Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bocornya Dua Muka Canberra

Harian the age dan the sydney morning herald di Australia akhirnya boleh menerbitkan artikel ringkasan buku 'documents on australia defense and foreig policy yang memuat masalah timtim.(md)

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARIAN The Age dan The Sydney Morning Herald, Australia, akhirnya boleh kembali menerbitkan artikel berdasarkan ringkasan buku Documents on Australian Defence and Foreign Policy 1968-75. Mahkamah Tinggi di Canberra mengumumkan keputusan itu (2 Desember). Hakim Mason mengatakan bahwa pemerintah Australia tidak berhak mencegah penerbitan artikel berdasarkan ringkasan buku tersebut. "Tidaklah bisa diterima dalam masyarakat demokrasi kita suatu usaha membatasi publisitas informasi yang berhubungan dengan pemerintah, jika hanya karena khawatir bahwa informasi itu akan memungkinkan masyarakat mendiskusikan, meninjau dan mengeritik tindakan pemerintah," lanjutnya. Mengomentari keputusan Mahkamah Tinggi itu, Davie, Pemimpin Redaksi The Age, mengulangi pernyataannya bahwa sejak semula ia berpendapat penerbitan artikel tersebut jelas tidak akan menimbulkan risiko merusakkan kepentingan publik. "Keputusan Hakim Mason tiada berhubungan dan bukan merupakan dukungan pernyataan kami," sambung Davie. Pemimpin Redaksi The Sydney Morning Herald jelas juga setuju dengan pendapatnya. Dan penduduk Australia sudah bisa membaca kembali lanjutan artikel yang diringkas dari buku Documents yang diterbitkan oleh Richard Walsh dan George Muster. Koran The Sydney Morning Herald, misalnya, menurunkan (4 Desember) tulisan dengan judul The East Timor crisis: biting the bullet. Di atasnya, terbaca kalimat yang terjemahannya: "Sesuatu yang tidak disukai pemerintah anda baca tentang Timor". Tulisan tersebut oleh wartawan Peter Hastings merupakan bagian kedua dari rencana artikel tiga bagian berdasarkan buku Documents. Bagian pertama tulisan tadi, The Anzus Papers (Anzus Pakta Militer Australia, Selandia Baru dan AS), ketika sedang dicetak telah dihentikan penerbitannya (tengah malam menjelang 8 November) atas perintah Mahkamah Tinggi. Hal yang sama juga menimpa The Age. Mahkamah Tinggi Australia melakukan tindakan itu setelah mendapat desakan Kejaksaan agung. Adalah Departemen Pertahanan dan Luar Negeri Australia (setelah mengecek isi buku itu) yang semula meminta pemerintah supaya menghentikan usaha penerbitannya dalam bentuk buku dan artikel ringkasan di kedua koran tadi. Permintaan William Pritchett, Sekretaris Departemen Pertahanan itu bertolak dari D-notice Arrangements, suatu ketentuan sukarela yang dipegang wartawan Australia untuk tak menerbitkan soal-soal yang peka bagi keamanan nasionalnya. Pihak pemerintah ketika itu menganggap pemuatan dokumen tadi bukan saja bisa melanggar kerahasiaan, tapi juga melanggar hak cipta. Bahkan kasus ini bisa didekati sebagai perbuatan yang melanggar Undang-undang Kriminal. Pritchett memang menyatakan bahwa ia menduga dokumen itu telah dicuri. Kejaksaan Agung dengan restu Mahkamah Tinggi kemudian mencoba mencegah peredaran buku itu. Tapi setelah melewati perdebatan dengan kedua pengacara kedua koran tadi, Mahkamah Tinggi mengubah keputusannya. Pemerintah Australia sesungguhnya ingin memelihara hubungan dengan Indonesia tak terganggu karenanya. Sebab dokumen itu juga memuat soal Timor Timur -- hal yang dianggap paling peka oleh kedua negara. Di situ, seperti ditulis Hastings, dikemukakan peranan sejumlah tokoh penting di Jakarta dalam usaha penyatuan Timor Timur ke tangan Indonesia. Dan ditampilkan pula betapa Canberra pernah menganggap krisis Timor Timur (1974-76) sebagai masalah serius yang suatu saat bisa mengancam kepentingan Australia. Pandangan dan penilaian Australia terbayang dalam Timor Cables, sebagian besar hubungan teleks antara Canberra dan duta besarnya di Jakarta, Richard Woolcott, ketika itu. Adalah penyiaran Timor Cables terutama sekali -- bukan material yang menyangkut persekutuan Australia dan Amerika Serikat -- dari dokumen itu yang tampaknya ingin dilarang pemerintah Australia. Kini latar belakang penyatuan Timor Timur ke dalam Republik Indonesia telah terungkap. "Banyak orang Australia kini mendapat kesan bahwa Indonesia telah bertindak sangat agresif," demikian pembantu TEMPO di sana melaporkan, "sedang pemerintah Australia menempuh cara dua muka dalam hal Timor Timur." Dubes Woolcott konon melaporkan ke Canberra betapa Presiden Soeharto semula tak ingin Indonesia melakukan intervensi bersenjata. Kemudian pernah timbul persoalan, yaitu bagaimana kelak jawaban Portugal atas tawaran Indonesia untuk membantu memulihkan keamanan di koloni itu. Sementara perang saudara di sana tak bisa diatasi, walaupun tak ada permintaan Portugal, akhirnya intervensi bersenjata Indonesia terjadi, 7 Desember 1975. Dari Canberra, ada beberapa usul alternatif, yang bertujuan mencegah intervensi Indonesia. Tapi Canberra tetap ingin supaya Timor Timur jadi negara merdeka terlebih dulu, dengan Indonesia diiinkannya menjalankan pengaruh d situ di kemudian hari. Canberra bersikap hati-hati terhadap Jakarta, antara lain karena ia menilai penting sekali hubungan pertahanan (defence links) Australia-Indonesia. Namun hubungan pertahanan ini jelas tak ingin dikorbankannya demi kelahiran negara Timor Timur. Itulah rahasia yang kini bocor. Sungguh Canberra bermuka dua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus