Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Di tengah mereka yang rindu pulang

Paling susah membina transmigran yang berasal dari kota besar. seorang pembina sering menjadi sasaran para transmigran yang kecewa. sementara program transmigrasi harus berjalan terus.(sd)

18 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMIKUL jabatan sebagai pembina transmigran, memerlukan jantung besi. Karena hidup akan tercampak ke pedalaman yang terisolir. Tanpa hiburan, bacaan dan tanpa fasilitas-fasilitas kota yang lain. Belum lagi, sehari-hari bergelut dengan berbagai orang, mendorong mereka betah di tempat baru, bahkan kalau perlu menghibur mereka dengan harapan-harapan yang masuk akal. Salah-salah dapat jadi sasaran kemarahan para transmigran yang merasa nasib mereka ditelantarkan. "Yah, tanpa tekad dan pengabdian, jadi pembina transmigran pasti gagal," kata Supermadi, pembina transmigran di Sausu, Kecamatan Parigi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Supermadi memulai debutnya sebagai pembina sejak 1965. Begitu tamat SMA B Malang, beserta 5 orang rekannya, ia diterima jadi pegawai Direktorat Transmigrasi. Langsung dipaketkan ke Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Di proyek transmigrasi itu ia mengurus 680 KK yang dibagi dalam 4 unit. Karena tak ada SK, juga tak ada instruksi, rekan-rekannya memilih Supermadi sebagai pimpinan. Lalu dimulailah segala daya penyuluhan, khususnya membina dan menenteramkan hati para transmigran yang masih gelisah karena rindu pada kampung asal. Efek Positif Karena hubungan dengan Jakarta sulit setengah mati, gaji mereka tak terurus. Selama dua tahun para pembina itu membiarkan saja gaji raib entah ke mana. Untunglah Bupati Banggai waktu itu setiap bulan memberi mereka 18 kg beras per orang. Dengan menjual separuh beras itu, didapatlah uang pembeli lauk-pauk. "Waktu itu nasib kami bahkan lebih jelek dari warga transmigrasi. Mereka masih dapat bantuan lain selain beras. Kami jadi seperti transmigran intelek," kenang Supermadi. Prayoga (38 tahun), rekannya, melihat ada jalan untuk memecahkan hidup morat-marit itu. Lalu dikawininya putri salah seorang transmigran dari Malang yang jadi asuhannya. Ini membawa perubahan. "Melihat kehidupan saya lebih baik dan lebih terurus, teman-teman lain pun mengikuti saya, kawin dengan gadis warga transmigran," kata Prayoga dengan bangga. Perkawinan dengan warga transmigran membawa efek psikologis yang positif. Sebab, perkawinan itu secara langsung memantapkan hati para transmigran. Mereka pun bekerja lebih giat. "Kawin dengan gadis kota, belum tentu betah tinggal di daerah terisolir. Kalau minta pulang, kan repot," kata Supermadi. Tak kurang dari 15 tahun Supermadi mengabdi di Toili, hingga proyek itu berkembang menjadi 21 unit. Tahun 1980 ketika proyek transmigrasi Sausu dibuka, Supermadi dipindahkan. Jabatannya naik menjadi Kepala Proyek. Dengan delapan orang rekan ia mengasuh 770 KK dalam areal 2500 ha. Terdiri dari orang Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah dan DKI. Sebagai pembina tugasnya menyelesaikan tetek-bengek administrasi kantor, menjadi koordinator dengan instansi-instansi lain. Kemudian keliling memeriksa warga di ladang-ladang mereka. Tahun-tahun pertama tatkala semua orang belum menghasiikan sesuatu dan hidup dari jatah, merupakan masa-masa paling sulit. Belum lagi kalau muncul tugas tambahan. Sekali peristiwa anak-buah Supermadi membuat keonaran karena mengganggu istri warga. Walaupun kemudian yang bersangkutan ditarik dari proyek, berita itu sempat muncul di sebuah mass media di Jakarta. Sebulan sekali, Supermadi memberi kesempatan anak-buahnya tetirah ke Palu sambil mengambil gaji. Ia sendiri setiap ada kesempatan ke Palu pasti memanfaatkannya. Terutama untuk nonton film. Film apa saja ia sabet dari bioskop ke bioskop. Dari Palu ia biasa membawa majalah dan buku-buku bacaan. Yang celaka kalau ada tamu yang meninjau. Sebab ini berarti biayanya harus disediakan dari uang pribadi. Ini bisa mengacaukan dapur. Belum lagi kalau ada warga yang kesulitan -- untuk berobat ke kota, misalnya, yang jaraknya 140 km. Atau yang harus dibantu ketika anaknya mau melanjutkan sekolah. Atau kalau musim kawin dan upacara lain. "Hampir tiap hari ada yang kawin kalau sedang musim kawin. Minimal harus menyumbang dua sampai lima ribu rupiah," katanya bercerita. Dengan empat orang anak, Supermadi kini setiap bulan mendapat tunjangan jabatan sebagai kepala proyek Rp 30 ribu. Tapi ia memiliki sawah 2 ha dan penggilingan huller yang dikelola istrinya. Suatu saat warga Sausu diserang malaria secara serentak. Tak kurang dari 37 orang warganya meninggal. Supermadi kebingungan. Hubungan ke kota sulit. Penduduk enggan minum obat, disuntik tak mau. Akhirnya mereka menyerah -- akibatnya korban sebanyak itu. Dari Desa Sinunukan, 558 km dari Medan, telah 40 warga transmigrasi melarikan diri. Alasannya tidak betah. Tri Kuncoro B.Sc., 32 tahun, pembina yang baru setahun di situ, mengungkapkan, warga Sinunukan memang sulit diatur. Mereka termasuk kelas gelandangan dari beberapa kota di Jawa. Cita-cita mereka memasuki daerah baru tetap untuk mengumpulkan puntung, bukan bertani. Tentu saja mimpi itu kandas. Lalu lari. Sinunukan kini dihuni 500 KK (2000 jiwa) dan warganya sudah bisa berdiri sendiri. Pengalaman seram pernah dialami Monang Tambunail, 44 tahun, yang kini menjadi Kepala Bidang Pembinaan dan Pengembangan Desa Transmigrasi Sum-Ut. Di tahun 60-an ia bertugas di daerah Secanggang, Kabupaten Langkat, 60 km dari Medan. Suplai beras kala itu dikirim sebulan sekali. Sekali peristiwa jalan rusak. Kiriman macet. Para transmigran jadi resah. "Mereka mengamuk menguber saya dengan parang, ramai-ramai," kenang ayah dari delapan anak ini. Untung ia cepat ambil langkah seribu ke kantor polisi. Kini Secanggang sudah makmur. Bahkan para transmigran di sini dianggap lebih makmur dari umumnya orang Medan. Rumahnya rata-rata setengah beton. Ada tv, motor dan putri-putri mereka melanjutkan sekolah ke Medan. "Pada tahun 1969 desa itu bahkan terpilih sebagai penghasil bahan pangan padi terbaik seluruh Indonesia, ujar Monang. Monang Tambunan juga sempat ketanggor Boyimin, seorang transmigran peminum alkohol yang menghasut kawan-kawannya agar pulang ke Jawa. Ia melakukan itu dalam keadaan setengah tak sadar. Monang bertindak cepat, mengunjungi pemabuk itu dan malahan turut minum, sambil ngobrol. "Saat-saat itu saya sempat-sempatkan mengarahkannya," kenang Monang. Akhirnya ia diterima Boyimin sebagai kawan. Tapi tidak dengan sendirinya mengubah kehidupan pemabuk itu. Kemudian Monang menyeponsori Boyimin membuka kedai kopi dan minuman. Dan kini Boyimin sudah makmur. Kedainya laris. Anak istrinya tetap mengerjakan sawah. Jadi, kesimpulan Monang, tidak semua transmigran harus diarahkan semata-mata jadi petani. Bakat dan kemampuannya harus disalurkan dengan tepat. Berbuih "Tidak harus mendadak jadi petani. Boleh saja sambil bertani mereka jadi tukang tambal ban sepeda atau tukang jahit," kata Drs. Karnadi, Ka-Kanwil Ditjen Transmigrasi Sum-Ut. Ia menceritakan pengalamannya menghadapi 100 KK korban bencana banjir Lumajang, Jawa Timur, di tahun 1977 yang ditransmigrasikan ke Desa Cot Girek, Aceh Utara. Berbulan-bulan ia mengunjungi rumah-rumah penduduk untuk melumerkan dukacita mereka. Karena di antara mereka ada yang kehilangan suami, istri, anak-anak dalam bencana itu. "Berbulan-bulan kami tak berani menyuruh mereka bekerja, hingga mental mereka pulih," katanya. Sebab mereka menjadi transmigrasi tanpa seleksi, akibat bencana alam. Setelah lewat enam bulan, barulah mereka dibimbing bertani. Pembina juga mengurus pertikaian di antara sesama transmigran. Seperti yang dialami oleh Amri Nurmal (32 tahun) di Kinali, 315 km dari Padang, Sum-Bar. Suatu ketika transmigran angkatan tahun 1956 baku hantam dengan angkatan 1975. Gara-gara ejek-mengejek sehabis pertandingan sepakbola. Sampai terjadi perkelahian massal yang mengakibatkan 20 orang kemudian ditahan. Didampingi oleh lima orang stafnya Amri merangkul kedua kelompok agar tak menyimpan dendam. "Saya merangkul tokoh-tokoh mereka dan mengadakan pembinaan tanpa henti," ujarnya. Setelah sengketa berakhir, Amri menjuruskan perhatian pada peningkatan produksi. Meskipun tanah Kinali subur, tidak semua orang tertarik untuk bercocok tanam. Terutama transmigran asal DKI. Rupanya bau kota di kepala mereka sulit dihapus. Kalau dikontrol ke ladang, mereka sedang tidur di rumah. Kalau didatangi di rumah, mereka pura-pura sedang bersiap-siap ke ladang. "Tugas saya menumbuhkan motivasi supaya mereka suka bertani," kata Amri. Meskipun namanya pembina, seringali petuah-petuahnya tak diindahkan. Ada yang melego pupuk yang mestinya digunakan sendiri dengan alasan Kinali sudah subur. Amri terpaksa bersabar. Tapi kalau sudah panen dan terbukti hasilnya mengecewakan, baru ia mencecar orang nakal itu sampai insyaf. "Kesibukan-kesibukan itulah yang menyebabkan saya lupa segalanya," kata Amri ketika ditanya apakah ia tidak merasa bosan atau sepi. Gertak Sambal Sajiran 29 tahun, pembina yang populer asal Wonogiri yang kini bertugas di Situng, Sumatera Barat, menceritakan sisi lain. Di samping banyak yang patah hati karena hasil pertanian mengecewakan, tak kurang transmigran yang berhasil. Dan kalau sudah begitu ia sering ketampiasan beras. "Saya menolak, tapi mereka tingalkan juga," katanya "tapi kadangkala kalau sudah ada urusan, sedang tidur pun para transmigran tak segan-segan mengganggu saya." Di Riau, pengalaman beberapa orang pembina transmigran lebih pahit lagi. Ramli M. Nur, petugas lapangan di lokasi transmigrasi Pasir Pangarayan I, Kampar, telah berkali-kali ditantang berkelahi oleh transmigran yang dibinanya. Malahan beberapa bulan lalu, seorang transmigran mengejarnya dengan golok terhunus gara-gara perasaan tak puas. Ia sempat menyelamatkan diri. Tapi ia tak jera. "Sebab kadang-kadang kemarahan mereka hanya gertak sambal saja," ungkapnya sambil tersenyum. Tapi Paridi BA, Wakil Kepala Unit Pemukiman Transmigrasi (KUPT) II di Pasir Pengarayan pernah dicekik seorang transmigran hingga mulutnya berbuih. Kejadian ini karena si transmigran merasa surat jalannya untuk pulang ke Jawa ditelantarkan. Padahal surat jalan itu harus ditandatangani di Pakanbaru, satu jarak yang menelan waktu perjalanan berhari-hari dari lokasi transmigrasi itu. Untung kejadian itu segera dilerai oleh transmigran yang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus