Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Priiit, luput

Kelompok teater saja mementaskan priiit di teater tertutup tim, disutradarai oleh aji gofur. ikranegara sebagai penulis naskah, menggarap masalah yang berbau politik. (ter)

8 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRIIIT Karya: Ikranagara Sutradara: Aji Gofur Produksi: Teater Saja Teater Saja yang mementaskan naskah Priiit di Teater Tertutup TIM, 19 s/d 23 Juni, tidak disutradarai sendiri oleh Ikranagara. Dia hanya menulis naskah dan menjadi penata artistik. Tapi kali ini pun yang digarap masalah yang berbau politik. Meskipun, karena rupa-rupanya keadaan lagi rawan, masalah tersebut terkena filter. Bukan saja tak sampai atau tak muncul -- juga menjadi kabur. Cakil Granteng dan Cupak, dua tokoh dalam teater tradisionil Bali. Cupak simbul keserakahan, sedang Granteng -- yang sebetulnya adik Cupak -- simbol kewarasan dan kejujuran. Dalam cerita ini Cupak memberi order kepada Grantang untuk membabat hutan atas perintah Janda "Yak Ya E". Nyonya ini memegang sempritan dan memberi komando-komando. Grantang yang berhasil membabat hutan akhirnya harus menanggung akibat perbuatannya dengan munculnya Cakil. Sebagaimana diketahui, Cakil adalah tokoh wayang orang -- yang menurut Ikra tak jelas asal-usulnya. Ia selalu muncul untuk dikalahkan. Ikra melihatnya sebagai faktor "keseimbangan dalam ekologi." Ia muncul kemudian melabrak Grantang dengan banjir. Grantang marah-marah. Dia hendak mengganyang si Janda. Tapi Cupak menyadarkan bahwa janda itupun hanya melaksanakan prit-prit berdasar order luar negeri. Tokoh itu tidak bisa dihubungi, dia hanya bisa menghubungi. Grantang masih sewot dan bertekad untuk menghancurkan janda itu. Ia merasa terpanggil bagai pahlawan, merasa lebih kuat dari Hanoman dan Sukrasana. Tapi akhirnya sementara ia memaki-maki, pengarang naskah muncul: menjelaskan, bahwa pahlawan-pahlawan macam Grantang sebenarnya tak lebih dari "korban". Pertunjukan berakhir sebagai ide yang tak sempat dijabarkan. Meskipun ada usaha tata lampu untuk memberi suasana magis pada adegan munculnya Cakil --yang memakai selimut plastik putih -- keempat pemain yang diserahi menterjemahkan ide itu tidak memanfaatkan peluang mereka. Di bawah sutradara yang belum siap, pendekatan mereka jelas bukan menghidupkan karakter. Hanya menjadi medium untuk menghidupkan dialog yang hakekatnya adalah diskusi. Sebagai medium pun mereka tidak kenyal, karena teknik belum memadai. Lagi pula mereka tidak sadar apa sebetulnya fokus penampilan kalau pun memang berharga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus