Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEMI menjaga kondisi badan, Yan Yan Sunarya mengatur pola makan. Sejak delapan tahun lalu, dosen?Program Studi Kriya Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung?ini mengurangi konsumsi daging merah karena khawatir akan tumpukan kolesterol di tubuhnya. "Jaga diri saja, usia saya sudah 48 tahun," katanya, Kamis pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal Yan dulu biasa menyantap?sirloin?steak?di kafe dua kali sepekan. Ia tak mengacuhkan omelan dokter tentang kadar kolesterolnya yang selalu di atas rata-rata. Namun kebiasaannya mulai berubah setelah bobotnya mencapai 100 kilogram. "Khawatir dengan kolesterol dan lemak obesitas," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gara-gara itu, ia mencoret steak dari daftar santapannya. Konsumsi dagingnya berkurang drastis. "Sate sapi paling enam bulan sekali. Sekarang lebih beralih ke ayam," tuturnya.
Daging merah adalah daging ternak besar yang biasanya berwarna merah ketika mentah, misalnya daging sapi, kambing, domba, babi, dan kuda. Jenis daging tersebut kerap dihubungkan dengan penyakit jantung serta kematian dini.?Hasil studi yang dilakukan National Institutes of Health bersama lembaga nirlaba asal Amerika Serikat, AARP, yang dipublikasikan pada 2009, misalnya, menyebutkan mereka yang banyak makan daging merah lebih berisiko meninggal karena kanker dan penyakit jantung.
Kandungan lemak jenuh pada beberapa daging merah cukup tinggi sehingga bisa meningkatkan kadar kolesterol dalam darah, yang dapat memperbesar risiko penyakit jantung. Asosiasi Jantung Amerika menyarankan konsumsi 170 gram protein hewani per hari, tapi lebih baik memilih ikan atau protein nabati dibanding daging merah.
Namun studi terbaru yang dilakukan peneliti dari? McMaster University di Hamilton, Ontario, Kanada, yang hasilnya dipublikasikan dalam konferensi European Society of Cardiology di Muenchen, Jerman, akhir Agustus lalu, menemukan sebaliknya. Orang yang mengkonsumsi 120 gram daging merah dan tiga porsi susu ternyata lebih panjang umur ketimbang mereka yang konsumsinya lebih rendah. "Temuan kami tentang susu penuh lemak dan daging merah yang belum diproses memang menantang pemikiran konvensional," ucap peneliti utama McMaster, Andrew Mente, seperti dikutip New York Post.
Studi tersebut melibatkan lebih dari 218 ribu orang dari 50 negara dan 5 benua. Mereka dibagi ke dalam lima grup berdasarkan jumlah sayur, kacang-kacangan, buah, ikan, daging, dan produk susu yang dikonsumsi. "Mereka yang mengkonsumsi buah, sayur, kacang-kacangan, ikan, produk susu, dan daging memiliki risiko penyakit kardiovaskular serta kematian dini paling rendah," kata Mente, profesor gizi dan epidemiologi di McMaster University. Sebaliknya, mereka yang mengandalkan karbohidrat untuk memasok 60 persen energi dan lemak tak jenuh lebih cepat meninggal.
Daging merah memiliki banyak kandungan gizi. Daging sapi merah, misalnya, mengandung protein, lemak, vitamin B3, vitamin B12, vitamin B6, besi, seng, selenium, dan banyak mineral kecil lain. "Selama dikembangbiakkan di padang rumput, hewannya tidak mengalami stres, dan diberi makanan yang baik, dagingnya baik untuk dikonsumsi," ujar dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Kasim Rasjidi.
Tapi, masalahnya, daging yang beredar di pasar kebanyakan bukan seperti itu. Sapi umumnya dibesarkan di pabrik, diberi pakan berbasis biji-bijian dan hormon yang meningkatkan pertumbuhan serta antibiotik. "Jadi bukan urusan banyak atau tidak banyak yang dikonsumsi. Tapi lebih khawatir karena, sejak awal, proses menuju piring sudah bermasalah," tutur Kasim.
Proses pengolahan daging juga berpengaruh. Di Indonesia, daging umumnya dimasak dengan tambahan kecap, yang mengandung banyak garam atau gula, atau dibakar, yang membuat daging malah jadi bersifat karsinogenik. "Sedangkan di Timur Tengah, misalnya, makan daging itu enggak pakai kecap, sayurnya juga seabrek," kata ahli gizi Tan Shot Yen.
Nur Alfiyah
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo