Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Wakil rakyat masuk kampus

Anggota DPRD tingkat I dari beberapa daerah mengikuti program pendidikan masalah-masalah legislatif, diselenggarakan fak. ilmu sosial dan ilmu politik, UI. (nas)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENAMPILAN 22 "mahasiswa" itu tidak biasa. Ada yang berkemeja lengan panjang, ada yang berbaju batik, malah ada pula yang memakai setelan safari. Dan hampir semuanya sudah berumur. Mereka, yang tengah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia itu, memang bukan mahasiswa biasa. Mereka adalah anggota DPRD Tingkat I dari beberapa daerah. Selama sekitar dua bulan, sampai pertengahan Desember nanti, mereka mengikuti program Pendidikan Masalah-masalah Legislatif yang diselenggarakan FISIP. Pendidikan dengan sistem paket 195 jam ini menyajikan 34 topik perkuliahan dari disiplin Sosiologi, Komunikasi Massa, Administrasi, dan Politik. Bentuk kuliah: ceramah, diskusi, dan menyusun makalah sebagai tugas akhir. Dekan FISIP UI Dr. Manasse Malo, 42, mengatakan bahwa gagasan "menyekolahkan" anggota DPRD itu datang dari fakultasnya. "Sudah saya pikirkan sejak awal 1983," katanya. Selain sebagai perwujudan pengabdian masyarakat perguruan tinggi, pendidikan itu juga merupakan kelanjutan kerja sama UI dengan Departemen Dalam Negeri yang ditandatangani 1976. Mengapa anggota DPRD yang dipilih? "Ini berkaitan dengan harapan agar ilmu sosial lebih berperan. Kami menyumbangkannya lewat anggota DPRD sebagai unsur legislatif, supaya mereka lebih mampu melaksanakan tugasnya," kata Manasse. Dari laporan media massa disimpulkannya, para wakil rakyat di daerah kurang berfungsi. "Akhir-akhir ini masyarakat daerah sering mengambil jalan pintas. Misalnya, dalam kasus tanah. Mereka langsung mengadu ke DPR Pusat. Seharusnya, 'kan bisa ditanggulangi di daerah," ujarnya. Buat FISIP sendiri, program ini diharapkan membawa pengaruh baik. "Supaya mereka tahu fakultas bukan menara gading. Di antara kita ada orang lapangan," kata Manasse. Sekalipun dipasang selama sebulan di kantor gubernur, publikasi ini cuma berhasil mengumpulkan sedikit peserta untuk angkatan pertama. Mungkin karena dari tiap peserta, yang berasal dari tujuh provinsi dan sebagian besar dari luar Jawa, dipungut biaya Rp 200.000. Sebagian besar biaya program, dari Rp 3 juta yang tersedia, dipakai untuk membayar pengajar, yang hampir seluruhnya dosen senior UI. Mereka, antara lain, Prof. Dr. Koentjaraningrat, Prof. Selo Soemardjan, dan Prof. Dr. T.O. Ihromi. Dengan pendidikan ini, Manasse mengharapkan peserta mampu memahami persoalan di daerah secara sistematis. "Dengan konsep yang lebih sistematis, usul dan saran anggota DPRD bisa lebih diterima," katanya. Sebab, menurut dia, untuk menentukan kebijaksanaan dan mengambil keputusan, diperlukan pengetahuan ilmiah, bukan sekadar akal sehat. Pendidikan ini diharapkan bisa meningkatkan kemampuan peserta dalam membuat keputusan, menyusun peraturan perundangan, dan berkomunikasi dengan masyarakat. Menurut beberapa peserta, formulir tawaran yang dikirim FISIP UI diumumkan dalam sidang DPRD. "Siapa yang ingin ikut dipersilakan mendaftar," kata Fatmah Oemar, anggota DPRD Sumatera Selatan. Karena dlrencanakan akan dnkuti 40 peserta tiap provinsi diperkirakan akan mendapat jatah dua peserta. "Di daerah kami seleksi dilakukan oleh ketua DPRD. Yang jelas, peserta dari Sumatera Selatan berasal dari Fraksi ABRI dan Karya Pembangunan," kata Fatmah. Biaya pendidikan ditanggung DPRD. Sedangkan biaya akomodasi dan transpor ditanggung pemerintah daerah. Lain halnya Aceh. DPRD provinsi ini tidak menanggung biaya peserta. Karena itu, hanya seorang yang berminat. Begitu juga nasib peserta Jakarta. "Saya tidak tahu apakah biaya yang saya keluarkan akan diganti atau tidak," kata Achmad Suaidi, ketua FKP DPRD DKI Jakarta. PESERTA umumnya, menganggap pendidikan ini bermanfaat. "Berbeda dengan eksekutif, mereka yang duduk dalam legislatif tidak selalu pintar. Mungkin ia terpilih karena kharisma, nasib, atau alasan politis, kata Achmad Suaidi. Menurut alumnus IAIN ini, pendidikan bagi anggota DPRD bisa menghilangkan ketimpangan mutu antara legislatif dan eksekutif yang selama ini ada. Sedang Mayor C.H.B. Hasan Yunus, anggota Komisi E DPRD Aceh berpendapat, kuliah dari "dosen-dosen top di Indonesia" ini sangat diperlukan. "Penjelasannya mendetail dan contoh-contohnya praktis," katanya. Tampaknya pendidikan buat anggota DPRD akan dikembangkan. "Kalau program ini dinilai layak, bisa dijadikan program departemen," kata H. Sumitro Maskun, kepala Badan Pendidikan dan Latihan Departemen Dalam Negeri. Ia menambahkan, departemen ini tengah menjajaki kemungkinan menuangkan pendidikan non-gelar ini dalam suatu surat keputusan mendagri. Alasannya? "Anggota DPRD perlu ditingkatkan mutunya agar eksekutif dan legislatif berjalan beriringan," kata Sumitro, sembari menyebut kelak penyelenggara pendidikan seperti ini tidak harus UI. "Lebih baik kalau itu diselenggarakan universitas yang terdekat."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus