Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bisul aneh di sukamahi

Belasan penduduk dan puluhan ekor sapi di bekasi, jawa barat, mati diserang penyakit kulit (pes-dor) penyakit tersebut belum dipastikan sama dengan penyakit antrax. (ksh)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKONYONG-konyong Desa Sukamahi di Bekasi, Jawa Barat, kedatangan banyak tamu minggu lalu. Berturut-turut rombongan ahli dari Departemen Kesehatan, lalu Direktorat Jenderal Peternakan, dan kemudian Balai Penelitian Hewan, Bogor. Semua tampak terburu-buru, setelah tersiar kabar bahwa desa yang banyak dihuni peternak itu diserang penyakit bisul-bisul. Apalagi, karena ada laporan bahwa penyakit kulit itu, yang berjangkit sejak Juni lalu, telah menewaskan belasan orang dan puluhan ekor sapi. Kabar tentang penyakit itu semakin menarik ketika kemudian dihubungkan dengan anthrax, penyakit radang limpa yang biasa menyerang hewan berkaki empat (sapi, babi, kuda, dan lain-lain) dan gampang menular pada manusia. Dua bulan lalu Menteri Muda Urusan Peternakan J.H. Hoetasoit melaporkan kepada Presiden Soeharto bahwa penyakit itu telah berjangkit di Irian Jaya. Apakah anthrax di Irian Jaya itu yang menjalar ke Bekasi? "Belum ada indikasi seperti itu," kata Doktor Purnomo Ronohardjo, kepala Balai Penelitian Penyakit Hewan, Bogor, kepada TEMPO. Dia meman telah mengirimkan tim guna meneliti penyakit yang oleh penduduk Sukamahi disebut pes-dar (kempes-modar) di Bekasi. Namun, hasil penelitian itu belum siap untuk diumumkan. Sebab, meskipun sejumlah tim telah dikirimkan hampir komplet, tak ada ahli yang secara pasti bisa membenarkan atau membantah penyakit itu identik dengan anthrax. Dokter Nyoman Kandun, salah seorang pimpinan tim survei Departemen Kesehatan, menyangsikan pes-dar itu sebagai anthrax. "Sebab, gejala mencret dan tinja korban bercampur darah tak ditemukan," katanya. Dua gejala ini biasanya didapatkan pada penderita anthrax. Umumnya, penderita pes-dar memang mengalami beberapa keluhan yang biasa terjadi pada penderita anthrax. Mula-mula, terasa gatal di sela-sela jari dan kaki atau di seputar leher. Lalu timbul benjolan dan kemudian demam. Demam itu berbarengan dengan membengkaknya bisul berhari-hari setelah itu. Tapi sesak napas, yang juga tanda anthrax, tak dirasakan penderita pes-dar. Mainah-menceritakan bahwa suaminya, Misnan - salah seorang korban yang tewas karena bisul itu - semula tak berapa menghiraukan sakitnya. Baru setelah demam menghebat dan Misnan tak lagi bisa bekerja, peternak itu beristirahat di rumah. "Tapi Bapak hanya berbaring dua hari di rumah. Setelah itu meninggal dunia," tutur Mainah. Dia mengatakan, suaminya sakit setelah makan otak sapi pemberian Atja, tetangganya. Pemilik beberapa sapi itu memang beberapa hari sebelumnya memotong sapinya yang sakit - tak jelas sakit apa - dan membagi-bagikan dagingnya kepada rekan-rekannya. Tercatat setelah itu tujuh rekan Atja yang memakan daging itu sakit bisul-bisul. Tapi hanya Misnan dan dua orang lainnya yang meninggal. Atja sendiri hanya sempat terkapar sakit beberapa hari. Dengan beberapa penderita lainnya, ia sempat diperiksa tim survei Depkes Dari pengakuan Atja dan beberapa pendenta lain, tim survei mendapatkan gambaran bahwa "tipis kemungkinan mereka terkena anthrax." Seorang dokter malah tegas mengatakan, salah seorang di antara penderita itu hanya menderita korengan biasa, "karena tak bersih." Dan kebersihan inilah yang agaknya masih mahal buat warga Desa Sukamahi, terutama sejak kemarau berlangsung sejak Lebaran lalu. Desa berpenduduk sekitar 2.000 jiwa itu tampak kering. "Selain air memang sulit, penduduk tak begitu peduli pada kebersihan tubuhnya," kata Djumainul Aswan, dokter lulusan Yarsi (Yayasan Rumah Sakit Islam), Jakarta, yang sejak sebulan lalu bertugas di Puskesmas Serang, dekat Sukamahi. Menurut Djumainul, ia juga belum melihat gejala anthrax berjangkit di desa itu. Betapa pun, dokter muda itu sempat mengisyaratkan pimpinan desa agar memberikan pengarahan pada warga desa tentang kebersihan. "Atau secepatnya melaporkan pada kami kalau terjadi sesuatu pada kesehatan warga," katanya. Djumainul tampak agak menyesal penyakit yang menghebohkan itu tak segera dilaporkan pimpinan desa ke Puskesmas. Sebab, "dokter tak akan tahu kalau tak ada yang berobat," katanya. Kesadaran pada kebersihan dan berobat ke puskesmas memang tampak kurang di Sukamahi. Warga desa masih punya kebiasaan mandi seadanya. Umpamanya, mandi beramai-ramai di kolam keruh, yang dibuat untuk menampung hujan. Kolam-kolam seperti itu bertebar di beberapa tempat dan penduduk mandi bersama-sama, tanpa risi. "Apa boleh buat, daripada tak mandi," kata seorang anggota Hansip di sana. Dia tak tampak cemas akan ketularan penyakit bisul yang menghebohkan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus