YANG membuat lalu lintas dalam kota kacau, kata orang, beca.
Asep Sukarya, tukang beca berusia 18 tahun di Bandung, ngacung
tidak setuju. Baginya bukan hanya beca, terutama kendaraan
bermotor yang parkir dengan ngawur yang bikin jalan sempit.
"Biar jalannya diperlebar, kalau pinggirnya tetap dipakai parkir
mobil, sama saja. Kan yang naik mobil dan motor itu juga yang
suka melanggar lampu merah," katanya kepada wartawan TEMPO.
Asep sudah mendengar bahwa Pemerintah mau bikin beca mati kutu.
Ia tidak berkutik oleh rencana itu. Menyerah saja bagaimana
kemauan Pemerintah. Ia bukan tukang beca yang fanatik --
barangkali karena masa kerjanya baru mulai akhir 1976. Tetapi
untuk tawaran Gubernur Jawa Barat -- supaya kembali ke desa
dengan bekal sebuah sepeda untuk usaha ojek -- ia kontan
menjawab dengan sinis. "Apa sih bedanya tukang beca dengan
tukang ojek? Malah di desa tukang ojek sudah pakai motor
sekarang. Itu maksudnya supaya kita pulang kampung aja kali!".
Di Bandung, beca yang terdaftar hanya 13 ribu. Tapi Kepala Humas
Pemcrintah Daerah sana memperkirakan jumlah nyatanya sekitar 60
ribu. Armada beca ini berada di bawah toke-toke mereka yang
menerima setoran Rp 300 setiap hari (44,3%). Ada juga yang
setengah dimiliki (40,4%), dan ada yang milik penuh para tukang
beca (15,4%). Asep, meskipun menikmati nafkah dari kakinya, toh
tak sepenuhnya memiliki perasaan menjadi salah satu dari
kolega-koleganya yang banyak itu. Seluruh keluarganya, termasuk
pacarnya, sampai sekarang masih menyangka Asep jadi pegawai di
salah satu pabrik sandang di Bandung. "Saya malu kalau mereka
tahu saya tukang beca di kota," katanya dengan lirih. "Makanya
saya pengin sekali bisa jadi pegawai. Tolong carikan deh!"
Sebelum ada bis kota, Asep memburu penumpang ke segala penjuru
kota. Kemudian karena ada daerah-daerah bebas beca ia terikat di
Bandung Timur. Pada suatu hari, nasib sial menimpa. Daerah bebas
yang semakin melebar menjebaknya di antara Jalan Kiara Condong
dan Jalan Ahmad Yani. Pasukan Tibum (Ketertiban Umum) langsung
membekuknya. Beca yang disewanya Rp 250 per hari dilemparkan ke
atas truk, dibawa ke Balai Kota, disidangkan, dan harus
dipertanggungjawabkan oleh majikan Asep. Akibatnya Asep langsung
dipecat. "Bekas kapten sih," ujar Asep menjelaskan identitas
bekas majikannya. Ia terpaksa angkat kaki dari penampungan
khusus yang disediakan pemilik beca untuk para pengemudi yang
tak punya tempat tinggal.
Karena bersaingan dengan bis kota, pendapatan Asep dari Rp 1000
(bahkan Rp 1500) turun jadi Rp 750 sehari. Dan kalau penyakit
main judi serta pasang nomor buntut kambuh, paling banter
perolehannya hanya cukup untuk setoran, makan dan rokok. Asep
memutuskan pindah ke Bandung Barat. Daerah ini ternyata masih
cukup subur. Dengan pendapatan Rp 1000 sehari, ia masih mampu
mengirim setoran, beli rokok dan 3 kali makan. Itu tidak
termasuk kalau "kena tembak."
Melompong
Paling sedikit 5 kali Asep kena tembak. Di antaranya oleh
seorang wanita muda yang berhasil menipunya menggenjot sejauh 1
km. Hari itu malam gerimis. Wanita yang semula menyanggupi untuk
membayar Rp 350, sesampai di tujuan menyuruh Asep menunggu.
Asep bukan tidak bersedia. Tapi waktu ia melihat wanita itu
bergabung dengan wanita-wanita yang suka parkir di jalanan, nah,
ia terpaksa mundur. Sia-sia menunggu, pikirnya.
Winata, tukang beca berusia 65 tahun yang sudah punya masa dinas
25 tahun, tak pernah kena tembak begitu. Ia malah ditimpa
rezeki upah -- lebih Rp 5 atau Rp 50. Mungkin juga para
penumpang kasihan melihat mulutnya yang melompong bila
tersenyum. Ia hanya kerja 8 - 9 jam sehari. Setorannya juga
hanya Rp 200. Ia sudah bertekad akan menghabiskan sisa hidupnya
sebagal tukang beca. Tawaran Pemerintah untuk menukar haluan
hidup tak pernah didengarnya. Ia tak pernah dengar radio, dan
buta huruf. Ketika ditanya pekerjaan apa yang hendak dipilihnya
dari sekian tawaran Pemerintah, ia menolak. Ia mengaku sudah
tua. "Serahkan yang muda-muda saja," ujarnya bagaikan pejabat
bicara "regenerasi". Kalau beca punah pada tahun 1980, seperti
yang ditargetkan Pemerintah ia akan meminta perlindungan pada
anak-anak atau menantunya.
Padahal ke-6 orang anak Winata tak ada yang jadi "orang".
Semuanya jadi rakyat kecil -- petani kecil -- buruh kecil bahkan
yang paling bungsu juga meneruskan kerja sebagai tukang beca.
Kakek yang digusur dari ladangnya di lereng gunung akibat proyek
reboisasi (1950) ini, menjadi tukang beca karena terpaksa,
seperti Asep. Penghasilannya dari Rp 500 atau Rp 700 sudah
merosot jadi Rp 300 sejak pertengahan Mei yang silam. Ia sudah
dan akan tetap berusaha untuk hidup sendiri, tidak mengganggu
rumah tangga anak-anaknya. "Saya harus bisa cari makan sendiri,"
katanya dengan bersungguh-sungguh.
Kohar, tukang beca di Jalan Ahmad Yani, juga di Bandung punya
taktik untuk menghadapi daerah bebas beca itu. Ia dan
kawan-kawannya sengaja mangkal di daerah bebas beca. Tapi tidak
jauh-jauh -- hanya sekitar 50 meter. Maksudnya agar dapat
mendahului rezeki rekan-rekannya yang menunggu di tapal batas.
Di samping menunggu, ia juga aktip menyapa orang. Kalau mujur,
penumpang segera dibawa ke daerah bebas beca. Tapi sayang, yang
rajin datang "Tibum" -- yang memaksanya lari pontang-panting.
Kohar yang sudah 21 tahun banting kaki, tak tahu rekan-rekannya
pernah menghadap Walikota Husein Wangsaatmadja akhir bulan
silam. Ia juga tak ikut aksi pawai 17 Mei yang lalu, pada
pembukaan operasi bis kota. Juga tak tahu bahwa pemerintah
membuka tawaran pada bang beca untuk jadi tukang bersih jalan,
montir, transmigran atau tukang ojek sepeda. Iapun mengaku tidak
termasuk tukang beca yang terlibat pada peristiwa 5 Agustus 1973
yang tersohor itu. Ia hanya sibuk mengurus makan untuk bini dan
6 anak. Hal ini meruputnya sejak subuh. Rumahnya di pinggir kota
terpisah sawah dan perkampungan, sekitar 3 Km dari pangkalan
beca yang disewanya Rp 250 sehari. t3aru pukul 8 malam nnti ia
tiba kembali di rumah, dengan kehilangan tenaga, langsung tidur.
Esoknya menunggu hari yang sama.
Kalau beca dihapus, Kohar tak yakin akan bisa kembali hidup di
kampung. Ia tak punya sawah seperti Asep. Untuk memulai kerja
baru ia menimbang tukang beca masih jauh lebih untung. Untuk
transmigrasi, yah, ia selalu dibayangi nasib malang yang menimpa
temannya yang hijrah ke Sumatera. Baru beberapa tahun sudah
dilepas, padahal daerah pertanian mereka masih nol -- kontan
saja mereka balik ke Jawa Barat. Kohar pesimis sekarang. "Mau
makan apa kami nanti," katanya mengenangkan tahun 1980.
13 Kali Nikah
Di Surabaya tukang beca memang tidak menghadapi lawan bis kota
tetapi mereka juga bergolak. Ada peraturan "Beca Siang" dan
"Beca Malam". Yang pertama diharuskan memakai cat putih
sedangkan cat biru untuk malam. Tujuannya jelas sama --
mengurangi banjir beca. "Kalau peraturan baru itu benar-benar
dilaksanakan dengan tegas, kami senang juga," kata Karim, 46
tahun, yang sudah 10 tahun dinas. "Saya tak punya harapan pindah
pekerjaan, mau latihan nyopir juga sudah terlalu tua. Dengan
peraturan baru itu jumlah beca bakal berkurang, berarti
penghasilan kami naik."
Karim yang memecahkan rekor perkawinan di kalangan abang beca --
13 kali menghadap penghulu -- tinggal di Gubeng Trowongan.
Bersih sehari pendapatannya Rp 1000. Becanya berwarna biru. Beca
milik pribadi. Dibelikan oleh isteri terakhir yang hidup sebagai
tukang bunga.
Karim tak pernah kelihatan sengsara. Sebagai tukang beca ia
termasuk tertib, gemar mentaati peraturan. "Sebagai orang yang
tak punya pengalaman, satu-satunya pekerjaan yang cocok adalah
jadi tukang beca," ujarnya yakin.
Jauh beda dari Karim, seorang Katiran, berusia 46 tahun penarik
beca sejak tahun 1953. Sesungguhnya ia pernah jadi prajurit KKo.
Tapi baru 3 bulan, dirasanya terlalu payah, ia pun larilah jadi
tukang beca. Tahun itu setoran beca masih Rp 3, tapi
penghasilannya termasuk lumayan, karena tukang beca masih
langka. "Dulu penumpang yang cari beca, sekarang beca cari
penumpang, tapi dibanding dengan pegawai rendahan,
penghasilannya masih menang tukang beca," hibur Katiran pada
dirinya sendiri.
Dengan berlakunya peraturan beca siang-beca malam -- Katiran
hanya boleh bekerja 12 jam. Tapi anehnya, uang setoran tidak
turun dari Rp 300. "Selama saya jadi tukang beca -- 25 tahun
lebih ini -- belum pernah ada sejarah yang setoran turun,"
katanya dengan beringas kepada Dahlan Iskan dari TEMPO. "Karena
itu kalau pendapatan satu hari sudah lebih dari setoran berarti
sudah senang." Harga kesenangan yang amat murah ini memang
merawankan. Akan tetapi Katiran juga dapat melihat nasibnya
masih mendingan kalau dibandingkan dengan nasib dokar yang
tiba-tiba hampir musnah.
Mengenangkan masa jaya beca sekitar tahun 50-an -- Katiran
selalu teringat kepada beca primitip yang tempat duduknya
terbuat dari anyaman rotan. Tak lebih dari kursi berjalan. Ban
yang dipakai umumnya ban mati, seperti keadaan sepeda di masa
itu. Baru tahun 1952 tempat duduk dilapisi oleh kulit sapi.
Kemudian tahun 1955 terjadi revolusi dalam interior beca, sampai
pada saat menjelang kepunahannya sekarang ini.
Katiran tak tahu apa yang akan dilakukannya nanti. Hidupnya yang
sengsara sekarang -- dengan 5 orang anak-memang sulit diatasi
hanya dengan beca. Tapi rupanya ia tak melihat tawaran lain.
Pernah ia mencoba jadi buruh rokok di Madiun. Ternyata hasilnya
jauh lebih menyedihkan. Meskipun peraturan baru tidak diikuti
dengan penurunan uang setoran, ia terpaksa bertahan. Terpaksa.
Di Jakarta, meskipun setiap kali daerah bebas beca meluas,
rupanya terjadi nasib yang lain. Apabila malam menunjukkan pukul
10, menyerbulah beca-beca memasuki kawasan yang terlarang.
Dengan setoran Rp 350, mereka masing-masing masih sempat
mengumpulkan Rp 2000 sehari.
Rosidi, asal Gintung Kedondong-Cirebon -- narik beca di kawasan
Grogol sejak tahun 1968. Ia membayar sewa beca secara bulanan --
Rp 10500. Setiap bulan ia masih mampu mengumpulkan Rp 35 ribu.
Semuanya dikirimkan ke anak bininya yang tinggal di desa. Ia
narik antara pukul 6 pagi sampai pukul 11 malam. "Dahulu
sebelum ada daerah bebas beca, narik dari Grogol ke Gunung
Sahari hanya Rp 110, tapi sekarang hanya narik tidak lebih dari
2 - 3 menit dapat Rp 50. Kan enak nggak cape," ujarnya kepada
Bachrun Suwatdi dari TEMPO dengan gembira.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini