DI Indonesia ini ada sekitar 500 orang pengacara berikut kurang
lebih 1000 orang pokrol bambu. Di Jakarta sendiri ada sekitar
150 orang pengacara dan 150 orang pokrol bambu mencoba
mendampingi rakyat yang rata-rata hidup lebih gelisah dibanding
orang daerah.
Tapi sebagaimana juga halnya dokter, tidak semua pengacara sibuk
dan kaya. Beberapa nama memang melambung, gendut, jadi pujaan
orang banyak pula. Tapi tak sedikit yang namanya saja keren,
hidupnya tetap melarat.
Diancam
Bicara soal pengacara di Indonesia, orang langsung teringat pada
Buyung Nasution. Orang ini terjun jadi pengacara sejak 1968.
Sekarang Direktur Lembaga Bantuan Hukum. Pernah disekap dalam
tahanan sehabis "Malari". Lelaki berusia 45 tahun, alumnus
Universitas Indonesia ini, sempat jadi Humas Kejaksaan Agung dan
anggota DPR. Sekarang namanya selangit.
Tetapi semua itu tidak dengan percuma. Semua harus dibayar.
"Saya bekerja dari matahari terbit sampai matahari terbenam,"
kata Buyung. Tak cukup dibayar waktu, nama besar juga harus
dibayar dengan pengorbanan perasaan. "Karena saya jadi bentrok
di mana-mana untuk kepentingan klien," kata Buyung. Antara lain
ia menyebutkan pernah bentrok dengan Pangdam di Sumatera Barat
untuk kasus yang tak mau disebutnya.
Seorang staf Buyung di Bandung pernah diancam dengan pistol
supaya menghentikan aktivitas membela seorang klien. "Tetapi
dalam menjalankan tugas, hal-hal seperti itu memang harus
dihadapi," kata Buyung cepat-cepat. Ia menunjuk si "Petrocelli"
pengacara terkenal di antara penonton film seri tv. "Dalam
mengumpulkan fakta-fakta kita selalu seperti Mannix," kata
Buyung. (Maaf -- yang tidak doyan tv, Mannix adalah detektip
partikulir dalam film seri).
Wartawan
Sering banyak datang tamu tak diundang -- lawan dari klien
membawa gumpalan uang. Mulut pengacara mau disumbat. "Insyaallah
saya masih bisa menghindar," kata Buyung. Ia juga menganggap
usaha "main kotor" dari kliennya sendiri dengan para penegak
hukum, menjadi tantangan yang lain. "Karena kemenangan saya
nantinya tidak akan memuaskan saya," katanya. Namun terus terang
ia mengaku tidak bisa mengontrol apabila para kliennya meraba
lutut para penegak hukum secara rahasia.
Tidak semua pengacara seperti Buyung. Tatang Suganda SH (35
tahun), masih satu kandang dengan Buyung. Ia Wakil Direktur II
di LBH, mengaku tidak banyak mendapat tantangan dalam
menjalankan profesi, meskipun tuntutan idealisme tetap berat.
Kenapa? Ia yang jadi pengacara sejak masih sekolah (alumnus
UNPAD) penghasilannya tidak lebih dari gaji yang sudah
ditetapkan. "Tidak sepeserpun imbalan dari klien, walau menang
sekalipun," ujarnya "gaji kami tak banyak berbeda dengan
wartawan."
Tatang mulai makan gaji pada awal tahun 70-an. Setelah potong
bayar kost setiap bulan, ternyata sisanya hanya Rp 2500. Tapi ia
tidak sendirian. Semua pengacara LBH waktu itu masih naik motor
atau opelet kalau lagi mondar-mandir membela kliennya. Sekarang
LBH sudah jaya, tak perlu bingung. Ada jemputan mobil untuk
tugas ke mana-mana.
Tatang malah merencanakan membangun kantor sendiri tahun depan.
"Yah untuk memberikan kesempatan kepada yang muda-muda,"
katanya. Ia termasuk pengacara yang lentur jalan kariernya.
Kenang-kenangannya yang paling berkesan di LBH menyangkut soal
Sunter. Ia berhasil memperjuangkan ganti rugi yang wajar bagi
penduduk Sunter yang digusur dari tanahnya di zaman "genting"
penggusuran.
Berbeda dengan Tatang yang kepalanya masih diasapi idealisme,
mungkin bisa diambil contoh HM Dharto Wahab SH. Orang ini
benar-benar profesional. Ia mcmiliki kantor di Jakarta yang
didukung oleh sembilan staf ahli. Buka antara pukul 8 pagi
sampai 8 malam. Kaki-tangannya juga ada di Pekalongan dan
Magelang. Dharto Wahab terkenal sebagai pengacara Remaco -- yang
sering berselisih dengan penyanyi untuk sengketa yang bernilai
deretan nol panjang-panjang. "Terus terang, enaknya menjadi
pengacara, karena banyak uangnya," kata advokat itu tanpa tedeng
aling-aling.
Dharto Wahab pada awalnya adalah seorang wartawan Duta
Masyarakat. Ia memulai kariernya sebagai pembela pada 1973.
Karena uang mengalir terus, ia berhenti jadi nyamuk pers,
meskipun masih tetap bertahan sebagai konsultan hukum di harian
Pos Kota. Mungkin supaya ada alasan untuk mencantumkan profesi
"wartawan" di kartu namanya.
Kalau melihat prospectus yang dikeluarkan kantor alumnus
Universitas Islam ini, kita akhirnya merasa bahwa kerja
pengacara sama saja dengan "biro jasa umum" yang lain. Seperti
perusahaan pengangkutan, misalnya. Dalam brosur itu secara
terus terang Dharto menawarkan jasa-jasa apa yang
disanggupkannya bagi calon-calon klien. "Bahkan pengurusan
paspor pun saya layani di kantor ini," kata Dharto Wahab yang
beristerikan penyanyi qasidah Rofiqoh Dharto Wahab.
Berapa penghasilan pengacara? Setelah kerja keras selama 6 tahun
dengan menangani sekitar 634 perkara, Dharto boleh dikata hidup
layak. Sebagai penasehat hukum beberapa perusahaan, ia pun
berhasil mengumpul jumlah sekitar Rp 800 ribu sebulan (termasuk
dari Remaco). "Padahal gaji wartawan sekarang paling besar hanya
Rp 400 ribu," katanya membandingkan. Sedangkan jumlah yang
digaet dari perkara yang dia bela tidak tentu. "Tergantung dari
bobot perkara," kata Dharto. Tetapi jangan lupa, semua ini tidak
datang seperti sulapan, fondasinya berat juga. Sebab selama satu
tahun permulaan, di sebuah rumah di Kebayoran Baru (Jakarta), ia
sempat mengalami masa sulit. "Setahun hanya satu klien yang
datang dan itupun tidak bayar," katanya.
Kebiasaan kerja cepat sebagai wartawan sangat menolong Dharto
dalam menyiapkan jawaban yang diminta sidang. Karena itu ia bisa
membanggakan tidak pernah minta sidang ditunda untuk
mempersiapkan jawaban. Plus, kebiasaan ngeluyur juga terus
ditancap. "Setiap hari saya mengunjungi klien-klien saya untuk
berdialog," ujarnya. Jadi tak jauh bedanya dengan wawancara
seorang wartawan --hanya saja sekarang ditambah memberikan
jawaban-jawaban kalau klien bertanya -- dan duitnya, tentu saja.
H. I. R.
Tarif Dharto menurut pengakuan seorang stafnya -- setiap
pertanyaan klien yang berkonsultasi dikenakan bayaran Rp 2000.
Tarif di atas, sebetulnya tergolong mini kalau dibanding dengan
tarif pengacara-pengacara beken macam Gani Djemat SH, Prof.
Gautama atau Buyung Nasution.
Gani Djemat SH, pembela yang berkantor di Jalan Imam Bonjol
dalam sebuah bangunan megah dikitari puluhan stafnya. Untuk
seorang kliennya bernama ES --waktu itu Direktur PT Jawa
Building -- Gani Djemat mengenakan fee sebesar 500 dollar
Amerika untuk 10 jam kerja dalam satu bulan. Ini bagi Gani masih
belum apa-apa. "Itu hanya klien biasa saja, banyak yang lebih
besar," ujarnya kalem. Ia memang rupanya sudah jodoh dengan
banyak perusahaan asing, bank asing dan pemerintah, termasuk
juga kontraktor-kontraktor asing.
Pengacara yang satu ini bekas Letnan Kolonel Laut. Ia baru mulai
praktek semenjak masa orde baru. Stafnya, ada bekas hakim
seperti Max Lamuda SH, ada keluaran Leiden. Ia sendiri pernah
menjadi hakim anggota di dalam "Mahmilub". Tentu saja kantor
besar dengan staf besar wajar menelorkan honor besar.
Tidak demikian halnya dengan para pokrol bambu. S. Nababan,
seorang pokrol yang dijumpai TEMPO mengaku hidupnva pedih.
"Negara Indonesia terlalu birokratis, sehingga semua urusan
menjadi berbelit-belit," keluhnya. Perlu diketahui, bahwa
seorang pengacara melakukan tugas berdasarkan pengangkatan lewat
SK Menteri Kehakiman serta disumpah di Pengadilan Tinggi. Pokrol
bambu tidak, sifatnya hanya pemberian kuasa, bisa dilakukan oleh
siapa saja, terutama di Jakarta. Di daerah-daerah sekarang mulai
ada pengketatan pokrol bambu harus lulus ujian yang diadakan
pengadilan.
Nababan mengeluh soal gelar yang tak dimilikinya sering menjadi
halangan dalam bekerja. Padahal ia melihat Hukum Acara yang
berlaku tidak mengharuskan seorang pembela bertitel. "Itulah
Indonesia," keluhnya lebih lanjut "padahal kadang-kadang titel
sarjana yang dibeli, lebih dihargai dari kemampuan seorang yang
bukan sarjana."
Pokrol ini sebenarnya pernah mencicip Fakultas Hukum Universitas
Indonesia sampai tingkat V (1966). Tetapi Ketua Pengadilan
Jakarta Utara/Timur tidak menerima kehadiran Nababan sebagai
pengacara -- karena tidak mampu menambah SH di belakang namanya.
Jadi seharusnya ia membawa surat izin dari Departemen Kehakiman
dan Depnaker. "Saya memang tidak punya izin dari siapa-siapa,
karena saya orang merdeka," kata Nababan dengan sengit. Ia
menunjuk Hukum Acara yang membenarkannya (HIR), tetapi ketua
pengadilan mengatakan prosedur harus dilalui. Jadi Nababan makin
berkoar, ia menilai hukum sekarang tak ubahnya dengan hukum di
Perancis sebelum Revolusi Perancis. "Masak ongkos di satu
pengadilan Rp 1000, di pengadilan lain bisa Rp 25 ribu,"
gerutunya dengan berang.
Nababan punya kantor juga di Jalan HOS Tjokroaminoto, tanpa
papan nama. Toh ia tidak kekurangan klien. Biasanya rakyat kecil
yang digusur, atau dipecat oleh kantornya dengan
sewenang-wenang. Pembayarannya bisa uang, bisa padi, pisang
bahkan mungkin juga sawah. Dari sebuah perkara tanah di
Tangerang misalnya, ia mendapat imbalan sawah dari penduduk,
setelah berhasil menang. Dari orang mampu, ia juga pernah terima
honor sampai 3-5 juta. Barangkali itu sebabnya orang kelahiran
Siborong-borong (Tapanuli) ini, optimis menjalankan profesinya.
"Tapi saya yakin tidak akan pernah kaya tapi melarat juga
tidak," ujarnya.
Kenapa Kecewa
Sebagai pokrol bambu, Nababan memiliki kesenangan-kesenangan
yang melebihi pengacara gedongan. Ia merdeka. "Tidak terikat,
bisa bangun seenaknya, bahkan sering main gaple dengan klien,"
ujarnya. Tentu saja. Habis, daerah operasinya juga di sekitar
warung-warung kecil tempat penduduk nongkrong. "Saya yakin
dengan profesi Ini dan saya akan terus dalam profesi ini,"
katanya dengan gagah.
Tekad Nababan berbeda dengan X, seorang bekas pembela yang kini
berusia 70 tahun, bekas pejabat tinggi. Ia menjadi jaksa di
zaman Jepang. Kemudian jadi hakim di zaman kemerdekaan. Setelah
pensiun, ia aktip sebagai pengacara, tapi kemudian meninggalkan
profesi itu selama-lamanya. Kenapa? Kecewa. Kenapa kecewa?
"Saya mengerti sekarang profesi hukum sudah lain dari zaman
saya, saya ingin mencoba memperbaiki kembali di akhir usia saya,
ternyata dunia benar-benar sudah lain," katanya. Rupanya ia
berusaha untuk menentang arus, tapi gagal. Arus apa? Ia tak
menerangkan dengan gamblang, samar-samar ia mengingatkan kita
pada apa yang belakangan ini disebut-sebut sebagai "mafia
peradilan."
"Dulu jarang yang naik banding kalau kalah perkara, karena
mereka percaya keputusan sudah adil," kata X yang mundur itu.
Sekarang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini