DALAM Festival Film Indonesia (FFI) 1978 jumlah film komedi
yang ikut berlomba kurang lebih seperlima dari keseluruhan.
Dewan Juri menyatakan dalam penilaiannya: "Dalam komedi,
hendaknya ada usaha untuk mengatasi jenis farce dan burlesque,
menuju ke komedi yang lebih wajar dan halus. Maka kini telah
mulai dihasilkan komedi baik yaitu tanpa menggunakan juru-juru
lawak professional, suatu kemajuan dalam film Indonesia. Namun
yang tergolong "konyol" tetap ada juga yaitu film komedi
slapstick yang memuakkan."
Adapun farce dan burleque, begitu juga slapstick termasuk
jenis-jenis komedi yang jelas ciri-cirinya. Istilah farce
berasal dari bahasa Latin farcire yang berarti: menyumpel
mengisi penuh. Jadi farce ialah cerita yang disumpel dengan
pelaku-pelaku komis, situasi-situasi dan ucapan-ucapan lucu.
Dalam farce banyak digunakan unsur slapstick. Yang dituju ialah
membangkitkan ketawa orang sebesar-besarnya. Umumnya farce
dianggap sebagai komedi rendah. Begitu juga burlesque merupakan
bentuk paling rendah dari komedi. Segala sesuatu disajikan
secara menertawakan, berlebih-lebihan karikatural. Gaya
permainan sama dilebih-lebihkan. Di Hollywood dulu pernah
dikenal tiga pelawak Three Stooges yang saling tonjok muka,
pukul batok kepala, agar lucu tampaknya. Dalam burlesque
pemain-pemainnya saling lempar dengan kuwe tarcis, saling
semprot dengan air botol.
Jenis komedi yang tidak termasuk golongan tadi ialah komedi
romantis dan sentimental. Dalam komedi ini penting sekali
artinya alur cerita. Titik berat jatuh pada watak dan situasi.
Aktor Cary Grant terkenal karena kebolehannya mendukung jenis
komedi romantis.
Ada jenis komedi lain yang halus sifatnya. Titikberatnya ialah
pada dialoog yang diucapkan. Humornya terletak pada kelucuan
dalam kata-kata, pada cara sebuah ungkapan diputar dengan
cerdik. Watak dan situasi kurang begitu penting pada jenis
komedi ini yang disebut comedy of manners, komedi tatakrama.
Pengarang-pengarang Inggeris yang terkenal sebagai penggubah
komedi tatakrama ialah misalnya Oscar Wilde, Somerset Maugham,
Noel Coward.
Dalam FFI 1978 Dewan Juri melihat tiga judul seri Ateng yaitu
yang "sok aksi", yang "bikin pusing" dan yang "pendekar aneh".
Seperti biasa Ateng berkawan dengan Iskak. Kelompok pelawak
professional lain yaitu Surya Group bermain dalam film Karminem
yang disutradarai oleh Nya Abbas Acup. Pelawak Suroto, S. Kardjo
AC-DC dan Mang Udel tampil dalam film Arwah komersil dalam
kampus yang skenarionya ditulis oleh Syuman Djaya. Suroto
bersama Benyamin S juga muncul dalam film Pinangan yang
disutradarai oleh Syuman Djaya. Pelawak Ibing menggundulkan
kepalanya dan bermain sebagai Bang Kojak yang skenarionya
ditulis oleh Arifin C. Noor. Pelawak Pak Kuncung bermain sebagai
Cak Atmo dalam film yang disutradarai oleh Arifin C. Noor Suci
Sang Primadonna. Eddy Sud menjadi boss bandit dalam Bandit
Pungli, dan Tuti Mutia yang tadinya produser film menjelma
sebagai aktris dalam Tante Sun. Jadi rupa-rupa film komedi dan
pelawak yang dilihat oleh Dewan Juri. Ada yang lucu, yang
setengah lucu, yang tiada lucu. Berkata seorang anggota Dewan
Juri: "Saya telah berusaha betul untuk ketawa, tetapi tidak bisa
juga."
Kalau begitu di manakah letak sebabnya? Mungkin sekali karena
dalam film yang dimaksud oleh anggota Dewan Juri tadi penonton
tidak diberitahu pada awalnya dia akan menyaksikan sebuah
komedi. Penulis skenario tidak tegas sejak semula menyatakan
niat-niat komisnya, dan kemudian sutradara lalai mengoreksi
kelemahan ini.
Apakah yang menimbulkan ketawa? Buku teks menjawab dasar komedi
ialah incongruity atau keganjilan, keanehan, kejanggalan.
Keganjilan tersebut bisa terletak dalam kata-kata
gagasan-gagasan atau asosiasi pikiran. Penonton ketawa melihat
keganjilan seorang yang gemuk dengan seorang yang kurus, yang
jangkung dengan yang kate. Kalau Ateng yang gemuk pendek itu
disuruh bermain sebagai bocah yang kolokan, maka timbul suatu
incongruity, dan orang ketawa. Anak kecil akan ketawa melihat
keganjilan yang luar biasa. Keganjilan situasi dapat
ditingkatkan melalui pernyataan yang dibesar-besarkan. Karena
itu tidak mengherankan, apabila exaggeration merupakan senjata
paling kuat dari seorang pelawak.
Dapat diperkirakan mengapa anggota Dewan Juri tadi tidak bisa
ketawa lagi, kendati dia telah berusaha keras untuk ketawa. Ia
telah mencapai titik kejenuhan. Film komedi itu dianggapnya
serba konyol. Ia menjadi muak dibuatnya. Sudah barang tentu ada
kecualinya. Dewan Juri memberikan penghargaan khusus kepada
sebuah film komedi Gara-gara gila buntut. Dalam citation Dewan
Juri disebutkan: "Film komedi yang mempunyai relevansi sosial
dan memberikan dimensi baru."
Film ini yang cerita dan skenarionya ditulis oleh Sandy Suwardi
Hasan, sekaligus jadi pemain dan sutradaranya, mempersoalkan
tentang rakyat kecil yang sudah keranjingan akan judi buntut.
Pak Baun dengan empoknya, Ujang dan isterinya, Atun, Udin, dan
lain-lain, semuanya kena demam judi buntut. Siapa saja yang
disinggahi penyakit ini tidak ketolongan lagi. Kepercayaan pada
diri menjadi hilang, digantikan oleh percaya pada mimpi,
takhyul, benda yang dianggap keramat, termasuk kuburan,
pohon-pohon. Sampai-sampai orang yang gila dianggap lebih
sempurna dari orang-orang yang masih waras. Dikira uang bisa
datang dengan mudah dengan berjudi. Tapi kenyataannya tidak
demikian.
Inilah film komedi yang ceritanya digali dari kehidupan
sehari-hari, jadi mempunyai relevansi sosial benar-benar. Ia
memberikan dimensi baru, karena mengandung nilai moral yang
positif yaitu bertobatlah dan janganlah lagi gila berjudi. Sandy
Suwardy Hasan sebagai empuya cerita dan penulis skenario tidak
mempunyai pretensi berlaku sebagai "literator besar" dia hanya
mau jadi tukang kisah, menceritakan kisah rakyat. Dimensi baru
lain yang dibawakan ialah Gara-gara gila buntut sama sekali
tidak diperankan oleh juru-juru lawak professional. Tidak ada
Ateng, Johnny Gudel, Benny Gaok, Bagio dan lain-lain di situ.
Aktor-aktris pendukung film komedi ini ialah: Rachmat Hidayat,
Rahayu Effendi, Sandy Suwardi Hasan, Harun Syarif, H. Fakri
Amrullah, Ucok A.K., Sari Narulita, Farida Ucok.
Kembali kepada buku teks, maka disebutkan: "Komedi lebih sulit
menyutradarainya daripada drama serius, karena sifatnya lebih
tehnis. Penyutradaraan tergantung kepada suatu pemahaman yang
jelas tentang apa yang komis/lucu mengapa dia lucu, dan
bagaimana yang bukan lucu itu dapat dijelmakan menjadi lucu.
Beberapa sutradara mempunyai suatu perasaan wajar terhadap
humor. Sutradara lain tidak mempunyai rasa demikian."
Saya pribadi mempunyai dugaan kuat, setelah melihat film
Gara-gara gila buntut, bahwa Sandy Suwardi Hasan punya bakat
sebetulnya untuk membuat film komedi yang baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini