Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Di Sini Mereka Kena Panah Asmara

Suka duka sejumlah mahasiswa asing yang belajar di Indonesia. mereka mengutarakan kesan-kesannya selama di indonesia. (sd)

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA orang mahasiswa Malaysia melintasi sebuah jalan sepi di Medan. Tiba-tiba mereka tertegun karena memergoki sebuah papan bertuliskan, "dilarang berjalan di sini." Sebagai orang asing yang berusaha sopan di negeri orang, terlebih-lebih karena baru saja tiba, kontan mereka menghindar dan mencari becak. "Kalau berjalan dilarang, tentu naik becak tidak," pikir mereka berdua. Pada hari-hari berikutnya, setiap lewat jalan itu, mereka naik becak. Suatu hari, Arifin Cik Soh dan Yahya Cik Soh, kedua mahasiswa itu, tertawa setengah mampus, setelah sadar. "Lihat tulisan itu," kata Arifin yang mula-mula menyadari, kepada Yahya. Ternyata yang tertulis di situ bukannya dilarang "berjalan", tapi dilarang "berjualan". Tangan usil telah menghilangkan huruf U pada tulisan tadi. Itu terjadi pada 1977 sebagai salah satu suka duka mahasiswa asing yang baru datang dan belajar di Indonesia. Arifin, 24 tahun, sekarang sudah tingkat III di Fakultas Keguruan Ilmu Eksakta jurusan biologi, IKIP Medan. Logat Medannya juga sudah tebal. Delapan bulan pertama, Yahya dan Arifin memang masih mengalami kesulitan. Terutama dalam soal bahasa. "Kita bilang ini, diartikan itu," kata Arifin. Perlahan-lahan akhirnya mereka mengenal bahasa pasaran yang dipergunakan oleh para pemuda. Yahya bahkan kini sudah bisa sedikit bahasa Minang. Yang tetap menjadi kesulitan adalah biaya hidup yang selalu pas-pasan. Maklum mereka tergantung dari beasiswa. "Pernah beasiswa dari Kementerian Pelajaran Malaysia belum tiba, kiriman dari orang tua juga belum sampai, terpaksa tidak makan nasi selama berhari-hari," kata mereka. Tak kurang dari 40 mahasiswa Malaysia kini belajar di Medan. Separuhnya mahasiswa IKIP. Kabarnya negeri mereka memang lagi kekurangan guru. Di Surabaya juga ada 15 orang mahasiswa Malaysia. Semua belajar di Fakultas Kedokteran Unair. Kesulitannya sama. Bagi mereka bahasa Indonesia terlalu banyak memakai istilah asing. "Sehingga orang yang mau belajar bahasa Indonesia agaknya perlu belajar bahasa Inggris dulu, baru kemudian mengubah beberapa istilah. Misalnya conception menjadi konsepsi," kata Mahmud bin Awang Keci pemimpin ke-15 mahasiswa itu. Sering mereka menerima olok-olok mahasiswa pribumi. Misalnya ada yang menanyakan sambil bergurau: apa benar di Malaysia orang menyebut Rumah Sakit Bersalin sebagai Rumah Sakit Korban Lelaki. Atau Angkatan Udara dengan Askar Bergayut. "Kami jadi bingung, karena istilah itu tak pernah ada di Malaysia. Saya tahu itu berkelakar, tapi kalau terus menerus saya jadi jengkel," kata salah seorang dari mereka. "Kan itu menyangkut kehormatan bahasa nasional saya, masa saya harus diam." Kesulitan lain adalah soal makanan. "Di negeri sendiri saya terbiasa dengan masakan pedas, maka di sini agak lain selera," ucap Muhammad Daud. Untung ada warung Padang yang rupanya mirip dengan selera perut orang Malaysia. Mahasiswa-mahasiswa yang mendiami asrama Karang Wismo itu terkenal sopan. Sejak orang pertama datang di tahun 1969, para tetangga tak pernah menyaksikan keributan. Mereka juga terkenal sebagai mahasiswa-mahasiswa yang pintar. "Maklumlah kami ini dibiayai pemerintah, kan malu kalau tak berhasil nanti," kata Mursyid bin Cik. Mahmud tidak hanya belajar, juga sempat menjalin asmara. Kini ia sudah menikah dan punya anak. Sebelumnya, sudah ada 3 orang yang pulang ke Malaysia membawa gelar dokter dan sekaligus istri orang Indonesia. Dengan tak malu-malu Mahmud mengakui bahwa rekan-rekannya tertarik pada wanita Indonesia. Masih dalam hubungan dengan asmara, di Denpasar Bali ada Karen Stadtlander, 24 tahun, dari Jerman, mahasiswi tingkat III Fakultas Sastra Indonesia di Universitas Udayana. Sejak 3 tahun lalu ia berpacaran dengan Hendro, dari Surabaya. Bahkan keduanya tinggal dalam satu rumah. Belum dapat dipastikan apakah Hendro akan mengikuti Karen ke Jerman Maret mendatang atau sebaliknya: menetap di Indonesia. Selain soal bahasa, Karen sulit mencari buku pegangan yang ada hubungannya dengan mata kuliahnya. Misalnya buku bahasa Bali. Di Unud, Karen juga melihat banyak mahasiswa tak pandai memanfaatkan perpustakaan sebagai gudang ilmu. Karen yang berkulit kemerah-merahan dan selalu muncul dengan sepeda tua, adalah putri seorang arsitek. Ia mendapat beasiswa selama setahun dari DAAD (lembaga pertukaran akademis di Jerman). Tiga tahun sebelum datang ke Indonesia ia sudah belajar bahasa Indonesia. Anak Petani Tapi cewek bule itu sering jengkel. Sebab walaupun sudah setahun menghuni Gang VIII di Jalan Panjer Denpasar, kalau lewat ia kerap diganggu mulut-mulut usil. Misalnya ada saja yang meneriakinya: "Hallo where are you going. Buy, buy me, . . . " "Saya jengkel, apa dikira saya tidak bisa bahasa Indonesia," kata Karen. Di Yogya, Cadidia Pagadilan, seorang mahasiswi beragama Islam asal Mindanau, Filipina, punya kesan seakan-akan mahasiswa Indonesia tak banyak yang paham bahasa Inggris. Buktinya, ia sulit mecari kawan untuk ngobrol. Apalagi ia tinggal di asrama putri, Jalan Sabirin, Kota Baru, yang tak memungkinkan sembarangan terima tamu. Baru sebulan ia tiba, bahasa Indonesianya masih berantakan, tentu. Setengah tahun lagi, kalau bahasa Indonesianya mulai bersih, ia akan kuliah di IAIN Sunan Kalijaga. Datang ke Indonesia atas beasiswa dari pemerintah Indonesia. Ia punya perhatian besar pada Indonesia. Buktinya ia menolak ketika orang tuanya, seorang petani biasa, hendak menyekolahkannya di sebuah akademi di Filipina. Sehari-hari sejak datang di Yogya, ia selalu memakai batik. "Sayang ada perbedaan tahun ajaran di sini dengan Filipina," katanya kepada TEMPO. Ia merasa dirinya agak kurus karena lidahnya belum cocok dengan makanan lokal. Tapi kini sudah mulai doyan gudeg. Programnya dalam waktu dekat adalah pindah dari asrama ke rumah penduduk, supaya lebih rapat dengan masyarakat. Wanfatimah A.Y. alias Wantanee, 25 tahun, mahasiswa Fakultas Psikoloi Universitas Islam Bandung, asal Provinsi Patani, Muangthai, juga anak petani. Dengan dua saudaranya, Harun dan Ahmad, 5 tahun lalu mereka terpaksa masuk ke Indonesia via Malaysia. Alasan untuk menengok saudara. "Karena Pemerintah Muangthai selalu curiga kepada penduduk Patani yang mayoritas muslim bila keluar dari Muangthai," kata Wanfatimah. Ia mengenal Indonesia lewat majalah-majalah. "Begitu tahu tentang Indonesia, begitu timbul hasrat saya untuk belajar di sini," katanya melanjutkan. Masuk Indonesia tidak sulit, tapi izin untuk menetap belajar agak sukar katanya. Apalagi bertiga dan sama-sama tidak bisa menulis huruf Latin. Hanya berkat pertolongan mahasiswa Muangthai yang sudah lama di Indonesia, ketiga bersaudara itu berhasil juga menyesuaikan diri. "Mengikuti testing di sini tidak sukar, karena kebetulan pelajaran di SMA di sini tidak berbeda dengan SMA Muangthai," katanya. Kritis & Kompak Selama 3 bulan pertama mereka hanya belajar bahasa Indonesia dan menulis huruf Latin. Mahasiswa Indonesia juga menolong mereka. Sifat ramah dari rekan-rekannya itulah yang membuat mereka merasa betah. Wanfatimah menilai mahasiswa Indonesia sama dengan mahasiswa Muangthai dalam soal perjuangan. "Kritis, dinamis dan kompak," katanya. Wanfatimah yang doyan gado-gado, lotek dan sayur asem, hanya heran melihat mereka yang sudah pakai celana masih menyandang kain sarung." "Untuk apa ya sarung itu?" tanyanya. Ia juga heran melihat hubungan yang jauh antara pembantu dan majikan di Indonesia. Pembantu setia dan bekerja keras, meskipun gajinya kecil. "Di Muangthai punya pembantu adalah satu kemewahan. Mereka diperlakukan sebagai karyawan di kantor saja, gaji besar, kalau majikan makan daging, mereka juga makan daging," katanya. Apa kata Je Dae Sik, 26 tahun, alias Abdul Haq dari Korea Selatan ia menjadi mahasiswa telah 2,5 tahun di IAIN Sunan Kalijaga Yogya atas undangan pemerintah Indonesia. "Saya mula-mula mengira Indonesia ini masih terbelakang, sampai-sampai odol, sikat gigi dan perlengkapan kecil lainnya saya bawa dari Korea," katanya. Ketika baru tiba, ia juga banyak mendapat kesulitan. Udara terlalu panas, sampai-sampai sehari mandi 6 - 7 kali. "Dan barangkali hanya sayalah satu-satunya orang yang tahan makan soto selama satu bulan terus menerus," kata mahasiswa tingkat III itu. Bukan karena doyan, tapi karena hanya kata "soto" yang dihapalnya di bidang makanan. Anak pengusaha pabrik tekstil di Seoul ini mula-mula beragama Katolik, kemudian Protestan, pindah lagi ke Buddha. Kini ia merasa Islam dapat menunjangnya. Kini ia berniat mencari seorang pacar wanita Indonesia, "Insya Allah gadis idaman saya nanti akan menemui saya bila melanjutkan studi ke Mesir," ujarnya. Perempuan Hitam Ia mendapat beasiswa Rp 50 ribu setiap bulan dari Departemen Agama RI. Jumlah itu tidak mencukupi kebutuhan, apalagi ia suka melancong. Sumatra, Sulawesi, Nusa Tenggara dan seluruh Jawa sudah dijelajahinya ia ingin jadi duta di Indonesia. "Saya berniat ingin menulis buku tentang kebudayaan, kesenian dan ekonomi atau apa saja tentang Indonesia," katanya. "Sekarang saya tahu, orang Korea lebih mirip dengan Batak, artinya keras, tapi dalam arti positif lho." Ia sering dikira orang keturunan Cina. "Padahal Korea dengan Cina dalam segalanya jauh berbeda," kata Abdul Haq. "Krishna artinya perempuan hitam," kata gadis Kalkutta di asrama mahasiswa UI, Wismarini Jakarta. Krishna, 26 tahun, sebetulnya sudah tamat sarjana di kota kelahirannya di India. Dasar masih ingin sekolah terus, putri sulung keluarga Sen -- seorang kepala perpajakan -- bersekolah terus di Monash University Melbourne. Ia sudah memperoleh gelar M.A., di bidang hubungan internasional (international relations) negara-negara ASEAN di negeri kanguru tersebut. Mengaku tidak punya cita-cita, kecuali mimpi keliling dunia, ia "cuma melanjutkan pendidikannya untuk mencapai gelar Ph.D." Maka ia pun datang ke Indonesia. "Saya sebenarnya tidak kuliah lagi di sini, tetapi mengadakan studi lapangan untuk disertasi," tambah Krishna dalam bahasa Indonesia yang lancar. Sebelum ke Indonesia, di India, ia memang sudah 2 tahun mempelajari bahasa Indonesia. Tapi ketika baru tiba di Jakarta, atas sponsor Universitas Indonesia Departemen Anthropologi, "teman-teman suka meledek saya kalau salah ucap." Krishna tertarik akan Indonesia, katanya lagi, karena ada persamaan antara India dan Indonesia. "Dua-duanya negara ketiga yang ingin berkembang, meski cara yang diambil masing-masing berbeda." Studi lapangannya yang diambil terutama segi tontonan yang ada di Indonesia. Film, teater, wayang, tarian, dan sebagainya. Ia pergi biasanya sendirian dengan naik bis. "Suasana di Jakarta mirip sekali dengan Kalkutta," katanya. Tinggal di Jakarta sejak Februari 1980. Tapi mungkin akan pulang ke negerinya pertengahan tahun depan. Selama di Indonesia ia belum ada suatu pengalaman yang mengesankan. Semuanya dilihatnya biasa-biasa saja. Tapi kalau lagu-lagu Ebiet G. Ade, terutama yang ada 'rumput bergoyang', dirasakannya mengesankan. Masakan Padang yang pedas juga mengesankan di lidahnya, begitu pula masakan gudeg Yogya. Semua biaya hidupnya di sini ditanggung sendiri, karena selain melakukan studi lapangan, Krishna juga menjadi dosen bahasa Inggris di Fakultas Sastra UI, dan memberi kursus pribadi kepada teman-temannya. "Apa yang saya terima cukup banyak, cukup untuk hidup sekarang ini. Hiroko Otsuka, gadis kelahiran Tokyo, sejak 1« tahun lalu menjadi mahasiwa Fakultas Ekonomi UI. Ia berada di Indonesia atas beasiswa Departemen P&K Jepang. Di Jakarta ia tinggal di satu keluarga di Jalan Lembang, Jakarta Pusat. "Karena saya tahu dari buku-buku, bahwa makanan orang Jawa tidak pedas, maka saya tinggal di keluarga orang Jawa," kata Otsuka-san. Sejak masih di negeri kelahirannya, ia sudah memeluk agama Islam. Karena itu di Jakarta pergaulannya cukup luas. "Seminggu dua kali saya mengikuti pendidikan agama Islam dengan ibu-ibu di Assyafi'yah," tutur Latifah, nama Islam Otsuka, 35 tahun. Mungkin karena itu, "kalau bisa saya ingin tinggal selama-lamanya di Indonesia," tambahnya. Gadis yang senang makan soto ayam dan bubur ketan hitam ini juga pernah tinggal di Desa Citereup dan Sumedang bersama kawan-kawan sekolahnya. "Di mana-mana saya selalu disambut dengan senang," ceritanya lagi, "sedang kalau di Jepang kalau mau bertamu saja harus menelepon dulu, di sini tidak."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus