Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Desa dan pemerintah

Semasa kerajaan, otonomi pemerintahan desa lebih besar dibanding semasa penjajahan. sebab alat kontrol kerajaan tradisional serba kurang. di zaman penjajahan, birokrasi belanda masuk ke desa.

18 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA Undang-undang no. 5 tahun 1979 yang menjadikan lurah kota pegawai negeri. Undang-undang ini terbatas pada lurah kota. Lurah desa masih menikmati tanah bengkoknya sebagai gaji, dan juga masih diajukan sebagai calon oleh masyarakat setempat. Dari calon tersebut pemerintah mengangkat seorang lurah desa. Namun timbul kadang-kadang berita mengenai rencana, untuk menghapuskan tanah bengkok lurah desa dan menggantikannya dengan gaji dari negara -- satu tindakan yang praktis menjadikan lurah desa pegawai negeri seperti halnya terjadi dengan hupati di zaman kolonial. Selain itu UU no. 5 ini menimbulkan banyak diskusi di kalangan masyarakat, biarpun proses perkembangan sudah sejak lama ke arah ini khususnya di ibukota Jakarta. Masyarakat tidak sadar akan proses tersebut dan baru agak kaget ketika itu dikeluarkan. Ada kekhawatiran di masyarakat bahwa asas otonomi terjepit dengan UU no. 5 dan meluasnya etatisme. Tulisan ini sekarang akan meninjau asas dan praktek yang menjiwai administrasi pemerintahan di Indonesia dalam sejarah. Yang akan diambil sebagai contoh adalah negara tradisional, yakni raja-raja Jawa dan pemerintah kolonial. Dalam kedua masa pemerintahan ini, baik raja Jawa maupun Hindia Belanda asas demokrasi tidak ada, namun realita "otonomi", kalau tidak asas "otonomi", terdapat pada kedua sistem pemerintahan itu. "Otonomi" dan Raja-raja Jawa "Otonomi" zaman itu adalah sistem, di mana masyarakat mengatur diri sendiri tanpa campur tangan dari luar, khususnya negara. Namun adanya "otonomi" dapat disebabkan bukan oleh faktor prinsip, tetapi oleh desakan kenyataan atau kepentingan. Asas toh sering tumbuh karena perbandingan kekuatan-kekuatan sosial, misalnya antara negara dan kelompok masyarakat. Konsep otonomi masyarakat bukan berasal dari raja Jawa, tetapi dibawa oleh Barat ke Indonesia. Namun semasa raja-raja, Jawa terdapat lebih banyak otonomi di kelompok masyarakat dibanding semasa penjajahan. Hal ini karena alat kontrol kerajaan tradisional serba kurang. Kewibawaan, dalam bentuknya yang abstrak lan dibuat-buat, serta manipulasi, adalah ciri khas pemerntahan raja-raja Jawa. Yang mengatur bukanlah peraturan yang menetapkan tugas, kewajiban, dan hak. Para pejabat misalnya tidak digaji dari pusat, tetapi diberi cacah atau keluarga petani untuk menyokongnya secara materiil dan politis. Tergantunglah dari manipulasi pejabat itu terhadap rakyatnya untuk memperoleh sokongan materiil bagi kedudukannya. Sebaliknya, para pejabat yang diangkat oleh raja mengangkat demang dan bekel, yang juga memanipulasi rakyat petani untuk memperoleh upeti dan kerja bakti bagi pejabat. Semuanya, dari raja ke priayi maupun demang dan bekel, sangat tergantung dari wibawa seseorang atau kepandaiannya memanipulasi rakyat, yang sering berarti penggunaan kekerasan dan ancaman. Zaman Hindia Belanda Dalam keadaan ini ideologi berperanan penting. Yang berkuasa perlu jaminan loyalitas rakyat melalui ideologi yang mengkeramatkan kedudukan penguasa. Piagam pengangkatan bupati misalnya memuat ancaman akan ada kutukan, bila ada pengkhianatan. Jaminan kesetiaan pada aman raja Jawa pada akhirnya hanya dapat diperoleh dengan perkawinan dengan keluarga raja. Dari dokumen di Arsip Nasional ternyata bukan saja para bupati yang menerima putra putri keraton, tapi juga pemuka masyarakat lain -- yang secara resmi bukan priayi sepertikiai yang berpengaruh, para kepala perdikan desa, kepala desa ataupun jago desa. Pada Zaman raja-raja Jawa, keraton memang merupakan gudang tak terbatas dari putra putri yang berdarah raja. Soalnya raja memiliki puluhan selir dengan ratusan anak dan cucu, demikian juga para pangeran dan para raden mas. Pada tahun 1830, setelah perang Diponegoro, Hindia Belanda mengambil alih Jawa, kecuali daerah-daerah keraton. Di sana berjalan semacam pemerintahan boneka, atau pemerintahan tak langsung oleh Belanda. Sebenarnya pun di daerah gubernemen yang diambil alih oleh Belanda secara resmi berlaku pemerintahan tak langsung. Di Jawa terdapat para bupati yang kedudukannya sebagai penguasa dipertahankan, tapi sementara itu Belanda mengorganisasikan pemerintahan bupati itu. Kedudukannya menjadi lebih birokratis, dengan dibantu oleh patih, wedana, dan camat. Di pedesaan, Belanda menjadi desa semacam miniatur negara, satu kesatuan administratif dengan wilayah tertentu. Biarpun pada permukaan ada perubahaan besar dalam tata kehidupan desa, tetapi hubungan penguasa dan rakyat masih sebagian besar didasarkan atas wibawa, manipulasi dan juga ancaman kekerasan terselubung. Yang terkenal ialah polisirol, pengadilan polisi yang ditangani residen dan bupati untuk mengadili pelanggaran penduduk terhadap peraturan yang dibuat pemerintah. Banyaknya peraturan semasa Hindia Belanda, khususnya sesudah 1870 dengan masuknya penanaman modal swasta Belanda, melonjak. Mengeluarkan peraturan berarti memelihara tata-tenteram bagi Hindia Belanda. Ada peraturan mengenai cara jalan kalau malam, tentang keharusan rumah di pinggir dikelilingi pagar, tentang jalan desa, dan sebagainya. Sampai cara orang Jawa harus menaiki kuda juga diatur. Sebagian besar peraturan pemerintah kolonial ini berasal dari makin aktifnya campur tangan ekonomi kolonial ke dalam desa, dan diperkembangkannya dinas khusus pemerintah, seperti dinas kesehatan, dinas irigasi, dinas kehutanan, dan dinas kepolisian. Dengan perkembangan di atas ini kesempatan untuk mengurus diri sendiri dari suatu desa tidak ada lagi. Kira-kira pada tahun 1900, Hindia Belanda menginsyafi bahwa pemerintah telah terlalu banyak mengatur kehidupan desa. Birokrasi Hindia Belanda rupanya, seperti setiap birokrasi lain, memiliki kecenderungan berkembang biak, apalagi bila tidak ada pembatasan terhadapnya. Tapi toh ada kekecualian: betapa pun birokrasi Hindia Belanda tidak terus masuk ke tingkat desa. Sebabnya adalah biaya pemerintahan. Lurah dan stafnya misalnya tidak digaji dari pusat seperti bupati dan pangreh-praja, tetapi menikmati tanah bengkok. Menggaji lurah bagi Hindia Belanda akan terlalu mahal sedangkan faedahnya tidak dilihat. Sementara itu, sukar mengawasi lurah untuk tidak menambah "gaji" secara tidak resmi melalui upeti dari masyarakat. Pengawasan semacam demikian hanya dapat dilakukan oleh pegawai Belanda, demikian perkiraan pemerintah, dan menggaji pegawai Belanda makan ongkos tinggi. Ada juga segi psikologis untuk berhenti pada tingkat desa dalam pengangkatan pejabat: sifat asing dan sedikitnya orang Belanda di Indonesia (hanya lebih dari 200.000 di tengahtengah rakyat yang puluhan juta yang menempati daerah seluas Indonesia). Tetapi kita melihat, bahwa desa makin dicampuri kehidupannya. Akhirnya persoalan otonomi desa ini jadi pembicaraan bagi kaum sarjana Belanda, khususnya yang bermazhab ethis, yang merasa memiliki tanggung jawab moral untuk membela kepentingan rakyat, seperti umpamanya sarjana hukum adat Van Vollenhoven. Kenyataan bahwa pemerintah mencampuri sampai ke dalam sekali urusan desa dirasakan sebagai pemerkosaan hak rakyat. Mengapa Tak Menolak? Namun otonomi desa dalam hal ini jadi persoalan. Apakah otonomi desa ini terletak dalam struktur desa, jadi sesuatu yang dari dalam? Ataukah sesuatu yang dikonsepkan dari luar, karena persoalan yang dihadapi baik pemerintah Belanda maupun oleh para ethisi-nya? Kalau struktur desa memang menjamin otonomi, bagaimana desa sampai dapat demikian dicampuri dari luar dan mengalami perombakan? Bila ada otonomi, pasti desa juga dapat menolak peraturan-peraturan dari pusat, bahkan bertahan terhadap penetrasi ekonomi kolonial dan internasional. Mungkin persoalan ini sebaiknya tidak dilihat dari persoalan penelitian mengenai struktur desa, dan dapat atau tidaknya desa bertahan terhadap pengaruh dari luar. Mungkin persoalan otonomi harus dilihat dari jawaban desa terhadap pengaruh dari luar. Semasa Hindia Belanda, jawaban ini muncul dalam bentuk pemberontakan petani, gerakan mesianis, timbulnya kelompok seperti gerakan Samin yang menolak pembayaran pajak, dan akhirnya dalam gerakan Sarekat Islam serta gerakan nasionalis lainnya yang menentang Hindia Belanda. Mungkin sekali pemerintah Hindia Belanda yang demikian otoriter, dan tidak pernah berkonsultasi dengan rakyat, akan tidak demikian repot dengan reaksi masyarakat bila Belanda lebih banyak berpegang teguh pada prinsipnya: tidak memerintah masyarakat terlalu banyak dan membiarkan masyarakat berkembang dan memperkuat diri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus