Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bisnis baru, rumah sakit sakit dengan nyaman di pondok indah

Rumah sakit pondok indah (rspi) diresmikan. rspi & klinik medika loka mengeluarkan kartu anggota rs. ada kecenderungan menerapkan pola bisnis. masalah larinya dokter ahli rs pemerintah ke swasta.(ksh)

6 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIEM Sioe Liong, Sudwikatmono, dan Ciputra masuk rumah sakit. Jangan kaget, bukan sebagai pasien. Tiga pengusaha beken itu malah tampak segar bugar dan berwajah cerah, ketika ikut hadir bersama sekitar 200 undangan lain mengikuti peresmian Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta, Senin pekan ini. Lalu apa artinya kehadiran mereka di rumah sakit itu? Inilah berita pekan ini: mereka ternyata jadi pemilik dan pemegang sebagian saham RSPI. Dan, menariknya, RSPI, bukan rumah sakit biasa. Dibangun dengan dana sekitar Rp 14 milyar -- investasi yang lumayan besar di masa ekonomi sedang lesu sekarang ini -- ia memamerkan wajah sebuah rumah sakit mewah. Berlantai lima dan dengan fasilitas yang juga bak hotel berbintang lima. Tak ayal, ini memang proyek baru yang serius. Disiapkan sekitar satu setengah tahun lalu, dengan fasilitas yang dimilikinya, RSPI bahkan kini menjadi salah satu rumah sakit termegah di Indonesia. Taipan Liem mulai menjadikan rumah sakit sebagai ladang bisnis baru? Ditemui Toriq Hadad dari TEMPO, seusai acara pembukaan rumah sakit baru itu, Om Liem bcgitu pemilik sejumlah perusahaan besar itu biasa dipanggil, masih membantah. "Bukan. Ini bukan bisnis," katanya, cepat. Tampak sungkan menjawab pertanyaan, sambil bergegas ke mobilnya, raja pengusaha itu berulang menyatakan kegiatan barunya bukan mau cari untung, melainkan sekadar untuk menolong orang. Bagi Liem Sioe Liong, membuang duit untuk rumah sakit boleh jadi bukan untuk bisnis. Tapi, dibangun permanen, di atas tanah seluas 4.990 m2, RSPI, tak ayal, menjadi rumah sakit paling mewah. Mula-mula Menteri Kesehatan Suwardjono Surjaningrat menorehkan tanda tangannya di prasasti yang ada di dinding rumah sakit itu. Lalu, Menteri Kehakiman Ismail Saleh menggunting rangkaian bunga melati yang sengaja dipasang melintang di depan pintu otomatis rumah sakit tersebut. Ratusan pengusaha dan sejumlah dokter senior menyaksikan acara pembukaan yang berlangsung meriah dan semarak itu. Dalam sejarah pengoperasian sebuah rumah sakit, Rumah sakit mewah, yang dananya ditunjang oleh sejumlah tokoh pengusaha besar, diresmikan Senin pekan ini. Ada sewa kamar per malam Rp 200.000. Membisniskan rumah sakit inilah agaknya pertama kali sebuah peresmian dihadiri begitu banyak pengusaha. Halaman gedung rumah sakit bercat putih itu penuh sesak. Dan terpampang rapi sejumlah karangan bunga besar bertuliskan nama perusahaan dan pemiliknya. RSPI, boleh jadi, memang nama rumah sakit yang sedang jadi buah bibir. Terutama para pengusaha dan mereka yang berkantung tebal. Sebab, ia memang lebih diperuntukkan buat mereka. Bahkan, dari letak lokasinya, sudah diketahui ia memang sudah dirancang demikian. Rumah sakit ini dibangun di Jalan Metro Duta, Pondok Indah, Jakarta Selatan kawasan ini sudah dikenal di Ibu Kota sebagai kompleks perumahan kalangan orang berduit. Dengan luas bangunan seluruhnya sekitar 11.000 m2. Mempunyai 48 kamar dan kapasitas 98 tempat tidur, dengan tarif opname menyamai, atau mungkin melebihi, hotel berbintang lima. Maksimal Rp 200.000 per orang per hari. (Disediakan juga tarif paling rendah Rp 20.000 per orang per hari). Tak heran, ada yang menganggap kehadirannya sebagai babak baru bagi pelayanan kesehatan lewat rumah-rumah sakit. Dengan investasi besar, memang mustahil para pengusaha ternama seperti Liem, Ciputra, dan Sudwikatmono yang dikenal punya pengetahuan dan perkiraan dagang tajam -- mau membuang uang secara percuma untuk proyek baru ini. Tentu ada konsumen yang sudah mereka targetkan bisa dijaring di sini. Siapa dan berapa banyak? Sudwikatmono, 51, pimpinan penyandang dana buat RSPI, terus terang menyebut, sasaran yang dituju mereka adalah orang-orang yang selama ini sering berobat ke luar negeri (di antaranya ke Singapura). "Dengan telah dibukanya RSPI, kita mengimbau dan juga mengharap mereka itu tak lagi berobat ke Iuar," ujar Direktur Utama PT Indocement itu. Ini soal selera, hak, dan pilihan, agaknya. Apalagi masalah banyaknya orang Indonesia yang berobat ke luar negeri (selain ke Singapura dan belakangan ini juga ke Taiwan) memang cerita lama. Sudah lima tahun terakhir ini, banyak orang sakit dari sini yang sengaja mendatangi Rumah Sakit Mt. Elizabeth di Singapura dan RS Umum Veteran, Taipei di Taiwan, untuk berobat. Data pasti besarnya jumlah mereka yang berobat itu belum diperoleh. Tapi Administratur RS Mt. Elizabeth, Dennis Baker, yang diwawancarai Ekram Hussein Attamimi dari TEMPO, Sabtu pekan lalu, menyebutkan jumlah itu berkisar 15% dari total pasien yang mereka terima setiap tahun. "Tak sebanyak yang disangka orang," kata Baker. Untuk periode Juni 1985 hingga Mei 1986, katanya, total pasien asal Indonesia yang dirawat di Rumah Sakit Elizabeth 2.763 orang. Mereka dirawat di kamar dengan tarif rata-rata Rp 300.000 per orang per hari. Elizabeth didirikan 1979 lalu. Dan sejak itu pula, rumah sakit yang dimodali perusahaan AS, National Medical Enterprises, ini bisa menarik banyak pasien dari Asia, termasuk Indonesia. Data mereka yang berobat ke Taiwan belum diketahui pasti. Kantor Perwakilan Dagang Taiwan di Jakarta di Taiwan hanya menyebutkan Oktober lalu tercatat 1.381 orang yang meminta visa A (bisa tinggal sekitar sebulan dan ini bisa diperpanjang lagi) untuk masuk negeri itu. "Tidak ada angka, berapa yang memang mau berobat ke sana," kata Chang Mei, alias Yusni S.Y, staf penerangan Perwakilan Taiwan pada Mohamad Cholid dari TEMPO. Tapi, taruh kata, 10 persen saja dari mereka yang minta visa itu berobat, ini berarti setiap bulan sekitar 100 orang pasien diam-diam mengalir ke sana. Ditambah pasien yang berobat ke Singapura, jumlah ini lumayan juga besarnya. Mengapa mereka berobat ke rumah sakit di luar negeri? Jawabnya mungkin seragam. Yakni, mereka mau berobat dengan nyaman. Dan kenyataan pahit memang harus dibenarkan terjadi: kondisi pelayanan dan perlengkapan perobatan rumah sakit di tanah air masih kalah dibandingkan, misalnya, dengan dua rumah sakit terkenal di Singapura dan Taiwan tadi. "Memang, pelayanan di Indonesia sekarang ini masih tahap optimal -- berobat, sembuh, lalu boleh pulang. Belum begitu mengutamakan kenyamanan," ujar Dirjen Pelayanan Medik Depkes Dr. H. M. Isa kepada wartawan TEMPO Gatot Triyanto. Malah dia mengatakan, mampu memberikan pelayanan minimal itu saja sudah untung. Maklum, rasio jumlah rumah sakit (tempat tidur yang dimiliki) dibandingkan penduduk sekarang ini memang masih berselisih jauh. Jumlah total RS di seluruh Indonesia saat ini 1.337 buah, yaitu 638 RS pemerintah dan 739 RS swasta. Dengan jumlah tempat tidur 110.000 unit lebih. Dibandingkan rasio jumlah penduduk, ini berarti 1 tempat tidur untuk 1.500 pasien. Padahal, rasio idealnya, 1 tempat tidur untuk 1.250 pasien. Dengan rasio yang memang masih belum mencapai tingkat ideal itu, wajar pelayanan optimal -- misalnya untuk mampu menghadirkan rasa nyaman, seperti yang diinginkan banyak pasien kalangan berduit -- belum bisa dipenuhi. Departemen Kesehatan sendiri masih membagi jenis RS pemerintah yang ada sekarang ini dalam lima kategori. Dan yang paling lengkap memberikan pelayanan bisa menjadi RS rujukan -- diklasifikasikan sebagai RS tipe A. Contoh jenis rumah sakit ini RSCM, Jakarta dan RSU Dr. Soetomo, Surabaya. Sedangkan RS yang minimal bisa memberikan pelayanan, masuk RS tipe E. RS yang masuk kategori ini adalah yang hanya memberikan pelayanan pengobatan atas satu jenis penyakit: mata atau paru misalnya. Rumah sakit swasta, entah kenapa, belum dibagi penggolongannya. Dengan adanya penggolongan seperti itu, makin terang sudah bahwa kondisi rumah sakit di Indonesia saat ini memang belum sesuai dengan harapan. Itulah pula sebabnya, di pelbagai tempat hampir tiap hari terdengar keluhan atas pelayanan buruk di pelbagai rumah sakit tadi. Contoh pelayanan buruk, misalnya, dialami Hadi Mustofa, 25, penduduk Bandung, di RS Hasan Sadikin, Bandung. "Dokter dan perawat, semua tak manusiawi," gerutunya. Calon bapak ini memang bukan main kecewa pada Rumah Sakit Hasan Sadikin, karena merasa ditelantarkan dan tidak diladeni ketika Juli lalu berobat ke rumah sakit itu. Ia mengalami kejang-kejang di perut waktu itu. Sesudah membeli karcis untuk berobat, ia dibawa ke Unit Gawat Darurat. Tapi, sampai di sini, ia ditinggalkan perawat. Sudah menunggu berapa lama, dan baru setelah ia menjerit kesakitan ada dokter yang melayani. Pimpinan RS itu, Dr. H. Iman Hilman tak menyangkal kemungkinan pasien tak terladeni di rumah sakitnya. "Karena tenaga kami terbatas, dan banyak pasien, yang ingin cepat diladeni," kata Iman. Apa pun alasannya, pasien, apalagi yang berduit, memang berhak memilih. Dan bisa jadi, karena makin kritisnya pasien, dan ketatnya persaingan. ahli medis di beberapa kota besar, beberapa tahun terakhir ini cenderung bersatu dalam praktek pelayanan pada pasien. Sejak 1976, misalnya, bisa dicatat mulai lahir klinik-klinik yang menghimpunkan sejumlah dokter dengan pelbagai keahlian dalam satu tempat praktek. Di antaranya, Metropolitan Medical Center (MMC) yang buka praktek di Wisma Hasta, Jakarta. Kini, menghimpunkan 56 dokter dan sedikitnya 200 karyawan, MMC berkembang pesat. Bisa melayani sedikitnya 300 pasien setiap hari, klinik itu April tahun depan malah bakal punya rumah sakit sendiri di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Bekerja sama dengan grup Gunung Agung, mereka merencanakan membangun rumah sakit yang direncanakan mentereng -- juga lima lantai seperti RSPI -- dengan investasi sekitar Rp 10 milyar. "Beda dengan rumah sakit lain, manajemen kami sepenuhnya dipegang dokter," kata Dokter Rahadi M. Santo, Direktur MMC, pada Yusroni Henridewanto dari TEMPO. Bersamaan dengan melejitnya MMC, sejumlah klinik sejenis memang bermunculan di Jakarta dan juga kota lainnya. Malah ada kecenderungan, belakangan ini kegiatan seperti itu menjadi bisnis yang menarik. Di Jakarta saja, kini sedikitnya 20 klinik spesialis bermunculan. Satu di antaranya yang baru sekitar delapan bulan lalu dibuka juga di daerahJalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, yaitu Klinik Medika Loka. Ini klinik yang secara khusus membidik calon pasien yang sebagian besar tinggal atau berkantor di seputar Kuningan dan Menteng. Membuka praktek di lantai dasar Menara Selatan Kuningan Plaza, Jakarta Selatan, klinik ini dimodali sekitar Rp 1 milyar. Dilengkapi dengan 26 dokter, dari mulai gigi hingga internis, Medika Loka kini jadi klinik pendatang baru yang sudah punya sasaran pasien kelompok orang berduit dan sibuk. Dan porsi itubisa jadi akan mengecil karena masuknya Rumah Sakit Pondok Indah. Persaingan dengan demikian menjadi ketat. Rivalitas akhirnya terjadi tak hanya pada praktek pelayanan medis. Tapi merembet ke penerapan pelbagai servis untuk pasien, seperti penerimaan pembayaran dengan kartu kredit dan sistem kartu anggota. Cara terakhir ini sudah dikembangkan oleh, misalnya, klinik Medika Loka dan juga RSPI (lihat Kartu Sakit Para Eksekutif). Tak sampai di sini, persaingan juga menjalar ke pemakaian alat-alat teknologi kedokteran. Saatnya dunia pelayanan medis jadi ajang bisnis sudah sampai rupanya. Tak hanya di Jakarta, tapi di pelbagai kota lain, klinik yang menghimpunkan dokter spesialis dilengkapi dengan rangkaian janji servis bermunculan. Di Semarang, RS Telogorejo, yang baru berulang tahun ke-35, malah sudah diadakan peletakan batu pertama bagi pembangunan rumah sakit baru mereka yang, menurut Budi Dharmawan, Ketua Yayasan RS Telogorejo, didirikan dengan konsep baru: tak hanya mengutamakan kenyamanan pasien, tapi juga keluarganya. Bernilai Rp 2 milyar, bangunan rumah sakit itu nanti akan dilengkapi dengan ruang medis, guest house, toko, dan kafetaria. "Kami tak tega melihat keluarga pasien terkadang tidur di tikar," kata Budi Dharmawan, tentang pembangunan guest house itu. Perubahan pelan-pelan rupanya sedang terjadi atas rumah sakit. Ia menjadi komoditi dagang. Pelbagai dampak karena makin ketatnya persaingan itu bisa saja muncul. Dari mulai bajak-bajakan dokter hingga bajak-bajakan pasien. Persaingan memang perlu. Lebih-lebih jika ditujukan pada klinik atau rumah sakit di luar negeri. Itulah repotnya. Kendati para klinik spesialis di sini bersaing ketat -- dan makin ketat setelah beroperasinya RSPI tetap saja tingkat pasien yang berobat ke luar ncgeri tak tertahan. Ini terbukti lewat data yang dihimpunkan para agen perjalanan yang menyelenggarakan tur kesehatan ke Singapura. Vaya Tour, satu dari lima agen perjalanan itu, setiap bulan hingga Oktober lalu tetap membawa lima sampai enam pasien yang berobat ke Singapura. Masih harus ditunggu bagaimana jika RSPI sudah melalui masa uji coba nantinya. Sebab, peluang bagi rumah sakit baru ini memang besar. Pertama, karena ia masih baru. Dan pelbagai fasilitas medisnya -- di antaranya 13 klinik spesialisnya, peralatan fisioterafi, lab pemeriksaan darah yang serba komputer -- tak kalah dari fasilitas yang tersedia, misalnya, di RS Elizabeth, Singapura. Memang RSPI dilahirkan dengan pemikiran, antara lain, bisa mencegah orang berobat ke luar negeri. Itulah sebabnya, dengan dukungan 140 dokter -- 20 di antaranya dokter spesialis dan 80 perawat dan ratusan karyawan dan karyawati pilihan, banyak orang menunggu proyek baru para pengusaha terkemuka itu dalam bersaing dengan Elizabeth. Dalam fasilitas dan kemewahan, RSPI memang menjanjikan. Kamar utamanya dilengkapi tv, video, dan kamar mandi, serta pelbagai fasilitas lain, mirip sebuah kamar hotel. Maka, bukan sesumbar agaknya jika seperti kata Dokter Waluyo S. Sapardan, Direktur Pengobatan RSPI, kelihatannya optimistis bisa mengalahkan rumah sakit di Singapura dalam persaingannya merebut pasien nanti. "Dalam fasilitas dan harga kita jauh lebih menarik," katanya, agak beriklan, sambil mengingatkan beban fiskal Rp 250.000 yang harus dibayar seorang pasien yang akan ke luar negeri. Saingan di luar negeri, kalau pasien memang orang Indonesia, memang sedikit lebih enteng. Asal pelayanan dan kehangatan bisa diberikan pada pasien. Sebab, dengan tenaga yang sebagian masih baru, sektor ini boleh jadi titik lemah RSPI. Pasar perebutan pasien memang terbuka lebar. Dan mereka sudah mulai menabuh genderang perang. Sasaran jelas sudah ada di mana. Asal medan akhirnya kelak tak berubah arah ke dalam negeri, ikut merebut porsi klinik atau rumah sakit yang sejak semula disebut bukan saingan. Marah Sakti, Laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus