USTAD cabul. Sebutan itu disebarkan ke mana-mana oleh seorang nyonya muda, sejak awal November lalu. "Buat apa kalian mengaji ke Pak Udin?" katanya kepada sejumlah siswi yang belajar mengaji kepada Syahruddin. Nyonya berusia 17 tahun itu sendiri, sebut saja bernama Tumilah, adalah bekas murid guru itu. Tak seorang pun, rupanya, cepat percaya pada omongan Tumilah. Bagaimana mungkin, seorang guru ngaji berbuat tidak senonoh. Rabu malam dua pekan lalu, warga Desa Pantai Balai, Aceh Timur, dikejutkan suara teriakan dari arah dekat rumah ustad tersebut. Keruan saja warga desa berbondong-bondong mendatangi sumber suara itu. Astagfirullah. Di tempat itu, Ustad Syahruddin ditemukan sedang berdua dengan salah seorang muridnya. Ini, tentu saja, menimbulkan curiga, karena teriakan cewek itu. Tak ayal, ustad itu ditangkap, dituduh melakukan perkosaan. Tak kurang dari 50 warga desa hampir saja membantai guru mengaji itu, seumpama petugas tak buru-buru mengamankannya. Jadi, Tumilah, agaknya, mengatakan yang benar tanpa harus mengatakan, ia juga salah satu korban nafsu setan Syahruddin. Ia menolak menyebutkan kapan persisnya dinodai. Belakangan, di tahanan polisi, terungkapkan, lelaki berkulit cokelat, berambut keriting, dengan tinggi sedang itu telah menodai setidaknya 13 gadis berusia sekitar 14 tahun, dalam kurun waktu seminggu pada November itu. Dan inilah cerita dari para korban, yang diakui kebenarannya oleh guru mengaji itu, di depan polisi. Murid-murid itu, oleh Syahruddin, 30, dijanjikan mendapat "ilmu pengasih". Siapa pun yang memegang ilmu itu, menurut Udin, akan mendapat simpati, apa saja yang dikatakan pasti dituruti, minta apa saja kepada pejabat bakal dikabulkan, ikut sayembara pasti menang. Para gadis pun akan segera didatangi pemuda pilihannya. "Tentu saja, kami senang dan mau belajar ilmu pengasih itu," cerita seorang murid. Lalu, Udin, yang cuma sempat duduk sampai kelas IV SD ini, membagi-bagikan selembar kertas bertuliskan mantra-mantra. Antara lain, mantra yang sempat dibaca TEMPO bunyinya, "Hee...iko daing, kepala daing, tiga dengan kepala ketuka, banyak-banyak suara orang lain, kepada suara aku hatimu suka ...." Bacaan yang bukan dalam bahasa Arab itu, dalam tempo seminggu, harus sudah dihafal di luar kepala. Setelah itu, inilah yang seram, tiba tahap pemantapan ke dalam jasmani dan rohani. Yang disebut dengan pemantapan tadi yakni, selepas magrib, siswi yang sudah hafal diperintahkan pergi ke tebing sungai, tak jauh dari rumah Udin. Ia harus pula membawa selembar tikar. Di tempat yang sepi itu Guru Udin sudah menunggu hanya dengan celana kolor. Tidak sulit ditebak apa yang terjadi setelah itu. Syarat menuntut ilmu ini memang "harus mengadakan persebadanan dengan guru," tutur si ustad, bapak empat anak. Entah untuk apa, di saat "pemantapan" itu, ia pun membakar kemenyan. Bila para korban tutup mulut, memang. "Kami diancam Pak Udin, tidak boleh kasih tahu siapa pun. Kalau kasih tahu, akibatnya bisa mati dan mulut bisa merot-merot, kena kutukan," cerita beberapa korban Udin. Sangat boleh jadi, korban Udin bukan cuma 13 murid dalam seminggu itu. Sebab, selama ini ada 40 murid yang belajar mengaji, selama beberapa waktu sebelumnya. Bila selama ini tak diketahui ada yang hamil, itulah karena Udin punya teknik kontrasepsi yang unik. Entah dan mana ia mendapatkan ilmu ini. Tiap berbuat, Udin, anak sulung dari 9 bersaudara, mengaku menggunakan kondom dari kain hitam. Menurut visum dokter puskesmas Kecamatan Seruway, selaput dara sebagian besar gadis itu memang rusak. Kini, di tahanan polisi, Udin menunggu perkaranya disidangkan. "Saya menyesal, tobat, saya telah terkena bisikan setan," katanya. Padahal, semula ia dikenal guru yang baik, tak menentukan besarnya bayaran. "Saya ikhlas mengajar anak-anak mengaji. Berapa saja dibayar, saya terima, katanya, kepada Makmun Almujahid dari TEMPO. Adapun mantera itu "hanya saya karang sendiri, tak ada hubungannya dengan ilmu apa pun"Tapi siapa tahu, ada maksud di balik keikhlasan itu. Cerita guru agama memperkosa memang bukan hal baru. Di Desa Mangunharjo, Adimulya, Kebumen Jawa Tengah, pertengahan tahun 1984, juga terjadi kasus serupa. Bardi, 40, seorang modin alias kaum yang sehari-hari mengurusi masalah agama, dengan alasan mengutip "amal jariah", menodai dua warga desanya. "Amal" artinya menyerahkan uang Rp 5.000. Sedang "jariah" berarti bersedia ditiduri Bardi. Perbuatannya terbongkar setelah ada anggota pengajian menolak ulah modin, dan melaporkannya ke polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini