SEKONYONG-konyong Desa Sukamahi di Bekasi, Jawa Barat,
kedatangan banyak tamu minggu lalu. Berturut-turut rombongan
ahli dari Departemen Kesehatan, lalu Direktorat Jenderal
Peternakan, dan kemudian Balai Penelitian Hewan, Bogor. Semua
tampak terburu-buru, setelah tersiar kabar bahwa desa yang
banyak dihuni peternak itu diserang penyakit bisul-bisul.
Apalagi, karena ada laporan bahwa penyakit kulit itu, yang
berjangkit sejak Juni lalu, telah menewaskan belasan orang dan
puluhan ekor sapi.
Kabar tentang penyakit itu semakin menarik ketika kemudian
dihubungkan dengan anthrax, penyakit radang limpa yang biasa
menyerang hewan berkaki empat (sapi, babi, kuda, dan lain-lain)
dan gampang menular pada manusia. Dua bulan lalu Menteri Muda
Urusan Peternakan J.H. Hoetasoit melaporkan kepada Presiden
Soeharto bahwa penyakit itu telah berjangkit di Irian Jaya.
Apakah anthrax di Irian Jaya itu yang menjalar ke Bekasi?
"Belum ada indikasi seperti itu," kata Doktor Purnomo
Ronohardjo, kepala Balai Penelitian Penyakit Hewan, Bogor,
kepada TEMPO. Dia meman telah mengirimkan tim guna meneliti
penyakit yang oleh penduduk Sukamahi disebut pes-dar
(kempes-modar) di Bekasi. Namun, hasil penelitian itu belum siap
untuk diumumkan.
Sebab, meskipun sejumlah tim telah dikirimkan hampir komplet,
tak ada ahli yang secara pasti bisa membenarkan atau membantah
penyakit itu identik dengan anthrax. Dokter Nyoman Kandun, salah
seorang pimpinan tim survei Departemen Kesehatan, menyangsikan
pes-dar itu sebagai anthrax. "Sebab, gejala mencret dan tinja
korban bercampur darah tak ditemukan," katanya. Dua gejala ini
biasanya didapatkan pada penderita anthrax.
Umumnya, penderita pes-dar memang mengalami beberapa keluhan
yang biasa terjadi pada penderita anthrax. Mula-mula, terasa
gatal di sela-sela jari dan kaki atau di seputar leher. Lalu
timbul benjolan dan kemudian demam. Demam itu berbarengan dengan
membengkaknya bisul berhari-hari setelah itu. Tapi sesak napas,
yang juga tanda anthrax, tak dirasakan penderita pes-dar.
Mainah-menceritakan bahwa suaminya, Misnan - salah seorang
korban yang tewas karena bisul itu - semula tak berapa
menghiraukan sakitnya. Baru setelah demam menghebat dan Misnan
tak lagi bisa bekerja, peternak itu beristirahat di rumah. "Tapi
Bapak hanya berbaring dua hari di rumah. Setelah itu meninggal
dunia," tutur Mainah.
Dia mengatakan, suaminya sakit setelah makan otak sapi pemberian
Atja, tetangganya. Pemilik beberapa sapi itu memang beberapa
hari sebelumnya memotong sapinya yang sakit - tak jelas sakit
apa - dan membagi-bagikan dagingnya kepada rekan-rekannya.
Tercatat setelah itu tujuh rekan Atja yang memakan daging itu
sakit bisul-bisul. Tapi hanya Misnan dan dua orang lainnya yang
meninggal.
Atja sendiri hanya sempat terkapar sakit beberapa hari. Dengan
beberapa penderita lainnya, ia sempat diperiksa tim survei
Depkes Dari pengakuan Atja dan beberapa pendenta lain, tim
survei mendapatkan gambaran bahwa "tipis kemungkinan mereka
terkena anthrax."
Seorang dokter malah tegas mengatakan, salah seorang di antara
penderita itu hanya menderita korengan biasa, "karena tak
bersih." Dan kebersihan inilah yang agaknya masih mahal buat
warga Desa Sukamahi, terutama sejak kemarau berlangsung sejak
Lebaran lalu.
Desa berpenduduk sekitar 2.000 jiwa itu tampak kering. "Selain
air memang sulit, penduduk tak begitu peduli pada kebersihan
tubuhnya," kata Djumainul Aswan, dokter lulusan Yarsi (Yayasan
Rumah Sakit Islam), Jakarta, yang sejak sebulan lalu bertugas di
Puskesmas Serang, dekat Sukamahi. Menurut Djumainul, ia juga
belum melihat gejala anthrax berjangkit di desa itu.
Betapa pun, dokter muda itu sempat mengisyaratkan pimpinan desa
agar memberikan pengarahan pada warga desa tentang kebersihan.
"Atau secepatnya melaporkan pada kami kalau terjadi sesuatu pada
kesehatan warga," katanya. Djumainul tampak agak menyesal
penyakit yang menghebohkan itu tak segera dilaporkan pimpinan
desa ke Puskesmas. Sebab, "dokter tak akan tahu kalau tak ada
yang berobat," katanya.
Kesadaran pada kebersihan dan berobat ke puskesmas memang tampak
kurang di Sukamahi. Warga desa masih punya kebiasaan mandi
seadanya. Umpamanya, mandi beramai-ramai di kolam keruh, yang
dibuat untuk menampung hujan. Kolam-kolam seperti itu bertebar
di beberapa tempat dan penduduk mandi bersama-sama, tanpa risi.
"Apa boleh buat, daripada tak mandi," kata seorang anggota
Hansip di sana. Dia tak tampak cemas akan ketularan penyakit
bisul yang menghebohkan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini