INILAH peristiwa yang cuma sekali dalam 10 tahun. Masyarakat Hindu Bali, Rabu pekan lalu persis sehari sebelum Hari Raya Nyepi -- melaksanakan upacara Panca Walikrama yang juga disebut Panca Balikrama, upacara sekali dalam 10 tahun itu. Bertempat di Pura Besakih, pura terbesar di Bali, sekitar 65 km di sebelah timur Denpasar, dan berjalan sebagaimana umumnya: meriah, penuh warna-warni. Sebagai upacara keagamaan besar, bau keriaan sudah terasa jauh-jauh hari. Pura, tentu saja, sudah didandani. Di Jaba Tengah -- satu dari tiga kompleks persembahyangan -- dibuatkan bangunan kecil beratapkan ilalang. Ada pula bangunan terbuka. Juga hamparan tikar pada tanah. Itulah yang dipakai untuk acara yang dinamai tawur, yang berarti korban suci. Hiasana-hiasan pun meronai bangunan itu. Payung, umbul-umbul, juga kain beragam warna. Utara didominasi hitam. Timur serba putih. Selatan warna merah. Sedangkan barat warna kuning. Ada pula dua gunungan tinggi yang disusun dari jajanan dan cacahan daging babi. Ida Bagus Oka Punyatmaja, Wakil Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), membacakan sambutannya. Upacara itu, katanya, "Pemujaan terhadap Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Ciwa." Sebuah pemujaan, agar bangsa dan negara terelakkan dari bencana. Juga agar Tuhan melebur dosa manusia, dan memberi jalan kebajikan. Harapan baik itu bersambut dengan ketulusan umat. Sejak pagi benar, ribuan umat Hindu tumpah ruah di pura di kaki Gunung Agung. Mereka tak menghiraukan ketatnya pengamanan -- karena kehadiran Presiden Soeharto -- yang membatasi ruang geraknya. Mereka terus menunggu sampai upacara selesai. Sampai setiap orang mendapat percikan "air suci" yang diambilkan dari 12 tempat yang dianggap keramat. Sebegitu pentingkah acara ini? Tampaknya demikian. Hadir para undangan pemeluk Hindu dari India, Singapura, Malaysia, Muangthai, Selandia Baru, dan Nepal. Presiden Organisasi Hindu Sedunia yang berasal dari Nepal, Nagendra Prasad Rijai, juga meluangkan waktunya. Tak memberikan komentar soal Panca Wali Krama, Rijai malah memuji toleransi beragama di Indonesia yang, katanya, "Amat tinggi, amat baik, dan sangat mengesankan." Kebesaran Panca Walikrama juga tampak dari banyaknya tokoh adat yang terlibat. Acara tawur agung di Besakih itu misalnya, dipimpin langsung oleh 91 (jumlah yang tak tanggyng-tanggung) Pedanda (pendeta Hindu) dari seluruh wilayah Bali. Ada Ida Pedanda Gde Jumpung, Ida Pedanda Wayan Datah, Ida Pedanda Gde Pidada, dan sejumlah nama lain. Sepuluh tahun lalu, upacara serupa juga dilaksanakan dengan kegiatan besar-besaran. Pasalnya, tahun Saka -- kalender yang dipakai terutama untuk menghitung hari-hari upacara Hindu -- saat itu menunjuk 1900. Angka itu bukan hanya ulangan atau kelipatan angka sepuluh, melainkan juga ulangan angka seratus. Berarti juga peralihan abad. Upacara itu tak dinamakan Panca Walikrama seperti sekarang. Tapi Eka Dasa Rudra. Pada prakteknya, Panca Walikrama tak dilaksanakan sesuai dengan aturan mainnya. Tidak setiap sepuluh tahun ada upacara serupa. Dalam catatan -- dan seingat orang Bali -- upacara seperti itu baru dua kali dilaksanakan sebelum tahun 1979. Yakni, pada zaman penjajahan sekali (1933), pada era Orde Lama sekali (1960). "Itu disebabkan faktor-faktor sosial," kata Cokorde Krisnu, koordinator upacara. Kalau memang keadaan sosial masyarakat dianggap tak memungkinkan, apa pun penyebabnya, upacara boleh ditangguhkan. Atau malah dibatalkan sama sekali. Sepintas, tak ada hal yang dipersoalkan umat Hindu tentang upacara ini. Baik dalam hal ritual maupun makna. Namun, ternyata, pemahaman agama selalu sulit untuk bebas dari beda pendapat. Juga bagi Hindu oleh masyarakat Bali. I Ketut Pasek, Kakanwil Departemen Agama Bali, mengungkapkan: Panca Wali Krama adalah Bhuta Yadnya. Yakni persembahan pada alam. Hal serupa dikatakan Ida Bagus Agastya, Ketua Peradah, orgaanisasi pemuda Hindu. Sewaktu menyampaikan seminar di Universitas Dwijendra, Agastya menguraikan lebih lanjut bahwa upacara itu adalah persembahan kepada lima bhuta pembangun alam material. Yaitu kepada "pertiwi" (tanah) "apah" (air) "teja" (sinar) "bayu" (angin) dan "akasa" (ether). "Kami umat Hindu yakin bahwa bencana alam, banjir, pageblug (wabah), kekeringan adalah disebabkan oleh ketidakharmonisan alam. Begitu juga rasa kemerenan (iri hati), sombong dan congkak," kata Agastya. Upacara Panca Walikrama adalah upaya buat menyeimbangkan kembali alam, hingga keharmonisan dicapai lagi. Boleh jadi Agastya telah mengemukakan pandangan terbaiknya. Tapi, bagi Profesor I Gusti Ngurah Bagus, pendapat itu masih perlu diluruskan. "Bahwa makna Panca Walikrama adalah untuk menyucikan Panca Bhuta (lima unsur alam), menurut saya, keliru," ujarnya, bersemangat. Ia tidak menampik aspek Bhuta Yadnya. Namun yang lebih tepat, menurut Ngurah Bagus, upacara itu sendiri adalah persembahan khusus kepada Siwa, dewa perusak alam yang juga disebut Kala. Panca Walikrama disebutnya sebagai upacara persembahan agar Siwa kembali kepada indentitasnya sebagai dewa. Kendati mendewakan Siwa, umat Hindu Bali melibatkan pendeta Budha (Budha dalam pengertian aliran dalam Hindu, bukan agama) untuk upacara ini. "Memang ada kesamaan konsep ketuhanan antara Siwa Isanta dengan Budha Mahayana," kata Bagus. Sedangkan Agastya menyebutkan bahwa budaya Jawa pun mewarnai acara itu. Misalnya, salah satu tempat pengambilan "air suci" adalah di Gunung Semeru. Hal seperti inilah sikap keberagamaan yang, agaknya, khas Bali. Yakni bahwa antara agama dan adat tidak lagi berbatas. Setidaknya dalam kaca mata orang luar. Dan esoknya, Bali pun sepi. Inilah Hari Raya Nyepi, awal tahun Saka 1911.I Nengah Wedja & Joko Daryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini