DAN modal pengetahuan dan kemampuan bahasa Jawa yang hampir nol,
bertekadlah saya pada malam 22 Juni 1978 masuk ke gedung
pertunjukan Bharata di Senen untuk menyaksikan sebuah
pertunjukan wayang orang. Adapun yang dipertunjukkan adalah
cerita Bharatayudha yang mengisahkan gugurnya Abimanyu. Serba
sedikit, perang raksasa antara anak-anak Pandawa dan Kurawa itu
sudah saya ketahui dari beberapa kepustakaan mengenai wayang dan
literatur mengenai pandangan hidup orang Jawa.
Maka apa yang terjadi? Saya coba mengerahkan seluruh perasaanku
terhadap panggung, sebab pengertian yang dapat dicapai lewat
pemahaman dialog sudah terang mustahil. Karena itu pula catatan
ini tak lebih dari kesan yang dicoba dicapai melalui suatu fase
konsentrasi perasaan dan indera untuk menangkap jejak-jejak
filsafat yang begitu menandai behavior orang-orang Jawa.
Begitu layar dibuka dan para pemain mulai angkat bicara saya
berpaling kepada seorang teman di samping, senasib dengan saya
seorang bule yang 100% nol pengetahuan bahasa Jawanya
-- Anda mengerti sesuatu?
-- Tidak, tapi saya dapat menikmati.
Dan berdua kami coba mencapai sesuatu: penikmatan itu.
***
Adegan demi adegan pun lewat. Penonton ketawa, berkeplok atau
mendesah -- dan saya tak tahu mengapa demikian. Yang saya
rasakan adalah betapa kebudayaan-kata-kata begitu kukuh
terpancang dalam adegan demi adegan. Para pelaku mengucapkan
kalimatnya dengan kesungguhan yang nyaris sempurna, intonasinya
teraga rapi. Rasa puas jelas terpancar tatkala suara mereka
mengalun menjalin pembicaraan sahutmcllyallut yang
panjang-panjang tapi mengasyikkan.
Kata-kata seolah menjadi semuanya kebijaksanaan, kekayaan,
status, kekuatan dan kehidupan. Arti bukanlah satusatunya hal
yang hendak ditaruh dalam presentasi. Kata demi kata keluar dari
mulut pelaku kata demi kata bak embun menetes di atas kepala
dan hati para penonton.
Dengan singkat suatu verbalisme hadir lengkap dengan akibat dan
konsekwensinya yang selalu ambivalen. Kata barangkali bukan
hanya sarana atau medium untuk pesan yang disampaikan kata-kata
bahkan membentuk suatu masyarakat kata-kata dan orang merasa
betah karena disosialisasikan ke dalamnya.
***
Mungkin pula karena itu, kata dan kalimat bukan lagi hanya
masalah arti dan struktur, masalah semantik atau sintaksis.
Sebuah kalimat diucapkan tidak hanya demi untuk menyampaikan
maksud atau pikiran, tetapi sekaligus menjadi simbol sosial.
Kalimat itu harus merefleksikan lebih banyak hal: itikad batin,
kelas sosial dan tempat seseorang dalam hirarki status sosial
maupun ekonomis. Dengan ringkas bahasa seseorang mungkin bukan
hanya merupakan ucapannya tetapi juga seluruh dirinya.
Tak bisa dihindari bahwa perbahasaan yang demikian akan jauh
dari sifat efisien dan sederhana, tidak saja dalam struktur dan
bentuk tetapi juga dalam penggunaan. Sebab, bila bahasa tidak
hanya menjadi alat penyampai maksud atau pikiran lewat kata-kata
sebagai mediumnya, dan bila bahasa menjadi suatu simbol sosial
yang utama, maka soal-soal yang berhubungan dengan sopan-santun,
etiket, estetika bahkan etik merupakan fungsi yang sesungguhnya
dari bahasa.
Basa-basi lalu tidak sekedar embel-embel yang mendahului suatu
inti pembicaraan, tetapi sesungguhnya merupakan bahagian
integral yang tak dapat diabaikan. Demikian pula ketentuan yang
berhubungan dengan sikap lahiriah dalam berkata-kata bukan lagi
melulu ornamentik fisik yang boleh ada boleh tidak. Sikap dan
kepantasan itu seakan-akan turut menentukan "kebenaran" dari apa
yang diucapkan.
Kebijaksanaan, pikiran luhur atau filsafat hidup adalah hal-hal
anggun yang penuh keindahan, sehingga adalah hampir tak mungkin
mencari dan menemukan semua itu dalam suatu setting yang
semrawut.
***
Fungsi kata yang tidak amat terikat pada arti sebagai
kepentingan utamanya, akan nyata juga dari humor yang
diselang-selingkan dalam pertunjukan wayang. Badut-badut yang
tampil di sana secara tangkas mempermainkan kata-kata yang
hampir mirip bunyinya atas cara seenak perutnya. Yang terasa
mungkin (saya tak pasti), bukanlah suatu permainan logika,
tetapi permainan asosiasi-asosiasi yang dilempar dan ditendang
kian-kemari seperti bermain sepak raga. Dan jelas,
asosiasi-asosiasi itu sendiri amat dipengaruhi oleh fonetik dan
bukan semantik.
Karena itu pula salah satu dukungan utama bagi lelucon seperti
itu adalah penampilan fisik yang menyertai pembicaraan.
Kata-kata menjadi konyol justru dalam tahapnya yang teatral.
***
Adapun dengan menangkap beberapa kesan tentang peranan kata yang
demikian dalam wayang, serta juga pentingnya ornamentik sosial
yang mendukungnya --kalau semua itu ada sedikit kebenarannya --
maka dapat dipahami mengapa begitu besarlah kepercayaan orang
kepada kekuatan dan kekuasaan kata-kata.
Kata-kata dianggap tenaga yang bisa dari sendirinya mencipta
secara efektif. Akibatnya, distingsi antara apa yang diucapkan
dan apa yang terjadi serta apa yang dilakukan, lambat laun
menipis, menjadi samar lalu menghilang. Indentifikasi antara
kata dan hasil dari apa yang dikatakan kemudian menjadi kuat,
dan sampai tingkat tertentu bisa berbahaya.
Sebab, dengan mengumumkan bahwa butahuruf sudah hilang lenyap
dari Indonesia, tentulah tidak berarti bahwa semua penduduk
Indonesia dari usia sekolah sudah pandai baca koran dan bisa
menulis surat. Juga dengan mengumumkan bahwa kelaparan sudah
diatasi, tidak berarti juga bahwa penduduk Gunung Kidul sudah
terpenuhi kebutuhan gizinya.
Mudah-mudahan jelas bahwa saya tak bermaksud menyatakan bahwa
wayang yang begitu sentral bagi kehidupan suatu suku bangsa,
menjadi juga sumber kultur verbalisme seperti itu. Saya hanya
menyatakan bahwa (kalaulah beberapa kesan saya tentang suatu
pertunjukan wayang orang mengandung kebenaran), maka hal itu
barangkali merupakan salah satu contoh, bagaimana filsafat
tentang bahasa, yang melihat hubungan bahasa dan pemakainya atas
cara tertentu, akan mempengaruhi terbentuknya behavior yang
tcrtentu pula.
Pastilah ada banyak akibat positif dari filsafat seperti itu.
Bila saya sekarang mencatat sebuah gejala negatif, maka itu pun
lebih karena keyakinan bahwa filsafat seperti itupun memerlukan
kritik.
Apakah kritik seperti ini ada benarnya atau hanya menggantang
asap, masih ditentukan oleh kenyataan apakah kesan instingtif
saya benar atau salah. Mungkin juga uraian itu hanya jadi contoh
kebodohan dalam usaha menangkap tidak melalui pemahaman bahasa
apa yang justru hendak dikomunikasikan lewat bahasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini