ADA Undang-undang no. 5 tahun 1979 yang menjadikan lurah kota
pegawai negeri. Undang-undang ini terbatas pada lurah kota.
Lurah desa masih menikmati tanah bengkoknya sebagai gaji, dan
juga masih diajukan sebagai calon oleh masyarakat setempat. Dari
calon tersebut pemerintah mengangkat seorang lurah desa.
Namun timbul kadang-kadang berita mengenai rencana, untuk
menghapuskan tanah bengkok lurah desa dan menggantikannya dengan
gaji dari negara -- satu tindakan yang praktis menjadikan lurah
desa pegawai negeri seperti halnya terjadi dengan hupati di
zaman kolonial.
Selain itu UU no. 5 ini menimbulkan banyak diskusi di kalangan
masyarakat, biarpun proses perkembangan sudah sejak lama ke arah
ini khususnya di ibukota Jakarta. Masyarakat tidak sadar akan
proses tersebut dan baru agak kaget ketika itu dikeluarkan. Ada
kekhawatiran di masyarakat bahwa asas otonomi terjepit dengan UU
no. 5 dan meluasnya etatisme.
Tulisan ini sekarang akan meninjau asas dan praktek yang
menjiwai administrasi pemerintahan di Indonesia dalam sejarah.
Yang akan diambil sebagai contoh adalah negara tradisional,
yakni raja-raja Jawa dan pemerintah kolonial.
Dalam kedua masa pemerintahan ini, baik raja Jawa maupun Hindia
Belanda asas demokrasi tidak ada, namun realita "otonomi", kalau
tidak asas "otonomi", terdapat pada kedua sistem pemerintahan
itu.
"Otonomi" dan Raja-raja Jawa
"Otonomi" zaman itu adalah sistem, di mana masyarakat mengatur
diri sendiri tanpa campur tangan dari luar, khususnya negara.
Namun adanya "otonomi" dapat disebabkan bukan oleh faktor
prinsip, tetapi oleh desakan kenyataan atau kepentingan. Asas
toh sering tumbuh karena perbandingan kekuatan-kekuatan sosial,
misalnya antara negara dan kelompok masyarakat.
Konsep otonomi masyarakat bukan berasal dari raja Jawa, tetapi
dibawa oleh Barat ke Indonesia. Namun semasa raja-raja, Jawa
terdapat lebih banyak otonomi di kelompok masyarakat dibanding
semasa penjajahan.
Hal ini karena alat kontrol kerajaan tradisional serba kurang.
Kewibawaan, dalam bentuknya yang abstrak lan dibuat-buat, serta
manipulasi, adalah ciri khas pemerntahan raja-raja Jawa. Yang
mengatur bukanlah peraturan yang menetapkan tugas, kewajiban,
dan hak.
Para pejabat misalnya tidak digaji dari pusat, tetapi diberi
cacah atau keluarga petani untuk menyokongnya secara materiil
dan politis. Tergantunglah dari manipulasi pejabat itu terhadap
rakyatnya untuk memperoleh sokongan materiil bagi kedudukannya.
Sebaliknya, para pejabat yang diangkat oleh raja mengangkat
demang dan bekel, yang juga memanipulasi rakyat petani untuk
memperoleh upeti dan kerja bakti bagi pejabat. Semuanya, dari
raja ke priayi maupun demang dan bekel, sangat tergantung dari
wibawa seseorang atau kepandaiannya memanipulasi rakyat, yang
sering berarti penggunaan kekerasan dan ancaman.
Zaman Hindia Belanda
Dalam keadaan ini ideologi berperanan penting. Yang berkuasa
perlu jaminan loyalitas rakyat melalui ideologi yang
mengkeramatkan kedudukan penguasa. Piagam pengangkatan bupati
misalnya memuat ancaman akan ada kutukan, bila ada
pengkhianatan.
Jaminan kesetiaan pada aman raja Jawa pada akhirnya hanya dapat
diperoleh dengan perkawinan dengan keluarga raja. Dari dokumen
di Arsip Nasional ternyata bukan saja para bupati yang menerima
putra putri keraton, tapi juga pemuka masyarakat lain -- yang
secara resmi bukan priayi sepertikiai yang berpengaruh, para
kepala perdikan desa, kepala desa ataupun jago desa.
Pada Zaman raja-raja Jawa, keraton memang merupakan gudang tak
terbatas dari putra putri yang berdarah raja. Soalnya raja
memiliki puluhan selir dengan ratusan anak dan cucu, demikian
juga para pangeran dan para raden mas.
Pada tahun 1830, setelah perang Diponegoro, Hindia Belanda
mengambil alih Jawa, kecuali daerah-daerah keraton. Di sana
berjalan semacam pemerintahan boneka, atau pemerintahan tak
langsung oleh Belanda.
Sebenarnya pun di daerah gubernemen yang diambil alih oleh
Belanda secara resmi berlaku pemerintahan tak langsung. Di Jawa
terdapat para bupati yang kedudukannya sebagai penguasa
dipertahankan, tapi sementara itu Belanda mengorganisasikan
pemerintahan bupati itu. Kedudukannya menjadi lebih birokratis,
dengan dibantu oleh patih, wedana, dan camat.
Di pedesaan, Belanda menjadi desa semacam miniatur negara, satu
kesatuan administratif dengan wilayah tertentu. Biarpun pada
permukaan ada perubahaan besar dalam tata kehidupan desa, tetapi
hubungan penguasa dan rakyat masih sebagian besar didasarkan
atas wibawa, manipulasi dan juga ancaman kekerasan terselubung.
Yang terkenal ialah polisirol, pengadilan polisi yang ditangani
residen dan bupati untuk mengadili pelanggaran penduduk terhadap
peraturan yang dibuat pemerintah.
Banyaknya peraturan semasa Hindia Belanda, khususnya sesudah
1870 dengan masuknya penanaman modal swasta Belanda, melonjak.
Mengeluarkan peraturan berarti memelihara tata-tenteram bagi
Hindia Belanda. Ada peraturan mengenai cara jalan kalau malam,
tentang keharusan rumah di pinggir dikelilingi pagar, tentang
jalan desa, dan sebagainya. Sampai cara orang Jawa harus menaiki
kuda juga diatur.
Sebagian besar peraturan pemerintah kolonial ini berasal dari
makin aktifnya campur tangan ekonomi kolonial ke dalam desa, dan
diperkembangkannya dinas khusus pemerintah, seperti dinas
kesehatan, dinas irigasi, dinas kehutanan, dan dinas kepolisian.
Dengan perkembangan di atas ini kesempatan untuk mengurus diri
sendiri dari suatu desa tidak ada lagi. Kira-kira pada tahun
1900, Hindia Belanda menginsyafi bahwa pemerintah telah terlalu
banyak mengatur kehidupan desa.
Birokrasi Hindia Belanda rupanya, seperti setiap birokrasi lain,
memiliki kecenderungan berkembang biak, apalagi bila tidak ada
pembatasan terhadapnya. Tapi toh ada kekecualian: betapa pun
birokrasi Hindia Belanda tidak terus masuk ke tingkat desa.
Sebabnya adalah biaya pemerintahan. Lurah dan stafnya misalnya
tidak digaji dari pusat seperti bupati dan pangreh-praja,
tetapi menikmati tanah bengkok.
Menggaji lurah bagi Hindia Belanda akan terlalu mahal sedangkan
faedahnya tidak dilihat. Sementara itu, sukar mengawasi lurah
untuk tidak menambah "gaji" secara tidak resmi melalui upeti
dari masyarakat. Pengawasan semacam demikian hanya dapat
dilakukan oleh pegawai Belanda, demikian perkiraan pemerintah,
dan menggaji pegawai Belanda makan ongkos tinggi.
Ada juga segi psikologis untuk berhenti pada tingkat desa dalam
pengangkatan pejabat: sifat asing dan sedikitnya orang Belanda
di Indonesia (hanya lebih dari 200.000 di tengahtengah rakyat
yang puluhan juta yang menempati daerah seluas Indonesia).
Tetapi kita melihat, bahwa desa makin dicampuri kehidupannya.
Akhirnya persoalan otonomi desa ini jadi pembicaraan bagi kaum
sarjana Belanda, khususnya yang bermazhab ethis, yang merasa
memiliki tanggung jawab moral untuk membela kepentingan rakyat,
seperti umpamanya sarjana hukum adat Van Vollenhoven. Kenyataan
bahwa pemerintah mencampuri sampai ke dalam sekali urusan desa
dirasakan sebagai pemerkosaan hak rakyat.
Mengapa Tak Menolak?
Namun otonomi desa dalam hal ini jadi persoalan. Apakah otonomi
desa ini terletak dalam struktur desa, jadi sesuatu yang dari
dalam? Ataukah sesuatu yang dikonsepkan dari luar, karena
persoalan yang dihadapi baik pemerintah Belanda maupun oleh para
ethisi-nya?
Kalau struktur desa memang menjamin otonomi, bagaimana desa
sampai dapat demikian dicampuri dari luar dan mengalami
perombakan? Bila ada otonomi, pasti desa juga dapat menolak
peraturan-peraturan dari pusat, bahkan bertahan terhadap
penetrasi ekonomi kolonial dan internasional.
Mungkin persoalan ini sebaiknya tidak dilihat dari persoalan
penelitian mengenai struktur desa, dan dapat atau tidaknya desa
bertahan terhadap pengaruh dari luar. Mungkin persoalan otonomi
harus dilihat dari jawaban desa terhadap pengaruh dari luar.
Semasa Hindia Belanda, jawaban ini muncul dalam bentuk
pemberontakan petani, gerakan mesianis, timbulnya kelompok
seperti gerakan Samin yang menolak pembayaran pajak, dan
akhirnya dalam gerakan Sarekat Islam serta gerakan nasionalis
lainnya yang menentang Hindia Belanda.
Mungkin sekali pemerintah Hindia Belanda yang demikian otoriter,
dan tidak pernah berkonsultasi dengan rakyat, akan tidak
demikian repot dengan reaksi masyarakat bila Belanda lebih
banyak berpegang teguh pada prinsipnya: tidak memerintah
masyarakat terlalu banyak dan membiarkan masyarakat berkembang
dan memperkuat diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini