HARIAN The Age dan The Sydney Morning Herald, Australia,
akhirnya boleh kembali menerbitkan artikel berdasarkan ringkasan
buku Documents on Australian Defence and Foreign Policy
1968-75. Mahkamah Tinggi di Canberra mengumumkan keputusan itu
(2 Desember).
Hakim Mason mengatakan bahwa pemerintah Australia tidak berhak
mencegah penerbitan artikel berdasarkan ringkasan buku tersebut.
"Tidaklah bisa diterima dalam masyarakat demokrasi kita suatu
usaha membatasi publisitas informasi yang berhubungan dengan
pemerintah, jika hanya karena khawatir bahwa informasi itu akan
memungkinkan masyarakat mendiskusikan, meninjau dan mengeritik
tindakan pemerintah," lanjutnya.
Mengomentari keputusan Mahkamah Tinggi itu, Davie, Pemimpin
Redaksi The Age, mengulangi pernyataannya bahwa sejak semula ia
berpendapat penerbitan artikel tersebut jelas tidak akan
menimbulkan risiko merusakkan kepentingan publik. "Keputusan
Hakim Mason tiada berhubungan dan bukan merupakan dukungan
pernyataan kami," sambung Davie. Pemimpin Redaksi The Sydney
Morning Herald jelas juga setuju dengan pendapatnya.
Dan penduduk Australia sudah bisa membaca kembali lanjutan
artikel yang diringkas dari buku Documents yang diterbitkan oleh
Richard Walsh dan George Muster. Koran The Sydney Morning
Herald, misalnya, menurunkan (4 Desember) tulisan dengan judul
The East Timor crisis: biting the bullet. Di atasnya, terbaca
kalimat yang terjemahannya: "Sesuatu yang tidak disukai
pemerintah anda baca tentang Timor". Tulisan tersebut oleh
wartawan Peter Hastings merupakan bagian kedua dari rencana
artikel tiga bagian berdasarkan buku Documents.
Bagian pertama tulisan tadi, The Anzus Papers (Anzus Pakta
Militer Australia, Selandia Baru dan AS), ketika sedang dicetak
telah dihentikan penerbitannya (tengah malam menjelang 8
November) atas perintah Mahkamah Tinggi. Hal yang sama juga
menimpa The Age.
Mahkamah Tinggi Australia melakukan tindakan itu setelah
mendapat desakan Kejaksaan agung. Adalah Departemen Pertahanan
dan Luar Negeri Australia (setelah mengecek isi buku itu) yang
semula meminta pemerintah supaya menghentikan usaha
penerbitannya dalam bentuk buku dan artikel ringkasan di kedua
koran tadi. Permintaan William Pritchett, Sekretaris Departemen
Pertahanan itu bertolak dari D-notice Arrangements, suatu
ketentuan sukarela yang dipegang wartawan Australia untuk tak
menerbitkan soal-soal yang peka bagi keamanan nasionalnya.
Pihak pemerintah ketika itu menganggap pemuatan dokumen tadi
bukan saja bisa melanggar kerahasiaan, tapi juga melanggar hak
cipta. Bahkan kasus ini bisa didekati sebagai perbuatan yang
melanggar Undang-undang Kriminal. Pritchett memang menyatakan
bahwa ia menduga dokumen itu telah dicuri. Kejaksaan Agung
dengan restu Mahkamah Tinggi kemudian mencoba mencegah peredaran
buku itu. Tapi setelah melewati perdebatan dengan kedua
pengacara kedua koran tadi, Mahkamah Tinggi mengubah
keputusannya.
Pemerintah Australia sesungguhnya ingin memelihara hubungan
dengan Indonesia tak terganggu karenanya. Sebab dokumen itu juga
memuat soal Timor Timur -- hal yang dianggap paling peka oleh
kedua negara. Di situ, seperti ditulis Hastings, dikemukakan
peranan sejumlah tokoh penting di Jakarta dalam usaha penyatuan
Timor Timur ke tangan Indonesia. Dan ditampilkan pula betapa
Canberra pernah menganggap krisis Timor Timur (1974-76) sebagai
masalah serius yang suatu saat bisa mengancam kepentingan
Australia.
Pandangan dan penilaian Australia terbayang dalam Timor Cables,
sebagian besar hubungan teleks antara Canberra dan duta besarnya
di Jakarta, Richard Woolcott, ketika itu. Adalah penyiaran Timor
Cables terutama sekali -- bukan material yang menyangkut
persekutuan Australia dan Amerika Serikat -- dari dokumen itu
yang tampaknya ingin dilarang pemerintah Australia. Kini latar
belakang penyatuan Timor Timur ke dalam Republik Indonesia telah
terungkap. "Banyak orang Australia kini mendapat kesan bahwa
Indonesia telah bertindak sangat agresif," demikian pembantu
TEMPO di sana melaporkan, "sedang pemerintah Australia menempuh
cara dua muka dalam hal Timor Timur."
Dubes Woolcott konon melaporkan ke Canberra betapa Presiden
Soeharto semula tak ingin Indonesia melakukan intervensi
bersenjata. Kemudian pernah timbul persoalan, yaitu bagaimana
kelak jawaban Portugal atas tawaran Indonesia untuk membantu
memulihkan keamanan di koloni itu. Sementara perang saudara di
sana tak bisa diatasi, walaupun tak ada permintaan Portugal,
akhirnya intervensi bersenjata Indonesia terjadi, 7 Desember
1975.
Dari Canberra, ada beberapa usul alternatif, yang bertujuan
mencegah intervensi Indonesia. Tapi Canberra tetap ingin supaya
Timor Timur jadi negara merdeka terlebih dulu, dengan Indonesia
diiinkannya menjalankan pengaruh d situ di kemudian hari.
Canberra bersikap hati-hati terhadap Jakarta, antara lain karena
ia menilai penting sekali hubungan pertahanan (defence links)
Australia-Indonesia. Namun hubungan pertahanan ini jelas tak
ingin dikorbankannya demi kelahiran negara Timor Timur. Itulah
rahasia yang kini bocor. Sungguh Canberra bermuka dua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini