabtu pekan lalu, 430 orang dikabarkan terkena bakteri vibrio cholerae. Menurut berita koran: 63 meninggal. Tapi kata petugas kesehatan di sana hanya 19 orang yang meninggal. Pasaman seperti lintasan wabah. Sebab, pada awal Januari lalu kolera masih menyerang Aceh, yang menghantam delapan kabupaten -- kecuali Aceh Tengah dan Aceh Selatan. Dalam catatan Kanwil Departemen Kesehatan di sana, sudah 7.100 penderita kolera yang tercatat, dan 59 di antaranya tewas terserang. Sebenarnya, musibah serupa lebih dulu melanda bagian timur Indonesia, yaitu di Maluku Tenggara. Sejak Oktober tahun lalu, hingga awal 1991, kolera sudah merenggut 126 nyawa dari 1.500 penderita. Dan di Bali, Januari lampau sejumlah pelancong juga dibelit kolera. Epidemi ini muncul tidak lain karena pola hidup dan kondisi lingkungan tak sehat. Misalnya, yang menimpa Aceh itu muncul berbarengan dengan datangnya kemarau. Akibatnya, banyak sumber air bersih (perigi) asat, dan memaksa penduduk memanfaatkan air dari tempat yang kurang bersih dan itu padahal sarang kuman kolera. Tambah lagi, bila penderita lalu beol di sembarang tempat, ya, lahan kuman kolera tadi semakin subur adanya. "Tapi belum tentu semuanya karena kolera," kata dr. Sutoto. Gejala ini lebih cenderung disebut penyakit diare atawa muntah berak. Menurut Kepala Sub-Direktorat Diare Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (P2M & PLP) Departemen Kesehatan ini, sebelum adanya penelitian terhadap kotoran penderita, penyehabnya belum bisa dipastikan. Seperti di Aceh. Penderita dengan gejala mencret-mencret ini diketahui akibat terserang E Coli. Tingkat serangan kuman ini tergolong ringan dibanding kolera. Memang, diakui apa yang terjadi di sana, yakni dari 91 kasus yang sempat diperiksa, 36 di antaranya mengandung vibrio cholerae tipe Ogawa. Dan lambatnya kesempatan dirawat inilah diduga penyebab banyaknya korban jatuh. Ada penderita yang tak sempat ditolong, karena terlambat dibawa ke puskesmas. Apalagi akibat utama diserang diare, tubuhnya mengalami dehidrasi atau kehilangan cairan. Jika pasien tak segera ditolong, kondisinya yang melemah kian mendekati ajalnya. Karena itu, petugas mencoba mengatasinya dengan memberi cairan oralit, selain dengan tetrasiklin. Bahkan, untuk menolong mereka, ribuan kantung cairan infus didrop ke daerah yang diserang wabah. Repotnya, penyakit yang satu ini tak bisa dilawan dengan vaksinasi. Pemerintah sudah bertahun-tahun menghentikan pemberian suntikan vaksin kolera, karena tingkat efektivitas vaksin kolera cuma 30%. "Daripada memberikan kekebalan semu yang membuat orang lengah, lebih baik kita hentikan saja," kata dr. Gandung Hartono, Dirjen P2M & PLP. Satu-satunya cara mencegah serangan bakteri kolera, menurut Gandung, adalah hidup di permukiman yang sehat. Selain itu, jangan makan makanan dan lebih-lebih minum air yang belum dimasak, sehingga tak muncul petaka seperti di Amerika Selatan (lihat Bila Setan Mematil). Karena itu ia menyebarkan selebaran imbauan ke kanwil-kanwil Departemen Kesehatan di 27 provinsi, agar giat lagi mengadakan penyuluhan tentang penggunaan air bersih dan kehiasaan hidup sehat. "Sehingga, perhatian kita pada hahaya kolera tidak kendur," katanya. Ia menyatakan daerah yang terjangkit muntaber sebagai daerah KLB (kejadian luar biasa). Ini artinya petugas kesehatan dalam "Siaga I". Diperkirakan, tahun 1991 ini merupakan masa flare up, siklus naik berjangkitnya kolera. Berdasarkan pengamatan para ahli, kolera mempunyai siklus turun-naik dalam rentang waktu 8 sampai 10 tahun. Jika dihitung dari pandemi, yaitu berjangkit suatu penyakit secara berbarengan di banyak tempat di dunia dan memunculkan bakteri El Tor atau kolera seperti pada 1961 itu, maka tahun ini memang tahun waspada terhadap kolera. Maksudnya, sebelum wabah ini "panen raya" seperti di Peru dan negara sekitarnya itu. Rustam F. Mandayun, Affan Bey, dan Fachrul Rasyid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini