Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sehabis nonton wayang orang

Dapat dipahami mengapa begitu besar kepercayaan orang kepada kekuatan dan kekuasaan kata-kata. kata-kata dianggap tenaga yang bisa dari sendirinya mencipta secara efektif.

8 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAN modal pengetahuan dan kemampuan bahasa Jawa yang hampir nol, bertekadlah saya pada malam 22 Juni 1978 masuk ke gedung pertunjukan Bharata di Senen untuk menyaksikan sebuah pertunjukan wayang orang. Adapun yang dipertunjukkan adalah cerita Bharatayudha yang mengisahkan gugurnya Abimanyu. Serba sedikit, perang raksasa antara anak-anak Pandawa dan Kurawa itu sudah saya ketahui dari beberapa kepustakaan mengenai wayang dan literatur mengenai pandangan hidup orang Jawa. Maka apa yang terjadi? Saya coba mengerahkan seluruh perasaanku terhadap panggung, sebab pengertian yang dapat dicapai lewat pemahaman dialog sudah terang mustahil. Karena itu pula catatan ini tak lebih dari kesan yang dicoba dicapai melalui suatu fase konsentrasi perasaan dan indera untuk menangkap jejak-jejak filsafat yang begitu menandai behavior orang-orang Jawa. Begitu layar dibuka dan para pemain mulai angkat bicara saya berpaling kepada seorang teman di samping, senasib dengan saya seorang bule yang 100% nol pengetahuan bahasa Jawanya -- Anda mengerti sesuatu? -- Tidak, tapi saya dapat menikmati. Dan berdua kami coba mencapai sesuatu: penikmatan itu. *** Adegan demi adegan pun lewat. Penonton ketawa, berkeplok atau mendesah -- dan saya tak tahu mengapa demikian. Yang saya rasakan adalah betapa kebudayaan-kata-kata begitu kukuh terpancang dalam adegan demi adegan. Para pelaku mengucapkan kalimatnya dengan kesungguhan yang nyaris sempurna, intonasinya teraga rapi. Rasa puas jelas terpancar tatkala suara mereka mengalun menjalin pembicaraan sahutmcllyallut yang panjang-panjang tapi mengasyikkan. Kata-kata seolah menjadi semuanya kebijaksanaan, kekayaan, status, kekuatan dan kehidupan. Arti bukanlah satusatunya hal yang hendak ditaruh dalam presentasi. Kata demi kata keluar dari mulut pelaku kata demi kata bak embun menetes di atas kepala dan hati para penonton. Dengan singkat suatu verbalisme hadir lengkap dengan akibat dan konsekwensinya yang selalu ambivalen. Kata barangkali bukan hanya sarana atau medium untuk pesan yang disampaikan kata-kata bahkan membentuk suatu masyarakat kata-kata dan orang merasa betah karena disosialisasikan ke dalamnya. *** Mungkin pula karena itu, kata dan kalimat bukan lagi hanya masalah arti dan struktur, masalah semantik atau sintaksis. Sebuah kalimat diucapkan tidak hanya demi untuk menyampaikan maksud atau pikiran, tetapi sekaligus menjadi simbol sosial. Kalimat itu harus merefleksikan lebih banyak hal: itikad batin, kelas sosial dan tempat seseorang dalam hirarki status sosial maupun ekonomis. Dengan ringkas bahasa seseorang mungkin bukan hanya merupakan ucapannya tetapi juga seluruh dirinya. Tak bisa dihindari bahwa perbahasaan yang demikian akan jauh dari sifat efisien dan sederhana, tidak saja dalam struktur dan bentuk tetapi juga dalam penggunaan. Sebab, bila bahasa tidak hanya menjadi alat penyampai maksud atau pikiran lewat kata-kata sebagai mediumnya, dan bila bahasa menjadi suatu simbol sosial yang utama, maka soal-soal yang berhubungan dengan sopan-santun, etiket, estetika bahkan etik merupakan fungsi yang sesungguhnya dari bahasa. Basa-basi lalu tidak sekedar embel-embel yang mendahului suatu inti pembicaraan, tetapi sesungguhnya merupakan bahagian integral yang tak dapat diabaikan. Demikian pula ketentuan yang berhubungan dengan sikap lahiriah dalam berkata-kata bukan lagi melulu ornamentik fisik yang boleh ada boleh tidak. Sikap dan kepantasan itu seakan-akan turut menentukan "kebenaran" dari apa yang diucapkan. Kebijaksanaan, pikiran luhur atau filsafat hidup adalah hal-hal anggun yang penuh keindahan, sehingga adalah hampir tak mungkin mencari dan menemukan semua itu dalam suatu setting yang semrawut. *** Fungsi kata yang tidak amat terikat pada arti sebagai kepentingan utamanya, akan nyata juga dari humor yang diselang-selingkan dalam pertunjukan wayang. Badut-badut yang tampil di sana secara tangkas mempermainkan kata-kata yang hampir mirip bunyinya atas cara seenak perutnya. Yang terasa mungkin (saya tak pasti), bukanlah suatu permainan logika, tetapi permainan asosiasi-asosiasi yang dilempar dan ditendang kian-kemari seperti bermain sepak raga. Dan jelas, asosiasi-asosiasi itu sendiri amat dipengaruhi oleh fonetik dan bukan semantik. Karena itu pula salah satu dukungan utama bagi lelucon seperti itu adalah penampilan fisik yang menyertai pembicaraan. Kata-kata menjadi konyol justru dalam tahapnya yang teatral. *** Adapun dengan menangkap beberapa kesan tentang peranan kata yang demikian dalam wayang, serta juga pentingnya ornamentik sosial yang mendukungnya --kalau semua itu ada sedikit kebenarannya -- maka dapat dipahami mengapa begitu besarlah kepercayaan orang kepada kekuatan dan kekuasaan kata-kata. Kata-kata dianggap tenaga yang bisa dari sendirinya mencipta secara efektif. Akibatnya, distingsi antara apa yang diucapkan dan apa yang terjadi serta apa yang dilakukan, lambat laun menipis, menjadi samar lalu menghilang. Indentifikasi antara kata dan hasil dari apa yang dikatakan kemudian menjadi kuat, dan sampai tingkat tertentu bisa berbahaya. Sebab, dengan mengumumkan bahwa butahuruf sudah hilang lenyap dari Indonesia, tentulah tidak berarti bahwa semua penduduk Indonesia dari usia sekolah sudah pandai baca koran dan bisa menulis surat. Juga dengan mengumumkan bahwa kelaparan sudah diatasi, tidak berarti juga bahwa penduduk Gunung Kidul sudah terpenuhi kebutuhan gizinya. Mudah-mudahan jelas bahwa saya tak bermaksud menyatakan bahwa wayang yang begitu sentral bagi kehidupan suatu suku bangsa, menjadi juga sumber kultur verbalisme seperti itu. Saya hanya menyatakan bahwa (kalaulah beberapa kesan saya tentang suatu pertunjukan wayang orang mengandung kebenaran), maka hal itu barangkali merupakan salah satu contoh, bagaimana filsafat tentang bahasa, yang melihat hubungan bahasa dan pemakainya atas cara tertentu, akan mempengaruhi terbentuknya behavior yang tcrtentu pula. Pastilah ada banyak akibat positif dari filsafat seperti itu. Bila saya sekarang mencatat sebuah gejala negatif, maka itu pun lebih karena keyakinan bahwa filsafat seperti itupun memerlukan kritik. Apakah kritik seperti ini ada benarnya atau hanya menggantang asap, masih ditentukan oleh kenyataan apakah kesan instingtif saya benar atau salah. Mungkin juga uraian itu hanya jadi contoh kebodohan dalam usaha menangkap tidak melalui pemahaman bahasa apa yang justru hendak dikomunikasikan lewat bahasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus