Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Dulu, sekarang, sama saja

Becak di tuding sebagai biang kemacetan lalu lintas. pemerintah daerah mengadakan penertiban dengan membatasi daerah operasinya dan menawarkan menjadi tukang bersih jalan, montir atau bertransmigrasi. (sd)

8 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG membuat lalu lintas dalam kota kacau, kata orang, beca. Asep Sukarya, tukang beca berusia 18 tahun di Bandung, ngacung tidak setuju. Baginya bukan hanya beca, terutama kendaraan bermotor yang parkir dengan ngawur yang bikin jalan sempit. "Biar jalannya diperlebar, kalau pinggirnya tetap dipakai parkir mobil, sama saja. Kan yang naik mobil dan motor itu juga yang suka melanggar lampu merah," katanya kepada wartawan TEMPO. Asep sudah mendengar bahwa Pemerintah mau bikin beca mati kutu. Ia tidak berkutik oleh rencana itu. Menyerah saja bagaimana kemauan Pemerintah. Ia bukan tukang beca yang fanatik -- barangkali karena masa kerjanya baru mulai akhir 1976. Tetapi untuk tawaran Gubernur Jawa Barat -- supaya kembali ke desa dengan bekal sebuah sepeda untuk usaha ojek -- ia kontan menjawab dengan sinis. "Apa sih bedanya tukang beca dengan tukang ojek? Malah di desa tukang ojek sudah pakai motor sekarang. Itu maksudnya supaya kita pulang kampung aja kali!". Di Bandung, beca yang terdaftar hanya 13 ribu. Tapi Kepala Humas Pemcrintah Daerah sana memperkirakan jumlah nyatanya sekitar 60 ribu. Armada beca ini berada di bawah toke-toke mereka yang menerima setoran Rp 300 setiap hari (44,3%). Ada juga yang setengah dimiliki (40,4%), dan ada yang milik penuh para tukang beca (15,4%). Asep, meskipun menikmati nafkah dari kakinya, toh tak sepenuhnya memiliki perasaan menjadi salah satu dari kolega-koleganya yang banyak itu. Seluruh keluarganya, termasuk pacarnya, sampai sekarang masih menyangka Asep jadi pegawai di salah satu pabrik sandang di Bandung. "Saya malu kalau mereka tahu saya tukang beca di kota," katanya dengan lirih. "Makanya saya pengin sekali bisa jadi pegawai. Tolong carikan deh!" Sebelum ada bis kota, Asep memburu penumpang ke segala penjuru kota. Kemudian karena ada daerah-daerah bebas beca ia terikat di Bandung Timur. Pada suatu hari, nasib sial menimpa. Daerah bebas yang semakin melebar menjebaknya di antara Jalan Kiara Condong dan Jalan Ahmad Yani. Pasukan Tibum (Ketertiban Umum) langsung membekuknya. Beca yang disewanya Rp 250 per hari dilemparkan ke atas truk, dibawa ke Balai Kota, disidangkan, dan harus dipertanggungjawabkan oleh majikan Asep. Akibatnya Asep langsung dipecat. "Bekas kapten sih," ujar Asep menjelaskan identitas bekas majikannya. Ia terpaksa angkat kaki dari penampungan khusus yang disediakan pemilik beca untuk para pengemudi yang tak punya tempat tinggal. Karena bersaingan dengan bis kota, pendapatan Asep dari Rp 1000 (bahkan Rp 1500) turun jadi Rp 750 sehari. Dan kalau penyakit main judi serta pasang nomor buntut kambuh, paling banter perolehannya hanya cukup untuk setoran, makan dan rokok. Asep memutuskan pindah ke Bandung Barat. Daerah ini ternyata masih cukup subur. Dengan pendapatan Rp 1000 sehari, ia masih mampu mengirim setoran, beli rokok dan 3 kali makan. Itu tidak termasuk kalau "kena tembak." Melompong Paling sedikit 5 kali Asep kena tembak. Di antaranya oleh seorang wanita muda yang berhasil menipunya menggenjot sejauh 1 km. Hari itu malam gerimis. Wanita yang semula menyanggupi untuk membayar Rp 350, sesampai di tujuan menyuruh Asep menunggu. Asep bukan tidak bersedia. Tapi waktu ia melihat wanita itu bergabung dengan wanita-wanita yang suka parkir di jalanan, nah, ia terpaksa mundur. Sia-sia menunggu, pikirnya. Winata, tukang beca berusia 65 tahun yang sudah punya masa dinas 25 tahun, tak pernah kena tembak begitu. Ia malah ditimpa rezeki upah -- lebih Rp 5 atau Rp 50. Mungkin juga para penumpang kasihan melihat mulutnya yang melompong bila tersenyum. Ia hanya kerja 8 - 9 jam sehari. Setorannya juga hanya Rp 200. Ia sudah bertekad akan menghabiskan sisa hidupnya sebagal tukang beca. Tawaran Pemerintah untuk menukar haluan hidup tak pernah didengarnya. Ia tak pernah dengar radio, dan buta huruf. Ketika ditanya pekerjaan apa yang hendak dipilihnya dari sekian tawaran Pemerintah, ia menolak. Ia mengaku sudah tua. "Serahkan yang muda-muda saja," ujarnya bagaikan pejabat bicara "regenerasi". Kalau beca punah pada tahun 1980, seperti yang ditargetkan Pemerintah ia akan meminta perlindungan pada anak-anak atau menantunya. Padahal ke-6 orang anak Winata tak ada yang jadi "orang". Semuanya jadi rakyat kecil -- petani kecil -- buruh kecil bahkan yang paling bungsu juga meneruskan kerja sebagai tukang beca. Kakek yang digusur dari ladangnya di lereng gunung akibat proyek reboisasi (1950) ini, menjadi tukang beca karena terpaksa, seperti Asep. Penghasilannya dari Rp 500 atau Rp 700 sudah merosot jadi Rp 300 sejak pertengahan Mei yang silam. Ia sudah dan akan tetap berusaha untuk hidup sendiri, tidak mengganggu rumah tangga anak-anaknya. "Saya harus bisa cari makan sendiri," katanya dengan bersungguh-sungguh. Kohar, tukang beca di Jalan Ahmad Yani, juga di Bandung punya taktik untuk menghadapi daerah bebas beca itu. Ia dan kawan-kawannya sengaja mangkal di daerah bebas beca. Tapi tidak jauh-jauh -- hanya sekitar 50 meter. Maksudnya agar dapat mendahului rezeki rekan-rekannya yang menunggu di tapal batas. Di samping menunggu, ia juga aktip menyapa orang. Kalau mujur, penumpang segera dibawa ke daerah bebas beca. Tapi sayang, yang rajin datang "Tibum" -- yang memaksanya lari pontang-panting. Kohar yang sudah 21 tahun banting kaki, tak tahu rekan-rekannya pernah menghadap Walikota Husein Wangsaatmadja akhir bulan silam. Ia juga tak ikut aksi pawai 17 Mei yang lalu, pada pembukaan operasi bis kota. Juga tak tahu bahwa pemerintah membuka tawaran pada bang beca untuk jadi tukang bersih jalan, montir, transmigran atau tukang ojek sepeda. Iapun mengaku tidak termasuk tukang beca yang terlibat pada peristiwa 5 Agustus 1973 yang tersohor itu. Ia hanya sibuk mengurus makan untuk bini dan 6 anak. Hal ini meruputnya sejak subuh. Rumahnya di pinggir kota terpisah sawah dan perkampungan, sekitar 3 Km dari pangkalan beca yang disewanya Rp 250 sehari. t3aru pukul 8 malam nnti ia tiba kembali di rumah, dengan kehilangan tenaga, langsung tidur. Esoknya menunggu hari yang sama. Kalau beca dihapus, Kohar tak yakin akan bisa kembali hidup di kampung. Ia tak punya sawah seperti Asep. Untuk memulai kerja baru ia menimbang tukang beca masih jauh lebih untung. Untuk transmigrasi, yah, ia selalu dibayangi nasib malang yang menimpa temannya yang hijrah ke Sumatera. Baru beberapa tahun sudah dilepas, padahal daerah pertanian mereka masih nol -- kontan saja mereka balik ke Jawa Barat. Kohar pesimis sekarang. "Mau makan apa kami nanti," katanya mengenangkan tahun 1980. 13 Kali Nikah Di Surabaya tukang beca memang tidak menghadapi lawan bis kota tetapi mereka juga bergolak. Ada peraturan "Beca Siang" dan "Beca Malam". Yang pertama diharuskan memakai cat putih sedangkan cat biru untuk malam. Tujuannya jelas sama -- mengurangi banjir beca. "Kalau peraturan baru itu benar-benar dilaksanakan dengan tegas, kami senang juga," kata Karim, 46 tahun, yang sudah 10 tahun dinas. "Saya tak punya harapan pindah pekerjaan, mau latihan nyopir juga sudah terlalu tua. Dengan peraturan baru itu jumlah beca bakal berkurang, berarti penghasilan kami naik." Karim yang memecahkan rekor perkawinan di kalangan abang beca -- 13 kali menghadap penghulu -- tinggal di Gubeng Trowongan. Bersih sehari pendapatannya Rp 1000. Becanya berwarna biru. Beca milik pribadi. Dibelikan oleh isteri terakhir yang hidup sebagai tukang bunga. Karim tak pernah kelihatan sengsara. Sebagai tukang beca ia termasuk tertib, gemar mentaati peraturan. "Sebagai orang yang tak punya pengalaman, satu-satunya pekerjaan yang cocok adalah jadi tukang beca," ujarnya yakin. Jauh beda dari Karim, seorang Katiran, berusia 46 tahun penarik beca sejak tahun 1953. Sesungguhnya ia pernah jadi prajurit KKo. Tapi baru 3 bulan, dirasanya terlalu payah, ia pun larilah jadi tukang beca. Tahun itu setoran beca masih Rp 3, tapi penghasilannya termasuk lumayan, karena tukang beca masih langka. "Dulu penumpang yang cari beca, sekarang beca cari penumpang, tapi dibanding dengan pegawai rendahan, penghasilannya masih menang tukang beca," hibur Katiran pada dirinya sendiri. Dengan berlakunya peraturan beca siang-beca malam -- Katiran hanya boleh bekerja 12 jam. Tapi anehnya, uang setoran tidak turun dari Rp 300. "Selama saya jadi tukang beca -- 25 tahun lebih ini -- belum pernah ada sejarah yang setoran turun," katanya dengan beringas kepada Dahlan Iskan dari TEMPO. "Karena itu kalau pendapatan satu hari sudah lebih dari setoran berarti sudah senang." Harga kesenangan yang amat murah ini memang merawankan. Akan tetapi Katiran juga dapat melihat nasibnya masih mendingan kalau dibandingkan dengan nasib dokar yang tiba-tiba hampir musnah. Mengenangkan masa jaya beca sekitar tahun 50-an -- Katiran selalu teringat kepada beca primitip yang tempat duduknya terbuat dari anyaman rotan. Tak lebih dari kursi berjalan. Ban yang dipakai umumnya ban mati, seperti keadaan sepeda di masa itu. Baru tahun 1952 tempat duduk dilapisi oleh kulit sapi. Kemudian tahun 1955 terjadi revolusi dalam interior beca, sampai pada saat menjelang kepunahannya sekarang ini. Katiran tak tahu apa yang akan dilakukannya nanti. Hidupnya yang sengsara sekarang -- dengan 5 orang anak-memang sulit diatasi hanya dengan beca. Tapi rupanya ia tak melihat tawaran lain. Pernah ia mencoba jadi buruh rokok di Madiun. Ternyata hasilnya jauh lebih menyedihkan. Meskipun peraturan baru tidak diikuti dengan penurunan uang setoran, ia terpaksa bertahan. Terpaksa. Di Jakarta, meskipun setiap kali daerah bebas beca meluas, rupanya terjadi nasib yang lain. Apabila malam menunjukkan pukul 10, menyerbulah beca-beca memasuki kawasan yang terlarang. Dengan setoran Rp 350, mereka masing-masing masih sempat mengumpulkan Rp 2000 sehari. Rosidi, asal Gintung Kedondong-Cirebon -- narik beca di kawasan Grogol sejak tahun 1968. Ia membayar sewa beca secara bulanan -- Rp 10500. Setiap bulan ia masih mampu mengumpulkan Rp 35 ribu. Semuanya dikirimkan ke anak bininya yang tinggal di desa. Ia narik antara pukul 6 pagi sampai pukul 11 malam. "Dahulu sebelum ada daerah bebas beca, narik dari Grogol ke Gunung Sahari hanya Rp 110, tapi sekarang hanya narik tidak lebih dari 2 - 3 menit dapat Rp 50. Kan enak nggak cape," ujarnya kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO dengan gembira.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus