PENAMPILAN 22 "mahasiswa" itu tidak biasa. Ada yang berkemeja
lengan panjang, ada yang berbaju batik, malah ada pula yang
memakai setelan safari. Dan hampir semuanya sudah berumur.
Mereka, yang tengah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP) Universitas Indonesia itu, memang bukan
mahasiswa biasa. Mereka adalah anggota DPRD Tingkat I dari
beberapa daerah.
Selama sekitar dua bulan, sampai pertengahan Desember nanti,
mereka mengikuti program Pendidikan Masalah-masalah Legislatif
yang diselenggarakan FISIP. Pendidikan dengan sistem paket 195
jam ini menyajikan 34 topik perkuliahan dari disiplin Sosiologi,
Komunikasi Massa, Administrasi, dan Politik. Bentuk kuliah:
ceramah, diskusi, dan menyusun makalah sebagai tugas akhir.
Dekan FISIP UI Dr. Manasse Malo, 42, mengatakan bahwa gagasan
"menyekolahkan" anggota DPRD itu datang dari fakultasnya. "Sudah
saya pikirkan sejak awal 1983," katanya. Selain sebagai
perwujudan pengabdian masyarakat perguruan tinggi, pendidikan
itu juga merupakan kelanjutan kerja sama UI dengan Departemen
Dalam Negeri yang ditandatangani 1976.
Mengapa anggota DPRD yang dipilih? "Ini berkaitan dengan harapan
agar ilmu sosial lebih berperan. Kami menyumbangkannya lewat
anggota DPRD sebagai unsur legislatif, supaya mereka lebih mampu
melaksanakan tugasnya," kata Manasse. Dari laporan media massa
disimpulkannya, para wakil rakyat di daerah kurang berfungsi.
"Akhir-akhir ini masyarakat daerah sering mengambil jalan
pintas. Misalnya, dalam kasus tanah. Mereka langsung mengadu ke
DPR Pusat. Seharusnya, 'kan bisa ditanggulangi di daerah,"
ujarnya.
Buat FISIP sendiri, program ini diharapkan membawa pengaruh
baik. "Supaya mereka tahu fakultas bukan menara gading. Di
antara kita ada orang lapangan," kata Manasse.
Sekalipun dipasang selama sebulan di kantor gubernur, publikasi
ini cuma berhasil mengumpulkan sedikit peserta untuk angkatan
pertama. Mungkin karena dari tiap peserta, yang berasal dari
tujuh provinsi dan sebagian besar dari luar Jawa, dipungut biaya
Rp 200.000. Sebagian besar biaya program, dari Rp 3 juta yang
tersedia, dipakai untuk membayar pengajar, yang hampir
seluruhnya dosen senior UI. Mereka, antara lain, Prof. Dr.
Koentjaraningrat, Prof. Selo Soemardjan, dan Prof. Dr. T.O.
Ihromi.
Dengan pendidikan ini, Manasse mengharapkan peserta mampu
memahami persoalan di daerah secara sistematis. "Dengan konsep
yang lebih sistematis, usul dan saran anggota DPRD bisa lebih
diterima," katanya. Sebab, menurut dia, untuk menentukan
kebijaksanaan dan mengambil keputusan, diperlukan pengetahuan
ilmiah, bukan sekadar akal sehat. Pendidikan ini diharapkan bisa
meningkatkan kemampuan peserta dalam membuat keputusan, menyusun
peraturan perundangan, dan berkomunikasi dengan masyarakat.
Menurut beberapa peserta, formulir tawaran yang dikirim FISIP UI
diumumkan dalam sidang DPRD. "Siapa yang ingin ikut dipersilakan
mendaftar," kata Fatmah Oemar, anggota DPRD Sumatera Selatan.
Karena dlrencanakan akan dnkuti 40 peserta tiap provinsi
diperkirakan akan mendapat jatah dua peserta. "Di daerah kami
seleksi dilakukan oleh ketua DPRD. Yang jelas, peserta dari
Sumatera Selatan berasal dari Fraksi ABRI dan Karya
Pembangunan," kata Fatmah. Biaya pendidikan ditanggung DPRD.
Sedangkan biaya akomodasi dan transpor ditanggung pemerintah
daerah.
Lain halnya Aceh. DPRD provinsi ini tidak menanggung biaya
peserta. Karena itu, hanya seorang yang berminat. Begitu juga
nasib peserta Jakarta. "Saya tidak tahu apakah biaya yang saya
keluarkan akan diganti atau tidak," kata Achmad Suaidi, ketua
FKP DPRD DKI Jakarta.
PESERTA umumnya, menganggap pendidikan ini bermanfaat. "Berbeda
dengan eksekutif, mereka yang duduk dalam legislatif tidak
selalu pintar. Mungkin ia terpilih karena kharisma, nasib, atau
alasan politis, kata Achmad Suaidi. Menurut alumnus IAIN ini,
pendidikan bagi anggota DPRD bisa menghilangkan ketimpangan mutu
antara legislatif dan eksekutif yang selama ini ada.
Sedang Mayor C.H.B. Hasan Yunus, anggota Komisi E DPRD Aceh
berpendapat, kuliah dari "dosen-dosen top di Indonesia" ini
sangat diperlukan. "Penjelasannya mendetail dan contoh-contohnya
praktis," katanya.
Tampaknya pendidikan buat anggota DPRD akan dikembangkan. "Kalau
program ini dinilai layak, bisa dijadikan program departemen,"
kata H. Sumitro Maskun, kepala Badan Pendidikan dan Latihan
Departemen Dalam Negeri. Ia menambahkan, departemen ini tengah
menjajaki kemungkinan menuangkan pendidikan non-gelar ini dalam
suatu surat keputusan mendagri.
Alasannya? "Anggota DPRD perlu ditingkatkan mutunya agar
eksekutif dan legislatif berjalan beriringan," kata Sumitro,
sembari menyebut kelak penyelenggara pendidikan seperti ini
tidak harus UI. "Lebih baik kalau itu diselenggarakan
universitas yang terdekat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini