CUKUP sengit penawaran kacamata belakangan ini. Toko-toko baru
dibuka di berbagai kota besar. Suasana itu juga terasa lewat
iklan koran dan spanduk yang direntang di jalan jalan. Di
Bandung dan Yogyakarta, untuk memanggil pembeli dari kalangan
remaja toko kacamata menjadi sponsor pertunjukan musik.
Namun, apakah seseorang boleh begitu saja memesan kacamata tanpa
konsultasi lebih dulu pada dokter ahli? "Boleh," jawab ahli
penyakit mata, dr. S.M. Akmam yang mengepalai bagian mata RS
Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Tetapi, kalau refraksionis yang
mengukur kacamata tak berhasil memperbaiki penglihatan si
pembeli, maka ia harus menganjurkan orang itu berkonsultasi pada
dokter, katanya.
Masalah etika refraksionis sempat menjadi bahan pembicaraan
dalam Musyawarah Nasional I dari Ikatan Refraksionis Optisien
Ortoptis Indonesia (IROOPIN) yang berlangsung di Jakarta tanggal
11-13 April. Tujuan musyawarah yang diikuti 450 refraksionis itu
terutama untuk membahas Peraturan Menteri Kesehatan mengenai
keharusan toko optik untuk memiliki seorang refraksionis
berijazah yang disahkan Departemen Kesehatan.
Pelanggaran etika oleh refraksionis yang sampai mengakibatkan
kecelakaan pada konsumen belum pernah terdengar. "Tetapi
pelanggaran yang bersifat lunak memang sering dilaporkan
penderita," kata dr. Vidyapati, Kepala Subbagian refraksi, dari
bagian mata RSCM.
Misalnya dia sebutkan tentang refraksionis yang serta merta
memberikan kacamata kepada seseorang, setelah hasil pemeriksaan
menunjukkan mata si calon konsumen minus 1. Setelah dipasang,
orang tadi lantas mengadu kepada dokter karena kepalanya menjadi
pusing. Dokter lantas memutuskan bahwa kacamata tadi tidak
diperlukan.
"Tidak semua orang yang minus 1 harus pakai kacamata. Seorang
sopir memang perlu. Tapi untuk ibu rumah tangga kacamata itu
malahan akan membebani," urai Vidyapati. Namun menurut
Vidyapati kekeliruan tersebut hanya sebagai akibat saja dari
sikap "matematis seorang refraksionis. Karena di sekolah mereka
memang diajarkan mata minus harus pakai kacamata dengan ukuran
yang semestinya." Sementara dokter mata, katanya, selain
mempertimbangkan masalah kesehatan, juga faktor lain.
Mereka yang tak mau konsultasi ke dokter mata lebih dulu umumnya
hanya untuk menghindari tarif dokter mata. Dan lagi di toko
orang biasa leluasa. Misalnya Sumpeno asal Purworejo yang suatu
siang mengunjungi Akur Optical di Jalan Perwakilan, Yogyakarta.
Katanya "Kalau ke dokter repot, tambah bayar resep lagi. Saya
langsung saja kemari. Lebih praktis."
Minus Satu
Dalam suasana persaingan dagang kacamata yang keras seperti
sekarang, sikap Pak Peno itu bisa juga merugikan. Sarodja
seorang ahli penyakit mata di Fakultas Kedokteran UGM,
Yogyakarta, mensinyalir toko-toko kacamata tak mau melepaskan
tiap pengunjung yang datang memeriksakan matanya, apalagi kalau
bukan untuk menaikkan omset penjualan. "Orang yang tidak bisa
gamblang melihat belum tentu harus pakai kacamata. Tapi kalau
datang ke optikal atau toko kacamata pasti mereka disuruh
membeli kacamata. "Kan toko harus menjual dagangannya," katanya
kepada TEMPO dalam ruangan prakteknya di bilangan Taman Hiburan
Rakyat, Yogya.
Sering juga terlihat pembeli yang pulang pergi untuk mencocokkan
kacamata yang telah dia bayar. Menurut seorang dokter mata
kejadian itu seharusnya dengan cepat ditangkap oleh refraksionis
sebagai suatu kelainan. Dan dia harus menyadari keterbatasan
pengetahuannya. "Kalau sudah tak mampu mengatasinya harus segera
mengirim si pembeli kepada dokter," kata Sarodja. Refraksionis,
seperti dikatakan dr. Akmam dari RSCM tidak berwenang mengobati.
Karena mereka tak punya keahlian untuk itu.
Menurut ahli mata Sarodja, kurang awasnya penglihatan yang
diakibatkan oleh gangguan retina atau karena penyakit kencing
manis, tidak bisa diatasi refraksionis. "Kencing manis misalnya
bisa mengubah-ubah jangkauan pandangan seseorang. Sekarang minus
satu. Esok harinya bisa jadi 2, atau sebaliknya," ulas Sarodja.
Menyerahkan calon pembeli yang mencurigakan kepada dokter
sebagaimana dikatakan Refraksionis Amin Yoenan dari RSCM
merupakan sikap yang bijaksana. Maklumlah pendidikan
refraksionis hanya berlangsung 1% tahun. Terlalu singkat untuk
mengetahui seluk-beluk penyakit mata.
Menurut Amin yang juga bekerja sebagai refraksionis di dua buah
toko kacamata di Jakarta, di antara kelainan yang sering dia
jumpai pada calon pembeli adalah katarak atau kaburnya lensa
mata. "Pada stadium tertentu dia tak bisa dikoreksi, jadi harus
saya kirimkan ke dokter mata," katanya.
Setelah katarak menyusul pula glukoma, penyakit yang terjadi
karena tekanan bola mata yang terlalu tinggi. Pada penderita
glukoma seorang bisa mengeluh pusing-pusing meskipun kacamatanya
berkali-kali diganti. Ini terjadi karena tekanan bola mata yang
berubah-ubah. "Hari ini tak merasa apa-apa, tapi besok bisa tak
enak. Begitu terus menerus. Kalau orang itu enggan ke dokter dia
bisa menyalahkan toko kacamata," cerita Amin Yoenan yang dalam
organisasi IROOPIN duduk sebagai Ketua bidang ilmiah. Untuk
menghindari kecaman terhadap toko kacamata dia mengharapkan agar
refraksionis bekerja 'lebih tahu diri'. Jangan asal kacamata
laris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini