AIR bersih alias air ledeng rupanya masih tetap menjadi barang
langka. Di kota-kota besar di Indonesia, kebanyakan penduduk
masih harus menghirup air sumur, bahkan air sungai -- atau harus
antre memperebutkan beberapa kaleng air bersih dari keran-keran
umum.
Tapi di Kota Sala pihak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
sedang menghadapi satu masalah. Sejak akhir Maret lalu sepanjang
27,6 km pipa transmisi air sudah menjulur dari sumber air
Cokrotulung ke dalam kota. Pipa ini direncanakan dapat
mengalirkan air ke 1.100 rumah penduduk pelanggan baru. Namun
sampai awal bulan ini, hanya 350 buah rumah yang mau menjadi
pelanggan. Mengapa?
Menurut pihak penduduk, calon pelanggan masih enggan mencatatkan
diri karena pipa distribusi maupun pipa tersier yang akan
mencurahkan air ke rumah mereka, sampai sekarang belum
terpasang. Direktur PDAM Sala, R. Soedarto membenarkan hal itu.
Pihak Departemen PU di Jakarta tak membantahnya. "Karena alokasi
anggaran untuk itu belum mencukupi," kata Kepala Humas
Departemen PU, Soenarko. Namun tak lupa ia menambahkan,
pemasangan pipa distribusi dan pipa tersier air minum di Sala
ditangguhkan, karena masih menunggu jumlah pasti pelanggan baru
di kota itu. Tapi Soedarto, dari PDAM Sala, sebaliknya
berpendapat, jumlah pasti pelanggan baru akan didapat jika
pipa-pipa itu sudah terpasang. "Penduduk Sala bukan tidak butuh
air bersih, tapi semata-mata karena pipa PDAM belum tersambung
ke rumah mereka," ungkap Soedarto.
Dengan penduduk hampir « juta jiwa, pelanggan lama air ledeng di
Kota Sala telah tercatat sekitar 7.000 orang. Sebagian besar
penduduk masih tetap menimba air dari sumur-sumur. Tapi dengan
melihat bahwa setiap ada kesempatan bagi langganan baru air
bersih di kota-kota lain selalu menjadi rebutan penduduk, ada
pihak di Sala menduga calon pelanggan baru di kota itu tidak
mampu membayar tarif pemasangan. Padahal tarif itu sendiri telah
ditentukan Rp 50.000, dapat dicicil selama 2 tahun dengan uang
muka Rp 10.000. Tak seorang calon pelanggan baru yang mau
mengomentari tarif itu.
Pemerintah memang merencanakan pemerataan pengadaan air bersih
untuk 3.000 kecamatan di seluruh Indonesia. Tapi sementara itu
tak sedikit masalah timbul sehubungan dengan rencana itu. Di
Banda Aceh terjadi kasus penipuan yang dilakukan oleh seorang
bernama Ucok. Dia mengaku pegawai PAM, membawa map plastik,
mendatangi rumah penduduk sambil menawarkan penyambungan
instalasi air.
Pemuda itu berhasil menggaet ratusan ribu rupiah, sebelum ia
diciduk polisi Kores Banda Aceh, akhir Maret silam. Hal itu
terjadi karena penduduk sudah lama menunggu giliran didatangi
petugas PAM dan Ucok menggunakan kesempatan itu dengan baik.
Untuk mencegah meluasnya penipuan, sekarang tiap pegawai PAM
diharuskan membawa kartu pengenal.
Minat penduduk Banda Aceh akan air bersih sebenarnya cukup
besar. Sayang dari 4.000 orang yang mendaftar, baru 1.600 yang
dapat dilayani. Masyarakat lebih tergiur karena biaya pemasangan
cuma Rp 25.000. Drs. Hasballah Sulaiman Kepala PAM di kota itu
mengatakan bahwa sebenarnya 4.000 peminat bisa dilayani, apalagi
mereka tidak keberatan membayar biaya pemasangan. Tapi PAM
sendiri tidak sanggup membenahi jaringan distribusinya, terlebih
untuk penduduk yang rumahnya jauh dari pipa.
Kesulitan lain di Banda Aceh adalah dualisme yang
berlarut-larut. Proyek Air Minum Lambaro yang terletak 8 km dari
Banda Aceh dengan kapasitas 220 liter per detik, belum
diserahkan pengelolaannya pada PAM Banda Aceh -- meskipun proyek
itu sudah selesai dan akan diresmikan Presiden Soeharto Juni
1981. Proyek ini sekarang masih dikuasai kontraktornya.
PAM Tirtanadi di Medan baru mampu melayani 30%-40% kebutuhan
penduduk. Tapi keadaan menjadi lebih rawan karena
pelanggan-pelanggan baru masih terus diterima. Rebutan air pun
terjadi. Pelanggan yang mampu tak segan-segan menggunakan mesin
pengisap, hingga air mengucur deras dari kerannya. Tetangga yang
kurang mampu terpaksa gigit jari.
Pencurian air secara terbuka bahkan terjadi tiap hari di Jl. A.
Yani VII, tak jauh dari pusat Kota Medan. Banyak wanita
menjinjing ember, mengerumuni pipa air yang tertanam di bawah
permukaan tanah. Pipa itu, entah bagaimana, dikerat dan air pun
muncrat, langsung disedot selang plastik yang dengan cekatan
dihubungkan ke ember. Bak air umum sekitar situ sudah tidak bisa
dimanfaatkan, karena air tidak bisa memanjat ke atas. Tekanannya
terlalu lemah. Itu juga yang langsung terasa di Kompleks
Perumnas Mandala dan Helvetia. Setahun terakhir ini, air ledeng
baru menetes di sana sesudah pukul 10 malam ke atas.
Kerawanan itu belum cukup. PAM Tirtanadi, entah karena alasan
apa, sejak tahun lalu menggunakan badan perantara untuk
pemasangan baru. Tentu saja hal ini bertentangan dengan fungsi
PAI sebagai perusahaan yang melayani kepentingan umum. Sebab
dengan adanya badan perantara, tak ayal lagi tarif pemasangan
melejit dari Rp 262.020 menjadi Rp 315.000.
Itwilda (Inspektorat Wilayah Daerah) Sum-Ut pada 1980 melakukan
penelitian atas diri para pejabat PAM, yang kemudian dilanjutkan
oleh Opstibda Sum-Ut. Tapi rupanya belum membuahkan perbaikan.
Sehingga tahun lalu 400 pelanggan protes pada Gubernur Tambunan,
karena tarif untuk pelanggan di tengah kota dinaikkanmenjadiRp
225 per meter kubik -- padahal tarif sebenarnya hanya Rp 30.
PAM Tirtanadi mempunyai 2 sumber air, di Lau Kaban Sibolangit
dan Sunggal. Untuk mengatasi keperluan yang sangat mendesak,
dewasa ini sedang disiapkan satu unit konstruksi di Sunggal
dengan kapasitas 300 liter per detik. Juga akan dibangun 5 sumur
bor, dengan catatan, jika saja semua sarana air berlebih itu
berfungsi, kebutuhan Medan akan air bersih toh baru 60% dapat
dipenuhi.
Kondisi pengadaan air bersih di Bukittinggi tidak lebih baik.
Dari 75.000 penduduk, baru 70% yang mendapat air bersih, itu pun
secara bergiliran. Beberapa konsumen mengatakan, "kami hanya
mendapat air 2 sampai 4 jam sehari dan tidak menentu, bisa malam
bisa pagi."
Saluran air minum pertama di kota ini dipasang 75 tahun yang
lalu, tapi kemudian berkembang menjadi 4 saluran dari 2 sumber
Sungai Tanang dan Cengkareng. Kapasitas air yang 70 liter per
detik itu menurut Walikota Drs. H. Umar Gafar ternyata tidak
cukup -- antara lain karena banyak pipa rusak, bocor, sedang
jumlah penduduk meningkat. Karena itu pula pada tahun anggaran
79/80 dilakukan penggantian pipa dan penambahan saluran baru
dengan kapasitas 320 liter per detik. "Ini baru dalam tahap
percobaan," kata Umar Gafar.
Untuk wilayah kota yang penduduknya berpenghasilan rendah telah
disiapkan 32 keran umum.
Kemampuan PAM Kodya Cirebon lebih terbatas. Dari 2.500 calon
pelanggan, yang bisa dilayani tahun ini baru 150 orang. Semarang
yang berpenduduk 1,5 juta jiwa mendapat pelayanan air dengan.
kapasitas 800 liter per detik. Itu pun sering terganggu karena
banyak jaringan tua yang bocor di sana-sini.
Pengadaan air bersih di Jakarta agaknya masih lebih baik. Tapi
seperti umumnya di kota-kota Indonesia, pengadaan itu masih
terasa belum merata. Memang awal April ini diharapkan sebuah
mini plant -- Sunter -- dengan debit 50 liter per detik sudah
dapat melayani penduduk Jakarta Barat. Menyusul 2 miniplant lain
untuk Jakarta Timur dan akarta Selatan. Dengan demikian ada
delapan instalasi air bersih untuk 6,5 juta penduduk DKI
Jakarta. Tapi semua itu belum sampai memenuhi kebutuhan 50%
penduduk DKI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini