Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Jangan asal kacamata laris

Keharusan toko kacamata untuk memiliki seorang refraksionis berijazah. musyawarah nasional i ikatan refraksionis optisien ortoptis di indonesia (iroopin), membahas masalah etika refraksionis. (ksh)

18 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CUKUP sengit penawaran kacamata belakangan ini. Toko-toko baru dibuka di berbagai kota besar. Suasana itu juga terasa lewat iklan koran dan spanduk yang direntang di jalan jalan. Di Bandung dan Yogyakarta, untuk memanggil pembeli dari kalangan remaja toko kacamata menjadi sponsor pertunjukan musik. Namun, apakah seseorang boleh begitu saja memesan kacamata tanpa konsultasi lebih dulu pada dokter ahli? "Boleh," jawab ahli penyakit mata, dr. S.M. Akmam yang mengepalai bagian mata RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Tetapi, kalau refraksionis yang mengukur kacamata tak berhasil memperbaiki penglihatan si pembeli, maka ia harus menganjurkan orang itu berkonsultasi pada dokter, katanya. Masalah etika refraksionis sempat menjadi bahan pembicaraan dalam Musyawarah Nasional I dari Ikatan Refraksionis Optisien Ortoptis Indonesia (IROOPIN) yang berlangsung di Jakarta tanggal 11-13 April. Tujuan musyawarah yang diikuti 450 refraksionis itu terutama untuk membahas Peraturan Menteri Kesehatan mengenai keharusan toko optik untuk memiliki seorang refraksionis berijazah yang disahkan Departemen Kesehatan. Pelanggaran etika oleh refraksionis yang sampai mengakibatkan kecelakaan pada konsumen belum pernah terdengar. "Tetapi pelanggaran yang bersifat lunak memang sering dilaporkan penderita," kata dr. Vidyapati, Kepala Subbagian refraksi, dari bagian mata RSCM. Misalnya dia sebutkan tentang refraksionis yang serta merta memberikan kacamata kepada seseorang, setelah hasil pemeriksaan menunjukkan mata si calon konsumen minus 1. Setelah dipasang, orang tadi lantas mengadu kepada dokter karena kepalanya menjadi pusing. Dokter lantas memutuskan bahwa kacamata tadi tidak diperlukan. "Tidak semua orang yang minus 1 harus pakai kacamata. Seorang sopir memang perlu. Tapi untuk ibu rumah tangga kacamata itu malahan akan membebani," urai Vidyapati. Namun menurut Vidyapati kekeliruan tersebut hanya sebagai akibat saja dari sikap "matematis seorang refraksionis. Karena di sekolah mereka memang diajarkan mata minus harus pakai kacamata dengan ukuran yang semestinya." Sementara dokter mata, katanya, selain mempertimbangkan masalah kesehatan, juga faktor lain. Mereka yang tak mau konsultasi ke dokter mata lebih dulu umumnya hanya untuk menghindari tarif dokter mata. Dan lagi di toko orang biasa leluasa. Misalnya Sumpeno asal Purworejo yang suatu siang mengunjungi Akur Optical di Jalan Perwakilan, Yogyakarta. Katanya "Kalau ke dokter repot, tambah bayar resep lagi. Saya langsung saja kemari. Lebih praktis." Minus Satu Dalam suasana persaingan dagang kacamata yang keras seperti sekarang, sikap Pak Peno itu bisa juga merugikan. Sarodja seorang ahli penyakit mata di Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, mensinyalir toko-toko kacamata tak mau melepaskan tiap pengunjung yang datang memeriksakan matanya, apalagi kalau bukan untuk menaikkan omset penjualan. "Orang yang tidak bisa gamblang melihat belum tentu harus pakai kacamata. Tapi kalau datang ke optikal atau toko kacamata pasti mereka disuruh membeli kacamata. "Kan toko harus menjual dagangannya," katanya kepada TEMPO dalam ruangan prakteknya di bilangan Taman Hiburan Rakyat, Yogya. Sering juga terlihat pembeli yang pulang pergi untuk mencocokkan kacamata yang telah dia bayar. Menurut seorang dokter mata kejadian itu seharusnya dengan cepat ditangkap oleh refraksionis sebagai suatu kelainan. Dan dia harus menyadari keterbatasan pengetahuannya. "Kalau sudah tak mampu mengatasinya harus segera mengirim si pembeli kepada dokter," kata Sarodja. Refraksionis, seperti dikatakan dr. Akmam dari RSCM tidak berwenang mengobati. Karena mereka tak punya keahlian untuk itu. Menurut ahli mata Sarodja, kurang awasnya penglihatan yang diakibatkan oleh gangguan retina atau karena penyakit kencing manis, tidak bisa diatasi refraksionis. "Kencing manis misalnya bisa mengubah-ubah jangkauan pandangan seseorang. Sekarang minus satu. Esok harinya bisa jadi 2, atau sebaliknya," ulas Sarodja. Menyerahkan calon pembeli yang mencurigakan kepada dokter sebagaimana dikatakan Refraksionis Amin Yoenan dari RSCM merupakan sikap yang bijaksana. Maklumlah pendidikan refraksionis hanya berlangsung 1% tahun. Terlalu singkat untuk mengetahui seluk-beluk penyakit mata. Menurut Amin yang juga bekerja sebagai refraksionis di dua buah toko kacamata di Jakarta, di antara kelainan yang sering dia jumpai pada calon pembeli adalah katarak atau kaburnya lensa mata. "Pada stadium tertentu dia tak bisa dikoreksi, jadi harus saya kirimkan ke dokter mata," katanya. Setelah katarak menyusul pula glukoma, penyakit yang terjadi karena tekanan bola mata yang terlalu tinggi. Pada penderita glukoma seorang bisa mengeluh pusing-pusing meskipun kacamatanya berkali-kali diganti. Ini terjadi karena tekanan bola mata yang berubah-ubah. "Hari ini tak merasa apa-apa, tapi besok bisa tak enak. Begitu terus menerus. Kalau orang itu enggan ke dokter dia bisa menyalahkan toko kacamata," cerita Amin Yoenan yang dalam organisasi IROOPIN duduk sebagai Ketua bidang ilmiah. Untuk menghindari kecaman terhadap toko kacamata dia mengharapkan agar refraksionis bekerja 'lebih tahu diri'. Jangan asal kacamata laris.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus