Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Demi keadilan atawa uang

Tidak semua pengacara sibuk & kaya, ada yang terkenal & kaya, ada yang terkenal & melarat. berbeda pula dengan pokrol bambu, profesi hukum zaman belanda tidak sama dengan zaman sekarang. dulu pengadilan dianggap adil. (sd)

9 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Indonesia ini ada sekitar 500 orang pengacara berikut kurang lebih 1000 orang pokrol bambu. Di Jakarta sendiri ada sekitar 150 orang pengacara dan 150 orang pokrol bambu mencoba mendampingi rakyat yang rata-rata hidup lebih gelisah dibanding orang daerah. Tapi sebagaimana juga halnya dokter, tidak semua pengacara sibuk dan kaya. Beberapa nama memang melambung, gendut, jadi pujaan orang banyak pula. Tapi tak sedikit yang namanya saja keren, hidupnya tetap melarat. Diancam Bicara soal pengacara di Indonesia, orang langsung teringat pada Buyung Nasution. Orang ini terjun jadi pengacara sejak 1968. Sekarang Direktur Lembaga Bantuan Hukum. Pernah disekap dalam tahanan sehabis "Malari". Lelaki berusia 45 tahun, alumnus Universitas Indonesia ini, sempat jadi Humas Kejaksaan Agung dan anggota DPR. Sekarang namanya selangit. Tetapi semua itu tidak dengan percuma. Semua harus dibayar. "Saya bekerja dari matahari terbit sampai matahari terbenam," kata Buyung. Tak cukup dibayar waktu, nama besar juga harus dibayar dengan pengorbanan perasaan. "Karena saya jadi bentrok di mana-mana untuk kepentingan klien," kata Buyung. Antara lain ia menyebutkan pernah bentrok dengan Pangdam di Sumatera Barat untuk kasus yang tak mau disebutnya. Seorang staf Buyung di Bandung pernah diancam dengan pistol supaya menghentikan aktivitas membela seorang klien. "Tetapi dalam menjalankan tugas, hal-hal seperti itu memang harus dihadapi," kata Buyung cepat-cepat. Ia menunjuk si "Petrocelli" pengacara terkenal di antara penonton film seri tv. "Dalam mengumpulkan fakta-fakta kita selalu seperti Mannix," kata Buyung. (Maaf -- yang tidak doyan tv, Mannix adalah detektip partikulir dalam film seri). Wartawan Sering banyak datang tamu tak diundang -- lawan dari klien membawa gumpalan uang. Mulut pengacara mau disumbat. "Insyaallah saya masih bisa menghindar," kata Buyung. Ia juga menganggap usaha "main kotor" dari kliennya sendiri dengan para penegak hukum, menjadi tantangan yang lain. "Karena kemenangan saya nantinya tidak akan memuaskan saya," katanya. Namun terus terang ia mengaku tidak bisa mengontrol apabila para kliennya meraba lutut para penegak hukum secara rahasia. Tidak semua pengacara seperti Buyung. Tatang Suganda SH (35 tahun), masih satu kandang dengan Buyung. Ia Wakil Direktur II di LBH, mengaku tidak banyak mendapat tantangan dalam menjalankan profesi, meskipun tuntutan idealisme tetap berat. Kenapa? Ia yang jadi pengacara sejak masih sekolah (alumnus UNPAD) penghasilannya tidak lebih dari gaji yang sudah ditetapkan. "Tidak sepeserpun imbalan dari klien, walau menang sekalipun," ujarnya "gaji kami tak banyak berbeda dengan wartawan." Tatang mulai makan gaji pada awal tahun 70-an. Setelah potong bayar kost setiap bulan, ternyata sisanya hanya Rp 2500. Tapi ia tidak sendirian. Semua pengacara LBH waktu itu masih naik motor atau opelet kalau lagi mondar-mandir membela kliennya. Sekarang LBH sudah jaya, tak perlu bingung. Ada jemputan mobil untuk tugas ke mana-mana. Tatang malah merencanakan membangun kantor sendiri tahun depan. "Yah untuk memberikan kesempatan kepada yang muda-muda," katanya. Ia termasuk pengacara yang lentur jalan kariernya. Kenang-kenangannya yang paling berkesan di LBH menyangkut soal Sunter. Ia berhasil memperjuangkan ganti rugi yang wajar bagi penduduk Sunter yang digusur dari tanahnya di zaman "genting" penggusuran. Berbeda dengan Tatang yang kepalanya masih diasapi idealisme, mungkin bisa diambil contoh HM Dharto Wahab SH. Orang ini benar-benar profesional. Ia mcmiliki kantor di Jakarta yang didukung oleh sembilan staf ahli. Buka antara pukul 8 pagi sampai 8 malam. Kaki-tangannya juga ada di Pekalongan dan Magelang. Dharto Wahab terkenal sebagai pengacara Remaco -- yang sering berselisih dengan penyanyi untuk sengketa yang bernilai deretan nol panjang-panjang. "Terus terang, enaknya menjadi pengacara, karena banyak uangnya," kata advokat itu tanpa tedeng aling-aling. Dharto Wahab pada awalnya adalah seorang wartawan Duta Masyarakat. Ia memulai kariernya sebagai pembela pada 1973. Karena uang mengalir terus, ia berhenti jadi nyamuk pers, meskipun masih tetap bertahan sebagai konsultan hukum di harian Pos Kota. Mungkin supaya ada alasan untuk mencantumkan profesi "wartawan" di kartu namanya. Kalau melihat prospectus yang dikeluarkan kantor alumnus Universitas Islam ini, kita akhirnya merasa bahwa kerja pengacara sama saja dengan "biro jasa umum" yang lain. Seperti perusahaan pengangkutan, misalnya. Dalam brosur itu secara terus terang Dharto menawarkan jasa-jasa apa yang disanggupkannya bagi calon-calon klien. "Bahkan pengurusan paspor pun saya layani di kantor ini," kata Dharto Wahab yang beristerikan penyanyi qasidah Rofiqoh Dharto Wahab. Berapa penghasilan pengacara? Setelah kerja keras selama 6 tahun dengan menangani sekitar 634 perkara, Dharto boleh dikata hidup layak. Sebagai penasehat hukum beberapa perusahaan, ia pun berhasil mengumpul jumlah sekitar Rp 800 ribu sebulan (termasuk dari Remaco). "Padahal gaji wartawan sekarang paling besar hanya Rp 400 ribu," katanya membandingkan. Sedangkan jumlah yang digaet dari perkara yang dia bela tidak tentu. "Tergantung dari bobot perkara," kata Dharto. Tetapi jangan lupa, semua ini tidak datang seperti sulapan, fondasinya berat juga. Sebab selama satu tahun permulaan, di sebuah rumah di Kebayoran Baru (Jakarta), ia sempat mengalami masa sulit. "Setahun hanya satu klien yang datang dan itupun tidak bayar," katanya. Kebiasaan kerja cepat sebagai wartawan sangat menolong Dharto dalam menyiapkan jawaban yang diminta sidang. Karena itu ia bisa membanggakan tidak pernah minta sidang ditunda untuk mempersiapkan jawaban. Plus, kebiasaan ngeluyur juga terus ditancap. "Setiap hari saya mengunjungi klien-klien saya untuk berdialog," ujarnya. Jadi tak jauh bedanya dengan wawancara seorang wartawan --hanya saja sekarang ditambah memberikan jawaban-jawaban kalau klien bertanya -- dan duitnya, tentu saja. H. I. R. Tarif Dharto menurut pengakuan seorang stafnya -- setiap pertanyaan klien yang berkonsultasi dikenakan bayaran Rp 2000. Tarif di atas, sebetulnya tergolong mini kalau dibanding dengan tarif pengacara-pengacara beken macam Gani Djemat SH, Prof. Gautama atau Buyung Nasution. Gani Djemat SH, pembela yang berkantor di Jalan Imam Bonjol dalam sebuah bangunan megah dikitari puluhan stafnya. Untuk seorang kliennya bernama ES --waktu itu Direktur PT Jawa Building -- Gani Djemat mengenakan fee sebesar 500 dollar Amerika untuk 10 jam kerja dalam satu bulan. Ini bagi Gani masih belum apa-apa. "Itu hanya klien biasa saja, banyak yang lebih besar," ujarnya kalem. Ia memang rupanya sudah jodoh dengan banyak perusahaan asing, bank asing dan pemerintah, termasuk juga kontraktor-kontraktor asing. Pengacara yang satu ini bekas Letnan Kolonel Laut. Ia baru mulai praktek semenjak masa orde baru. Stafnya, ada bekas hakim seperti Max Lamuda SH, ada keluaran Leiden. Ia sendiri pernah menjadi hakim anggota di dalam "Mahmilub". Tentu saja kantor besar dengan staf besar wajar menelorkan honor besar. Tidak demikian halnya dengan para pokrol bambu. S. Nababan, seorang pokrol yang dijumpai TEMPO mengaku hidupnva pedih. "Negara Indonesia terlalu birokratis, sehingga semua urusan menjadi berbelit-belit," keluhnya. Perlu diketahui, bahwa seorang pengacara melakukan tugas berdasarkan pengangkatan lewat SK Menteri Kehakiman serta disumpah di Pengadilan Tinggi. Pokrol bambu tidak, sifatnya hanya pemberian kuasa, bisa dilakukan oleh siapa saja, terutama di Jakarta. Di daerah-daerah sekarang mulai ada pengketatan pokrol bambu harus lulus ujian yang diadakan pengadilan. Nababan mengeluh soal gelar yang tak dimilikinya sering menjadi halangan dalam bekerja. Padahal ia melihat Hukum Acara yang berlaku tidak mengharuskan seorang pembela bertitel. "Itulah Indonesia," keluhnya lebih lanjut "padahal kadang-kadang titel sarjana yang dibeli, lebih dihargai dari kemampuan seorang yang bukan sarjana." Pokrol ini sebenarnya pernah mencicip Fakultas Hukum Universitas Indonesia sampai tingkat V (1966). Tetapi Ketua Pengadilan Jakarta Utara/Timur tidak menerima kehadiran Nababan sebagai pengacara -- karena tidak mampu menambah SH di belakang namanya. Jadi seharusnya ia membawa surat izin dari Departemen Kehakiman dan Depnaker. "Saya memang tidak punya izin dari siapa-siapa, karena saya orang merdeka," kata Nababan dengan sengit. Ia menunjuk Hukum Acara yang membenarkannya (HIR), tetapi ketua pengadilan mengatakan prosedur harus dilalui. Jadi Nababan makin berkoar, ia menilai hukum sekarang tak ubahnya dengan hukum di Perancis sebelum Revolusi Perancis. "Masak ongkos di satu pengadilan Rp 1000, di pengadilan lain bisa Rp 25 ribu," gerutunya dengan berang. Nababan punya kantor juga di Jalan HOS Tjokroaminoto, tanpa papan nama. Toh ia tidak kekurangan klien. Biasanya rakyat kecil yang digusur, atau dipecat oleh kantornya dengan sewenang-wenang. Pembayarannya bisa uang, bisa padi, pisang bahkan mungkin juga sawah. Dari sebuah perkara tanah di Tangerang misalnya, ia mendapat imbalan sawah dari penduduk, setelah berhasil menang. Dari orang mampu, ia juga pernah terima honor sampai 3-5 juta. Barangkali itu sebabnya orang kelahiran Siborong-borong (Tapanuli) ini, optimis menjalankan profesinya. "Tapi saya yakin tidak akan pernah kaya tapi melarat juga tidak," ujarnya. Kenapa Kecewa Sebagai pokrol bambu, Nababan memiliki kesenangan-kesenangan yang melebihi pengacara gedongan. Ia merdeka. "Tidak terikat, bisa bangun seenaknya, bahkan sering main gaple dengan klien," ujarnya. Tentu saja. Habis, daerah operasinya juga di sekitar warung-warung kecil tempat penduduk nongkrong. "Saya yakin dengan profesi Ini dan saya akan terus dalam profesi ini," katanya dengan gagah. Tekad Nababan berbeda dengan X, seorang bekas pembela yang kini berusia 70 tahun, bekas pejabat tinggi. Ia menjadi jaksa di zaman Jepang. Kemudian jadi hakim di zaman kemerdekaan. Setelah pensiun, ia aktip sebagai pengacara, tapi kemudian meninggalkan profesi itu selama-lamanya. Kenapa? Kecewa. Kenapa kecewa? "Saya mengerti sekarang profesi hukum sudah lain dari zaman saya, saya ingin mencoba memperbaiki kembali di akhir usia saya, ternyata dunia benar-benar sudah lain," katanya. Rupanya ia berusaha untuk menentang arus, tapi gagal. Arus apa? Ia tak menerangkan dengan gamblang, samar-samar ia mengingatkan kita pada apa yang belakangan ini disebut-sebut sebagai "mafia peradilan." "Dulu jarang yang naik banding kalau kalah perkara, karena mereka percaya keputusan sudah adil," kata X yang mundur itu. Sekarang?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus