KAMUS kesehatan umumnya cuma menyebutkan dua jenis penyakit Diabetes Mellitus (DM) alias penyakit gula, alias kencing manis. Pertama, DM yang tergantung suntikan insulin. Kedua, DM yang tidak bergantung pada suntikan itu -- masih bisa ditanggulangi dengan obat. Adapun jenis lainnya disebutkan: tipe-tipe lain Diabetes Mellitus. Artinya, para pakar menyadari bahwa ada DM jenis lain, tapi seluk-beluknya belum diketahui dengan jelas. Namun, DM jenis lain itu bukannya sama sekali belum diketahui. Di lingkungan para peneliti, DM ini dikenal sebagai Malnutrition-Related Diabetes Mellitus (MRDM). Sesuai dengan namanya, penyebab penyakit gula ini adalah kekurangan gizi, yang belum lama ditemukan. WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia) baru tahun 1985 memasukkan MRDM ke dalam daftar penyakitnya. Khususnya sebagai kelompok ketiga Diabetes Mellitus. Gejala dan penyebab penyakit gula jenis ketiga ini memang masih terus dilacak. Awal pekan lalu, pertemuan ilmiah internasional kembali diselenggarakan -- di Hotel Hyatt Bumi, Surabaya -- untuk mencar kejelasan penyakit ini. Tampil sebaga pembicara, beberapa pakar yang meman sudah lama dikenal sebagai pemburu pemburu MRDM, di antaranya Prof. Shigeaki Baba dari Jepang dan Prof. Askanda Tjokroprawiro dari Indonesia. Studi Bab di Universitas Kobe, Jepang, dan penelitiar Askandar di RS Umum dr. Sutomo. Surabaya, adalah dua penelitian yang membual WHO mengakui MRDM di tahun 1985. "Sayang, wakil Indonesia tidak hadir dalam forum ilmiah yang diselenggarakan di Jenewa, Swiss itu," kata Askandar. WHO mulai serius mengamati MRDM di tahun 1980. Ketika itu, seorang ahli India, Prof. Ahuja, mengorganisasikan sebuah proyek penelitian tentang diabetes akibat kekurangan gizi ini. Ahuja juga yang pertama menyebutkan penyakit gula ini sebagai Malnutrition-Related Diabetes Mellitus. Namun, ketika di tahun 1982 WHO membentuk kelompok-kelompok studi ahli di sejumlah negara khusus meneliti MRDM-terungkap bahwa penyakit ini sebenarnya sudah lama ditemukan. Sebuah versi menyebutkan, MRDM paling awal ditemukan di RS Bethesda Yogyakarta, tahun 1953. Ketika itu seorang dokter Belanda, pengajar Universitas Gadjah Mada, dr. Zuidema, menemukan 43 penderita penyakit gula yang menunjukkan gejala klinis aneh. Gula darah mereka tinggi, sementara kondisi gizi mereka buruk sekali. Kendati masih bertanya-tanya, Zuidema waktu itu sudah merasa pasti, 43 pasiennya menderita penyakit gula. Ia sampai pada kesimpulan ini, karena kerusakan kelenjar pankreas pada paslen-pasien itu sama seperti penderita DM lainnya. Disfungsi kelenjar pankreas memang pangkal penyakit gula. Kelenjar ini memproduksi hormon insulin, yang fungsinya mengubah gula (glukosa) dalam darah menjadi glukogen, agar bisa diserap sel-sel jaringan untuk pembentukan energi. Defisit insulin. dalam darah secara langsung membuat kadar glukosa darah naik. Di stadium awal, kekurangan insulin dalam darah itu bisa diatasi dengan obat-obatan. Namun, pada tingkat lanjut -- kerusakan kelenjar pankreas sudah parah -- penderita harus mendapat suntikan insuhn (sintetik) secara tetap. Tanpa suntikan itu, tubuh bisa keracunan glukosa. Bagaimana hubungan kekurangan gizi dengan kerusakan kelenjar pankreas? Prof. Shigeaki Baba dan seorang ahli Indonesia, dr. Sri Hartini Kariadi, di tahun 1983 menemukan bahwa para penderita MRDM umumnya pemakan singkong dari jenis cassava. Racun singkong ini -- ditemukan oleh Sri Hartini -- ternyata mengandung asam sianida (HCN). Maka, ada dugaan, kerusakan pankreas terjadi karena keracunan. Teori cassava inilah yang kemudian menjadi salah satu pokok penelitian Prof. Askandar. Dengan biaya dari Universitas Kobe, Askandar bersama 30 rekannya melakukan penelitian besar-besaran di Jawa Timur. Responden, yang tadinya direncanakan hanya sekitar 3.750, membengkak menjadi 16.635 penderita. Askandar menemukan penderita MRDM di desa-desa Kabupaten Malang, Lamongan, Sampang, Bangkalan, dan Trenggalek. Dalam penelitian ini, Askandar akhirnya bisa menggariskan diagnosa penyebab MRDM. Dari penelitian ini pula, di tahun 1986, dikukuhkan kriteria Surabaya-Kobe. Batasan ini kemudian diakui sebagai standar studi lapangan MRDM. Teori cassava, melalui penelitian Askandar juga, menjadi jelas. "Cassava menimbulkan MRDM bila tubuh kekurangan protein," ucap Askandar. "Kalau protein dikonsumsi dengan cukup, MRDM tidak perlu dikhawatirkan." Pada masyarakat kita, singkong cassava umumnya menjadi makanan utama, tanpa daging dan makanan lain yang menyediakan protein. Pola makan ini dengan sendirinya cenderung menimbulkan MRDM. Pertemuan di Hotel Hyatt Bumi Surabaya adalah yang kedua dalam upaya membandingkan kriteria Surabaya-Kobe dengan sejumlah kriteria lain. Pembahasan pertama, menurut Askandar, berlangsung di London, Juli tahun lalu. Target kedua pertemuan ini adalah seminar pakar diabetes WIIO, tahun 1990 mendatang. Pada pertemuan WHO ini, seluruh peta MRDM diharapkan sudah bisa jelas. Harapan itu tidak berlebihan, karena dalam pertemuan di Surabaya, seluk-beluk MRDM sudah terasa semakin nyata. Seminar itu, misalnya, berhasil mengukuhkan dua jenis kerusakan pankreas yang menyebabkan MRDM. Jenis pertama, kerusakan pankreas yang diikuti pembentukan batu pada saluran-saluran kelenjar itu. Penyebabnya adalah rontoknya sel-sel epitel saluran itu, karena endapan asam sianida yang berasal dari singkong cassava. Jenis kedua, kerusakan pankreas tanpa pembentukan batu. Di seminar itu juga diungkapkan bahwa sekarang ini ada sekitar 120 juta penderita MRDM di seluruh dunia. Ini dikatakan oleh Prof. Zdenko Skrabalo, peserta dari Yugoslavia, yang mewakili WHO. Penderita MRDM umumnya berada di negara berkembang, khususnya tempat singkong jadi makanan utama. "Kini kita mengetahui dengan jelas, MRDM adalah penyakit yang mempunyai hubungan dengan masalah sosial ekonomi," kata Skrabalo menggarisbawahi.Jim Supangkat (Jakarta), Wahyu Muryadi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini