MEMIKUL jabatan sebagai pembina transmigran, memerlukan jantung
besi. Karena hidup akan tercampak ke pedalaman yang terisolir.
Tanpa hiburan, bacaan dan tanpa fasilitas-fasilitas kota yang
lain. Belum lagi, sehari-hari bergelut dengan berbagai orang,
mendorong mereka betah di tempat baru, bahkan kalau perlu
menghibur mereka dengan harapan-harapan yang masuk akal.
Salah-salah dapat jadi sasaran kemarahan para transmigran yang
merasa nasib mereka ditelantarkan.
"Yah, tanpa tekad dan pengabdian, jadi pembina transmigran pasti
gagal," kata Supermadi, pembina transmigran di Sausu, Kecamatan
Parigi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.
Supermadi memulai debutnya sebagai pembina sejak 1965. Begitu
tamat SMA B Malang, beserta 5 orang rekannya, ia diterima jadi
pegawai Direktorat Transmigrasi. Langsung dipaketkan ke Toili,
Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Di proyek transmigrasi itu
ia mengurus 680 KK yang dibagi dalam 4 unit. Karena tak ada SK,
juga tak ada instruksi, rekan-rekannya memilih Supermadi sebagai
pimpinan. Lalu dimulailah segala daya penyuluhan, khususnya
membina dan menenteramkan hati para transmigran yang masih
gelisah karena rindu pada kampung asal.
Efek Positif
Karena hubungan dengan Jakarta sulit setengah mati, gaji mereka
tak terurus. Selama dua tahun para pembina itu membiarkan saja
gaji raib entah ke mana. Untunglah Bupati Banggai waktu itu
setiap bulan memberi mereka 18 kg beras per orang. Dengan
menjual separuh beras itu, didapatlah uang pembeli lauk-pauk.
"Waktu itu nasib kami bahkan lebih jelek dari warga
transmigrasi. Mereka masih dapat bantuan lain selain beras. Kami
jadi seperti transmigran intelek," kenang Supermadi.
Prayoga (38 tahun), rekannya, melihat ada jalan untuk memecahkan
hidup morat-marit itu. Lalu dikawininya putri salah seorang
transmigran dari Malang yang jadi asuhannya. Ini membawa
perubahan. "Melihat kehidupan saya lebih baik dan lebih terurus,
teman-teman lain pun mengikuti saya, kawin dengan gadis warga
transmigran," kata Prayoga dengan bangga.
Perkawinan dengan warga transmigran membawa efek psikologis yang
positif. Sebab, perkawinan itu secara langsung memantapkan hati
para transmigran. Mereka pun bekerja lebih giat. "Kawin dengan
gadis kota, belum tentu betah tinggal di daerah terisolir. Kalau
minta pulang, kan repot," kata Supermadi.
Tak kurang dari 15 tahun Supermadi mengabdi di Toili, hingga
proyek itu berkembang menjadi 21 unit. Tahun 1980 ketika proyek
transmigrasi Sausu dibuka, Supermadi dipindahkan. Jabatannya
naik menjadi Kepala Proyek. Dengan delapan orang rekan ia
mengasuh 770 KK dalam areal 2500 ha. Terdiri dari orang Bali,
Jawa Timur, Jawa Tengah dan DKI.
Sebagai pembina tugasnya menyelesaikan tetek-bengek administrasi
kantor, menjadi koordinator dengan instansi-instansi lain.
Kemudian keliling memeriksa warga di ladang-ladang mereka.
Tahun-tahun pertama tatkala semua orang belum menghasiikan
sesuatu dan hidup dari jatah, merupakan masa-masa paling sulit.
Belum lagi kalau muncul tugas tambahan.
Sekali peristiwa anak-buah Supermadi membuat keonaran karena
mengganggu istri warga. Walaupun kemudian yang bersangkutan
ditarik dari proyek, berita itu sempat muncul di sebuah mass
media di Jakarta.
Sebulan sekali, Supermadi memberi kesempatan anak-buahnya
tetirah ke Palu sambil mengambil gaji. Ia sendiri setiap ada
kesempatan ke Palu pasti memanfaatkannya. Terutama untuk nonton
film. Film apa saja ia sabet dari bioskop ke bioskop. Dari Palu
ia biasa membawa majalah dan buku-buku bacaan.
Yang celaka kalau ada tamu yang meninjau. Sebab ini berarti
biayanya harus disediakan dari uang pribadi. Ini bisa
mengacaukan dapur. Belum lagi kalau ada warga yang kesulitan --
untuk berobat ke kota, misalnya, yang jaraknya 140 km. Atau yang
harus dibantu ketika anaknya mau melanjutkan sekolah. Atau kalau
musim kawin dan upacara lain. "Hampir tiap hari ada yang kawin
kalau sedang musim kawin. Minimal harus menyumbang dua sampai
lima ribu rupiah," katanya bercerita.
Dengan empat orang anak, Supermadi kini setiap bulan mendapat
tunjangan jabatan sebagai kepala proyek Rp 30 ribu. Tapi ia
memiliki sawah 2 ha dan penggilingan huller yang dikelola
istrinya.
Suatu saat warga Sausu diserang malaria secara serentak. Tak
kurang dari 37 orang warganya meninggal. Supermadi kebingungan.
Hubungan ke kota sulit. Penduduk enggan minum obat, disuntik tak
mau. Akhirnya mereka menyerah -- akibatnya korban sebanyak itu.
Dari Desa Sinunukan, 558 km dari Medan, telah 40 warga
transmigrasi melarikan diri. Alasannya tidak betah. Tri Kuncoro
B.Sc., 32 tahun, pembina yang baru setahun di situ,
mengungkapkan, warga Sinunukan memang sulit diatur. Mereka
termasuk kelas gelandangan dari beberapa kota di Jawa. Cita-cita
mereka memasuki daerah baru tetap untuk mengumpulkan puntung,
bukan bertani. Tentu saja mimpi itu kandas. Lalu lari. Sinunukan
kini dihuni 500 KK (2000 jiwa) dan warganya sudah bisa berdiri
sendiri.
Pengalaman seram pernah dialami Monang Tambunail, 44 tahun, yang
kini menjadi Kepala Bidang Pembinaan dan Pengembangan Desa
Transmigrasi Sum-Ut. Di tahun 60-an ia bertugas di daerah
Secanggang, Kabupaten Langkat, 60 km dari Medan. Suplai beras
kala itu dikirim sebulan sekali. Sekali peristiwa jalan rusak.
Kiriman macet. Para transmigran jadi resah. "Mereka mengamuk
menguber saya dengan parang, ramai-ramai," kenang ayah dari
delapan anak ini. Untung ia cepat ambil langkah seribu ke kantor
polisi.
Kini Secanggang sudah makmur. Bahkan para transmigran di sini
dianggap lebih makmur dari umumnya orang Medan. Rumahnya
rata-rata setengah beton. Ada tv, motor dan putri-putri mereka
melanjutkan sekolah ke Medan. "Pada tahun 1969 desa itu bahkan
terpilih sebagai penghasil bahan pangan padi terbaik seluruh
Indonesia, ujar Monang.
Monang Tambunan juga sempat ketanggor Boyimin, seorang
transmigran peminum alkohol yang menghasut kawan-kawannya agar
pulang ke Jawa. Ia melakukan itu dalam keadaan setengah tak
sadar. Monang bertindak cepat, mengunjungi pemabuk itu dan
malahan turut minum, sambil ngobrol. "Saat-saat itu saya
sempat-sempatkan mengarahkannya," kenang Monang. Akhirnya ia
diterima Boyimin sebagai kawan. Tapi tidak dengan sendirinya
mengubah kehidupan pemabuk itu.
Kemudian Monang menyeponsori Boyimin membuka kedai kopi dan
minuman. Dan kini Boyimin sudah makmur. Kedainya laris. Anak
istrinya tetap mengerjakan sawah. Jadi, kesimpulan Monang, tidak
semua transmigran harus diarahkan semata-mata jadi petani. Bakat
dan kemampuannya harus disalurkan dengan tepat.
Berbuih
"Tidak harus mendadak jadi petani. Boleh saja sambil bertani
mereka jadi tukang tambal ban sepeda atau tukang jahit," kata
Drs. Karnadi, Ka-Kanwil Ditjen Transmigrasi Sum-Ut. Ia
menceritakan pengalamannya menghadapi 100 KK korban bencana
banjir Lumajang, Jawa Timur, di tahun 1977 yang
ditransmigrasikan ke Desa Cot Girek, Aceh Utara. Berbulan-bulan
ia mengunjungi rumah-rumah penduduk untuk melumerkan dukacita
mereka. Karena di antara mereka ada yang kehilangan suami,
istri, anak-anak dalam bencana itu. "Berbulan-bulan kami tak
berani menyuruh mereka bekerja, hingga mental mereka pulih,"
katanya. Sebab mereka menjadi transmigrasi tanpa seleksi, akibat
bencana alam. Setelah lewat enam bulan, barulah mereka dibimbing
bertani.
Pembina juga mengurus pertikaian di antara sesama transmigran.
Seperti yang dialami oleh Amri Nurmal (32 tahun) di Kinali, 315
km dari Padang, Sum-Bar. Suatu ketika transmigran angkatan tahun
1956 baku hantam dengan angkatan 1975. Gara-gara ejek-mengejek
sehabis pertandingan sepakbola. Sampai terjadi perkelahian
massal yang mengakibatkan 20 orang kemudian ditahan. Didampingi
oleh lima orang stafnya Amri merangkul kedua kelompok agar tak
menyimpan dendam. "Saya merangkul tokoh-tokoh mereka dan
mengadakan pembinaan tanpa henti," ujarnya.
Setelah sengketa berakhir, Amri menjuruskan perhatian pada
peningkatan produksi. Meskipun tanah Kinali subur, tidak semua
orang tertarik untuk bercocok tanam. Terutama transmigran asal
DKI. Rupanya bau kota di kepala mereka sulit dihapus. Kalau
dikontrol ke ladang, mereka sedang tidur di rumah. Kalau
didatangi di rumah, mereka pura-pura sedang bersiap-siap ke
ladang. "Tugas saya menumbuhkan motivasi supaya mereka suka
bertani," kata Amri.
Meskipun namanya pembina, seringali petuah-petuahnya tak
diindahkan. Ada yang melego pupuk yang mestinya digunakan
sendiri dengan alasan Kinali sudah subur. Amri terpaksa
bersabar. Tapi kalau sudah panen dan terbukti hasilnya
mengecewakan, baru ia mencecar orang nakal itu sampai insyaf.
"Kesibukan-kesibukan itulah yang menyebabkan saya lupa
segalanya," kata Amri ketika ditanya apakah ia tidak merasa
bosan atau sepi.
Gertak Sambal
Sajiran 29 tahun, pembina yang populer asal Wonogiri yang kini
bertugas di Situng, Sumatera Barat, menceritakan sisi lain. Di
samping banyak yang patah hati karena hasil pertanian
mengecewakan, tak kurang transmigran yang berhasil. Dan kalau
sudah begitu ia sering ketampiasan beras. "Saya menolak, tapi
mereka tingalkan juga," katanya "tapi kadangkala kalau sudah
ada urusan, sedang tidur pun para transmigran tak segan-segan
mengganggu saya."
Di Riau, pengalaman beberapa orang pembina transmigran lebih
pahit lagi. Ramli M. Nur, petugas lapangan di lokasi
transmigrasi Pasir Pangarayan I, Kampar, telah berkali-kali
ditantang berkelahi oleh transmigran yang dibinanya. Malahan
beberapa bulan lalu, seorang transmigran mengejarnya dengan
golok terhunus gara-gara perasaan tak puas. Ia sempat
menyelamatkan diri. Tapi ia tak jera. "Sebab kadang-kadang
kemarahan mereka hanya gertak sambal saja," ungkapnya sambil
tersenyum.
Tapi Paridi BA, Wakil Kepala Unit Pemukiman Transmigrasi (KUPT)
II di Pasir Pengarayan pernah dicekik seorang transmigran hingga
mulutnya berbuih. Kejadian ini karena si transmigran merasa
surat jalannya untuk pulang ke Jawa ditelantarkan. Padahal surat
jalan itu harus ditandatangani di Pakanbaru, satu jarak yang
menelan waktu perjalanan berhari-hari dari lokasi transmigrasi
itu. Untung kejadian itu segera dilerai oleh transmigran yang
lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini