DUA orang mahasiswa Malaysia melintasi sebuah jalan sepi di
Medan. Tiba-tiba mereka tertegun karena memergoki sebuah papan
bertuliskan, "dilarang berjalan di sini." Sebagai orang asing
yang berusaha sopan di negeri orang, terlebih-lebih karena baru
saja tiba, kontan mereka menghindar dan mencari becak. "Kalau
berjalan dilarang, tentu naik becak tidak," pikir mereka berdua.
Pada hari-hari berikutnya, setiap lewat jalan itu, mereka naik
becak. Suatu hari, Arifin Cik Soh dan Yahya Cik Soh, kedua
mahasiswa itu, tertawa setengah mampus, setelah sadar. "Lihat
tulisan itu," kata Arifin yang mula-mula menyadari, kepada
Yahya. Ternyata yang tertulis di situ bukannya dilarang
"berjalan", tapi dilarang "berjualan". Tangan usil telah
menghilangkan huruf U pada tulisan tadi.
Itu terjadi pada 1977 sebagai salah satu suka duka mahasiswa
asing yang baru datang dan belajar di Indonesia. Arifin, 24
tahun, sekarang sudah tingkat III di Fakultas Keguruan Ilmu
Eksakta jurusan biologi, IKIP Medan. Logat Medannya juga sudah
tebal.
Delapan bulan pertama, Yahya dan Arifin memang masih mengalami
kesulitan. Terutama dalam soal bahasa. "Kita bilang ini,
diartikan itu," kata Arifin. Perlahan-lahan akhirnya mereka
mengenal bahasa pasaran yang dipergunakan oleh para pemuda.
Yahya bahkan kini sudah bisa sedikit bahasa Minang.
Yang tetap menjadi kesulitan adalah biaya hidup yang selalu
pas-pasan. Maklum mereka tergantung dari beasiswa. "Pernah
beasiswa dari Kementerian Pelajaran Malaysia belum tiba, kiriman
dari orang tua juga belum sampai, terpaksa tidak makan nasi
selama berhari-hari," kata mereka.
Tak kurang dari 40 mahasiswa Malaysia kini belajar di Medan.
Separuhnya mahasiswa IKIP. Kabarnya negeri mereka memang lagi
kekurangan guru.
Di Surabaya juga ada 15 orang mahasiswa Malaysia. Semua belajar
di Fakultas Kedokteran Unair. Kesulitannya sama. Bagi mereka
bahasa Indonesia terlalu banyak memakai istilah asing.
"Sehingga orang yang mau belajar bahasa Indonesia agaknya perlu
belajar bahasa Inggris dulu, baru kemudian mengubah beberapa
istilah. Misalnya conception menjadi konsepsi," kata Mahmud bin
Awang Keci pemimpin ke-15 mahasiswa itu.
Sering mereka menerima olok-olok mahasiswa pribumi. Misalnya ada
yang menanyakan sambil bergurau: apa benar di Malaysia orang
menyebut Rumah Sakit Bersalin sebagai Rumah Sakit Korban Lelaki.
Atau Angkatan Udara dengan Askar Bergayut. "Kami jadi bingung,
karena istilah itu tak pernah ada di Malaysia. Saya tahu itu
berkelakar, tapi kalau terus menerus saya jadi jengkel," kata
salah seorang dari mereka. "Kan itu menyangkut kehormatan bahasa
nasional saya, masa saya harus diam."
Kesulitan lain adalah soal makanan. "Di negeri sendiri saya
terbiasa dengan masakan pedas, maka di sini agak lain selera,"
ucap Muhammad Daud. Untung ada warung Padang yang rupanya mirip
dengan selera perut orang Malaysia.
Mahasiswa-mahasiswa yang mendiami asrama Karang Wismo itu
terkenal sopan. Sejak orang pertama datang di tahun 1969, para
tetangga tak pernah menyaksikan keributan. Mereka juga terkenal
sebagai mahasiswa-mahasiswa yang pintar. "Maklumlah kami ini
dibiayai pemerintah, kan malu kalau tak berhasil nanti," kata
Mursyid bin Cik.
Mahmud tidak hanya belajar, juga sempat menjalin asmara. Kini ia
sudah menikah dan punya anak. Sebelumnya, sudah ada 3 orang yang
pulang ke Malaysia membawa gelar dokter dan sekaligus istri
orang Indonesia. Dengan tak malu-malu Mahmud mengakui bahwa
rekan-rekannya tertarik pada wanita Indonesia.
Masih dalam hubungan dengan asmara, di Denpasar Bali ada Karen
Stadtlander, 24 tahun, dari Jerman, mahasiswi tingkat III
Fakultas Sastra Indonesia di Universitas Udayana. Sejak 3 tahun
lalu ia berpacaran dengan Hendro, dari Surabaya. Bahkan keduanya
tinggal dalam satu rumah. Belum dapat dipastikan apakah Hendro
akan mengikuti Karen ke Jerman Maret mendatang atau sebaliknya:
menetap di Indonesia.
Selain soal bahasa, Karen sulit mencari buku pegangan yang ada
hubungannya dengan mata kuliahnya. Misalnya buku bahasa Bali.
Di Unud, Karen juga melihat banyak mahasiswa tak pandai
memanfaatkan perpustakaan sebagai gudang ilmu.
Karen yang berkulit kemerah-merahan dan selalu muncul dengan
sepeda tua, adalah putri seorang arsitek. Ia mendapat beasiswa
selama setahun dari DAAD (lembaga pertukaran akademis di
Jerman). Tiga tahun sebelum datang ke Indonesia ia sudah belajar
bahasa Indonesia.
Anak Petani
Tapi cewek bule itu sering jengkel. Sebab walaupun sudah setahun
menghuni Gang VIII di Jalan Panjer Denpasar, kalau lewat ia
kerap diganggu mulut-mulut usil. Misalnya ada saja yang
meneriakinya: "Hallo where are you going. Buy, buy me, . . . "
"Saya jengkel, apa dikira saya tidak bisa bahasa Indonesia,"
kata Karen.
Di Yogya, Cadidia Pagadilan, seorang mahasiswi beragama Islam
asal Mindanau, Filipina, punya kesan seakan-akan mahasiswa
Indonesia tak banyak yang paham bahasa Inggris. Buktinya, ia
sulit mecari kawan untuk ngobrol. Apalagi ia tinggal di asrama
putri, Jalan Sabirin, Kota Baru, yang tak memungkinkan
sembarangan terima tamu.
Baru sebulan ia tiba, bahasa Indonesianya masih berantakan,
tentu. Setengah tahun lagi, kalau bahasa Indonesianya mulai
bersih, ia akan kuliah di IAIN Sunan Kalijaga. Datang ke
Indonesia atas beasiswa dari pemerintah Indonesia. Ia punya
perhatian besar pada Indonesia. Buktinya ia menolak ketika orang
tuanya, seorang petani biasa, hendak menyekolahkannya di sebuah
akademi di Filipina. Sehari-hari sejak datang di Yogya, ia
selalu memakai batik. "Sayang ada perbedaan tahun ajaran di sini
dengan Filipina," katanya kepada TEMPO.
Ia merasa dirinya agak kurus karena lidahnya belum cocok dengan
makanan lokal. Tapi kini sudah mulai doyan gudeg. Programnya
dalam waktu dekat adalah pindah dari asrama ke rumah penduduk,
supaya lebih rapat dengan masyarakat.
Wanfatimah A.Y. alias Wantanee, 25 tahun, mahasiswa Fakultas
Psikoloi Universitas Islam Bandung, asal Provinsi Patani,
Muangthai, juga anak petani. Dengan dua saudaranya, Harun dan
Ahmad, 5 tahun lalu mereka terpaksa masuk ke Indonesia via
Malaysia. Alasan untuk menengok saudara. "Karena Pemerintah
Muangthai selalu curiga kepada penduduk Patani yang mayoritas
muslim bila keluar dari Muangthai," kata Wanfatimah. Ia mengenal
Indonesia lewat majalah-majalah. "Begitu tahu tentang Indonesia,
begitu timbul hasrat saya untuk belajar di sini," katanya
melanjutkan.
Masuk Indonesia tidak sulit, tapi izin untuk menetap belajar
agak sukar katanya. Apalagi bertiga dan sama-sama tidak bisa
menulis huruf Latin. Hanya berkat pertolongan mahasiswa
Muangthai yang sudah lama di Indonesia, ketiga bersaudara itu
berhasil juga menyesuaikan diri. "Mengikuti testing di sini
tidak sukar, karena kebetulan pelajaran di SMA di sini tidak
berbeda dengan SMA Muangthai," katanya.
Kritis & Kompak
Selama 3 bulan pertama mereka hanya belajar bahasa Indonesia dan
menulis huruf Latin. Mahasiswa Indonesia juga menolong mereka.
Sifat ramah dari rekan-rekannya itulah yang membuat mereka
merasa betah. Wanfatimah menilai mahasiswa Indonesia sama dengan
mahasiswa Muangthai dalam soal perjuangan. "Kritis, dinamis dan
kompak," katanya.
Wanfatimah yang doyan gado-gado, lotek dan sayur asem, hanya
heran melihat mereka yang sudah pakai celana masih menyandang
kain sarung." "Untuk apa ya sarung itu?" tanyanya. Ia juga heran
melihat hubungan yang jauh antara pembantu dan majikan di
Indonesia. Pembantu setia dan bekerja keras, meskipun gajinya
kecil. "Di Muangthai punya pembantu adalah satu kemewahan.
Mereka diperlakukan sebagai karyawan di kantor saja, gaji besar,
kalau majikan makan daging, mereka juga makan daging," katanya.
Apa kata Je Dae Sik, 26 tahun, alias Abdul Haq dari Korea
Selatan ia menjadi mahasiswa telah 2,5 tahun di IAIN Sunan
Kalijaga Yogya atas undangan pemerintah Indonesia. "Saya
mula-mula mengira Indonesia ini masih terbelakang, sampai-sampai
odol, sikat gigi dan perlengkapan kecil lainnya saya bawa dari
Korea," katanya.
Ketika baru tiba, ia juga banyak mendapat kesulitan. Udara
terlalu panas, sampai-sampai sehari mandi 6 - 7 kali. "Dan
barangkali hanya sayalah satu-satunya orang yang tahan makan
soto selama satu bulan terus menerus," kata mahasiswa tingkat
III itu. Bukan karena doyan, tapi karena hanya kata "soto" yang
dihapalnya di bidang makanan.
Anak pengusaha pabrik tekstil di Seoul ini mula-mula beragama
Katolik, kemudian Protestan, pindah lagi ke Buddha. Kini ia
merasa Islam dapat menunjangnya. Kini ia berniat mencari seorang
pacar wanita Indonesia, "Insya Allah gadis idaman saya nanti
akan menemui saya bila melanjutkan studi ke Mesir," ujarnya.
Perempuan Hitam
Ia mendapat beasiswa Rp 50 ribu setiap bulan dari Departemen
Agama RI. Jumlah itu tidak mencukupi kebutuhan, apalagi ia suka
melancong. Sumatra, Sulawesi, Nusa Tenggara dan seluruh Jawa
sudah dijelajahinya ia ingin jadi duta di Indonesia. "Saya
berniat ingin menulis buku tentang kebudayaan, kesenian dan
ekonomi atau apa saja tentang Indonesia," katanya. "Sekarang
saya tahu, orang Korea lebih mirip dengan Batak, artinya keras,
tapi dalam arti positif lho." Ia sering dikira orang keturunan
Cina. "Padahal Korea dengan Cina dalam segalanya jauh berbeda,"
kata Abdul Haq.
"Krishna artinya perempuan hitam," kata gadis Kalkutta di asrama
mahasiswa UI, Wismarini Jakarta. Krishna, 26 tahun, sebetulnya
sudah tamat sarjana di kota kelahirannya di India. Dasar masih
ingin sekolah terus, putri sulung keluarga Sen -- seorang kepala
perpajakan -- bersekolah terus di Monash University Melbourne.
Ia sudah memperoleh gelar M.A., di bidang hubungan internasional
(international relations) negara-negara ASEAN di negeri kanguru
tersebut.
Mengaku tidak punya cita-cita, kecuali mimpi keliling dunia, ia
"cuma melanjutkan pendidikannya untuk mencapai gelar Ph.D." Maka
ia pun datang ke Indonesia. "Saya sebenarnya tidak kuliah lagi
di sini, tetapi mengadakan studi lapangan untuk disertasi,"
tambah Krishna dalam bahasa Indonesia yang lancar.
Sebelum ke Indonesia, di India, ia memang sudah 2 tahun
mempelajari bahasa Indonesia. Tapi ketika baru tiba di Jakarta,
atas sponsor Universitas Indonesia Departemen Anthropologi,
"teman-teman suka meledek saya kalau salah ucap."
Krishna tertarik akan Indonesia, katanya lagi, karena ada
persamaan antara India dan Indonesia. "Dua-duanya negara ketiga
yang ingin berkembang, meski cara yang diambil masing-masing
berbeda." Studi lapangannya yang diambil terutama segi tontonan
yang ada di Indonesia. Film, teater, wayang, tarian, dan
sebagainya. Ia pergi biasanya sendirian dengan naik bis.
"Suasana di Jakarta mirip sekali dengan Kalkutta," katanya.
Tinggal di Jakarta sejak Februari 1980. Tapi mungkin akan pulang
ke negerinya pertengahan tahun depan. Selama di Indonesia ia
belum ada suatu pengalaman yang mengesankan. Semuanya dilihatnya
biasa-biasa saja. Tapi kalau lagu-lagu Ebiet G. Ade, terutama
yang ada 'rumput bergoyang', dirasakannya mengesankan. Masakan
Padang yang pedas juga mengesankan di lidahnya, begitu pula
masakan gudeg Yogya.
Semua biaya hidupnya di sini ditanggung sendiri, karena selain
melakukan studi lapangan, Krishna juga menjadi dosen bahasa
Inggris di Fakultas Sastra UI, dan memberi kursus pribadi kepada
teman-temannya. "Apa yang saya terima cukup banyak, cukup untuk
hidup sekarang ini.
Hiroko Otsuka, gadis kelahiran Tokyo, sejak 1« tahun lalu menjadi
mahasiwa Fakultas Ekonomi UI. Ia berada di Indonesia atas
beasiswa Departemen P&K Jepang. Di Jakarta ia tinggal di satu
keluarga di Jalan Lembang, Jakarta Pusat. "Karena saya tahu dari
buku-buku, bahwa makanan orang Jawa tidak pedas, maka saya
tinggal di keluarga orang Jawa," kata Otsuka-san.
Sejak masih di negeri kelahirannya, ia sudah memeluk agama
Islam. Karena itu di Jakarta pergaulannya cukup luas. "Seminggu
dua kali saya mengikuti pendidikan agama Islam dengan ibu-ibu di
Assyafi'yah," tutur Latifah, nama Islam Otsuka, 35 tahun.
Mungkin karena itu, "kalau bisa saya ingin tinggal
selama-lamanya di Indonesia," tambahnya.
Gadis yang senang makan soto ayam dan bubur ketan hitam ini juga
pernah tinggal di Desa Citereup dan Sumedang bersama kawan-kawan
sekolahnya. "Di mana-mana saya selalu disambut dengan senang,"
ceritanya lagi, "sedang kalau di Jepang kalau mau bertamu saja
harus menelepon dulu, di sini tidak."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini