IRENG Maulana berdiri di panggung Teater Terbuka TIM 24 dan 25
Juni yang lalu dengan pakaian hitam-hitam. Ia mengatakan
kerawanan dunia musik jazz belum lama berselang telah dapat
diatasi. Jazz yang sempat minggir dari jaman, tiba-tiba seperti
dapat darah kembali setelah kena imbas irama rock dan kemudian,
terutama hustle. "Bahkan sekarang, bukan jazz yang diilhami
oleh rock tapi banyak musik-musik lain yang diilhami oleh jazz,"
kata Ireng.
Sambil memetik gitar yang mencbarkan bau Spanyol dan klasik,
Ireng juga memimpin satu peleton pemusik yang dinamakannya
"Ireng Maulana Big Big Band". Sekitar 27 orang telah repot di
panggung untuk malam penampilan itu. Ada Nidya Sisters, ada
Grace Simon, ada Jopie Item, ada Kiboud Maulana, Hendra Wijaya
dan sebagainya.
Gagap
Walaupun penonton hanya lumayan-lumayan saja di malam yang
terasa basah itu, Ireng menampilkan wajah jazz yang lain. Selama
ini Jack Lesmana sudah berhasil memikat Jakarta mencintai jazz.
Tapi warna yang ditampilkannya makin lama makin kering. Ireng
dengan latar belakang sebagai pemain musik pop -- kemudian
memperdalam gitar klasik di Amerika -- muncul dengan penampang
yang simpatik. Musiknya membuka tangan, bergairah, praktis dan
manis. Grupnya malam itu segar dan kompak -- sebuah potret
barisan pemusik yang muda usia tapi sudah matang.
"Saya sudah lama berkeinginan menampilkan formasi big band,
meskipun masih banyak kekurangannya," kata Ireng. "Kesulitannya
banyak sekali, karena pendukungnya harus banyak padahal mereka
pada sibuk." Ireng lalu menceritakan kepada Eddy Herwanto dari
TEMPO, latihan pada minggu pertama di Gedung Pembinaan Kesenian
DKI Kuningan sering tidak utuh. "Barulah menjelang beberapa hari
pementasan, formasi bisa utuh," kata Ireng. Praktis mereka
berlatih hanya dua minggu.
Ireng gagap, lugu, tapi seringkali sempat mengejutkan dengan
banyolan-banyolan yang tak terduga. Ia memilih beberapa buah
lagu yang jelas sekali menunjukkan pengaruh dari Bob James. Tapi
ia juga menampilkan "Pine Apple Rag" (Scot Joplin) dengan solis
Hendra Wijaya pada piano, yang muncul sebagai tip yang segar.
Dari rag, Ireng masih sempat mengambil "samba" dengan "One Note
Samba" (A.C. Jobim) dengan vokal Grace, Nydia Sisters dan Ireng
sendiri. Variasi ini disempurnakan lagi dengan lagu "Spain"
(chick Corea) dan "Walang Kekek". Yang terakhir diserahkan
kepada Jopie Item yang telah bekerja secara khusus dengan Abadi,
Karim dan Ronny.
Dua buah lagu pop Indonesia sempat juga dicoba. "Serasa" (Eros
Jarot & Chrisye) dan "Adakah Lagi Pelangi" (Johannes Purba).
Lagu yang kedua ini dibawakan dengan total oleh Nidya Sisters.
Memakai gaun panjang berwarna hijau muda tiga bersaudari Nidya
yang banyak makan garam di luar negeri, memberikan penampilan
yang matang. "Di jazz ini terasa ada tantangan," kata Yayuk
mewakili Nuning dan Didiet. "Bernyanyi dengan iringan big band
ini selain memerlukan ketekunan, juga sikap mau belajar. Beda
dengan di pop, begitu mudahnya, sehingga orang tak cape-cape
buat nyanyi."
Goyang
Grace Simon ini sempat menampilkan dua buah lagu -- di antaranya
lagu "Bimbi" karangan Titiek Puspa. Grace sebenarnya berusaha
untuk menyampaikan lagunya dengan mantap disertai tehnik yang
baik. Hanya saja kebiasaannya untuk banyak goyang dalam
membawakan lagu pop hanya jadi tempelan pada malam jazz itu.
Tapi baik Grace maupun Nidya merupakan pilihan yang tepat untuk
mengangkat malam itu sehingga timbul banyak warna. Samoa akhir
acara, yang berlangsung lebih dari dua jam, penonton tidak
merasa penat.
Dari barisan pemain, selain Udin Syah yang menonjol karena
tiupan flute --Karim yang mengurus drum dan konga kembali
menunjukkan gaya yang menarik. Kribo kurus yang hitam ini, boleh
dikatakan penabuh konga yang jarang tandingannya di Indonesia.
Ia diberi kesempatan oleh Ireng menunjukkan permainan individu,
tetapi sampai batas tertentu, sehingga malam yang didukung oleh
banyak bintang itu tidak sempat didominir oleh beberapa orang
saja. Inilah kelainan Ireng dibandingkan dengan penampilan Jack
Lesmana. Malam itu sama sekali tidak terasa ada penonjolan yang
berlebihan -- semuanya meratadan yang mengherankan tampaknya
tidak seorangpun merasa dirugikan. Suasana ini jelas terasa
dalam semua nomor-nomor yang disuguhkan.
Karim berpendapat, formasi big-band (yang disertai juga kwartet
gesek yang didukung oleh pemain biola Suryati Supilin), adalah
pelik dan rumit. Terutama merupakan beban yang berat buat Ireng
yang mengaransir hampir semua lagu. "Tapi kalau tidak dimulai
dari sekarang big-band itu, kapan lagi kita kerjakan?" ujarnya
sambil tertawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini