Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENEMUAN fosil rangka di Liang Bua, gua terpencil di Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, 14 tahun lalu, menggemparkan dunia. Dikenal sebagai Homo floresiensis, manusia purba berperawakan pendek itutingginya hanya 106 sentimeterdisebut-sebut sebagai spesies lain dalam keluarga manusia yang punah sekitar 13 ribu tahun silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gua itu berada di kawasan berbukit di Dusun Bere, sekitar 15 kilometer dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, di bagian barat Pulau Flores. Laporan penemuan spesies baru tersebut ditulis Mike Morwood dan Peter Brown, peneliti dari University of New England, Australia, dan terbit di jurnal Nature pada Oktober 2004. Manusia purba itu lebih populer dengan julukan hobbit, merujuk pada komunitas makhluk bertubuh mungil rekaan J.R.R. Tolkien dalam novel The Lord of the Rings.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di dusun yang paling dekat dengan Liang Bua, Rampassasa, tinggal sejumlah warga yang sebagian besar berperawakan pendek dengan tinggi sekitar 140 sentimeter. Perawakan mereka yang berbeda dengan postur orang Indonesia pada umumnya memantik pertanyaan besar: apakah H. floresiensis memiliki hubungan dan meninggalkan jejak deoxyribonucleic acid (DNA) di tubuh warga Flores berperawakan pendek itu?
Tim internasional berisi sembilan peneliti dari sebelas institusi, termasuk Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman), kembali melakukan riset di Dusun Rampassasa. Peneliti senior Lembaga Eijkman, Herawati Sudoyo, mengatakan mereka melakukan studi ulang dan memeriksa genom dari 32 warga Rampassasa. "Dusun tempat tinggal mereka sangat berdekatan dengan Liang Bua," kata Herawati dalam pernyataan tertulis, Agustus lalu.
Sebenarnya, pada 2005, menurut Herawati, sudah ada studi populasi terhadap manusia modern berperawakan pendek di kawasan sekitar Liang Bua. Namun teknologi saat itu belum memungkinkan para peneliti melihat sisipan genom asing pada manusia modern.
Setahun kemudian, studi DNA yang dilakukan Lembaga Eijkman bersama Pusat Arkeologi Nasional dan Max Planck Institute di Leipzig, Jerman, juga gagal menemukan DNA H. floresiensis. Mereka hanya mendapati DNA manusia modern. "Mungkin terlalu banyak pencemar dibanding DNA H. floresiensis yang jumlahnya sangat sedikit," ujar Herawati.
Manusia saat ini alias Homo sapiens adalah satu-satunya spesies yang bisa bertahan hidup sejak diperkirakan berevolusi pertama kali di Afrika sekitar 200 ribu tahun silam. Di dalam genom manusia modern sebenarnya masih ada jejak gen manusia purba yang tersisa. Ada warisan gen dari Neanderthalmanusia purba yang diperkirakan punah sekitar 40 ribu tahun silam. Ada pula peninggalan gen Denisovan, kerabat tua terdekat manusia yang juga sudah punah.
Masalahnya, jejak DNA H. floresiensis masih menjadi misteri. Akibatnya, para peneliti kesulitan membandingkan relasi hominin (hubungan manusia dan kerabat dekat manusia) H. floresiensis dengan warga Rampassasa sekarang yang sama-sama memiliki perawakan pendek.
Satu-satunya cara mengetahui ada-tidaknya hubungan kekerabatan H. floresiensis dengan warga Rampassasa adalah mempelajari genom mereka. Gludhug Ario Purnomo, peneliti Lembaga Eijkman, menyebutkan peneliti menggunakan marka total genom dengan teknik whole genome sequencing. "Total genom populasi di Rampassasa dibandingkan dengan total genom Neanderthal dan Denisovan," Gludhug menjelaskan, Jumat pekan lalu.
Metode itu membantu mengidentifikasi segmen kromosom yang memiliki perubahan besar tapi tidak muncul di sisa populasi lain. Segmen kromosom yang menonjol itu bisa berarti bahwa nenek moyang seseorang dulu pernah bertemu, bahkan kawin, dengan anggota spesies lain, seperti Neanderthal, Denisovan, atau grup manusia lain.
Penelitian menunjukkan genom milik para penduduk Rampassasa itu mengandung gen Neanderthal dan Denisovan, tapi tidak ada DNA manusia purba lain. Total jejak DNA purba mencapai 53,5 juta pasang basa (pb), 47,5 juta pb di antaranya adalah DNA Neanderthal. Adapun 1,8 juta pb lain tidak dapat ditentukan berasal dari Neanderthal atau Denisovan. "Proporsinya mirip dengan populasi lain di Asia Tenggara," kata Gludhug.
Hasil studi itu menunjukkan nenek moyang warga Rampassasa berasal dari Asia dan Melanesia. Porsi genetik Asia lebih tinggi dibanding Melanesia. Hal ini berbanding lurus dengan porsi genetik Neanderthal dan Denisovan. "Gen warga Rampassasa terdiri atas pembauran gen Melanesia, Austronesia, dan Austroasiatik," ucap Gludhug, memperjelas.
Dalam laporan studi yang dipublikasikan di jurnal Science pada awal Agustus lalu tersebut para peneliti tak menemukan tanda yang bisa menunjukkan adanya relasi genetik antara para hobbit dan manusia modern di Flores. "Tak ada indikasi aliran gen dari para hobbit ke warga yang hidup di sana sekarang," ujar Richard Green, peneliti rekayasa biomolekuler dari University of California, Santa Cruz, Amerika Serikat.
Tinggi tubuh adalah sifat fisik yang dipengaruhi kombinasi genetik, gaya hidup, nutrisi, dan lingkungan. Genom seseorang bisa jadi memiliki variasi gen yang berhubungan dengan perawakan tinggi atau pendek. Variasi gen yang ada pada genom warga Rampassasa ternyata lebih berhubungan dengan perawakan pendek.
Para peneliti menemukan perawakan pendek warga Dusun Rampassasa, alih-alih warisan gen dari H. floresiensis, adalah hasil proses evolusi yang berkaitan dengan kondisi alam yang terisolasi. Green mengatakan ada varian gen yang sama antara nenek moyang orang Eropa dan warga Flores. "Mereka menjadi pendek karena ada proses seleksi terhadap variasi genetik yang sudah ada dalam populasi."
Para periset juga mendapati bukti seleksi pada gen untuk enzim fatty acid desaturase, yang berperan dalam metabolisme asam lemak. Gen ini berkaitan dengan adaptasi diet sebuah populasi, contohnya suku Inuit di Greenland, karena pengaruh alam yang memicu perubahan pola makan drastis.
Warga Rampassasa dan H. floresiensis tak berhubungan secara genetik. Namun genom mereka menunjukkan adanya adaptasi yang membuat tubuh mengecil. Artinya, H. floresiensis dan warga Flores berperawakan pendek itu adalah hasil evolusi di pulau yang sama meski terpisah ribuan tahun.
Evolusi ukuran tubuh yang mengecil pada mamalia, termasuk manusia, yang tinggal di pulau-pulau terisolasi, seperti Flores, adalah fenomena umum. Kondisi ini berkaitan dengan sumber makanan yang terbatas dan banyaknya pemangsa.
Dalam kondisi terbatas, spesies besar akan cenderung mengecil untuk menyesuaikan diri. Pada era H. floresiensis, Pulau Flores adalah habitat gajah kerdil yang sekarang sudah punah. Sebaliknya, spesies kecil akan menjadi lebih besar, seperti yang terjadi pada tikus raksasa Flores. "Fenomena yang memang diperkirakan banyak kita temukan, apalagi di negara kepulauan seperti Indonesia," kata Herawati Sudoyo.
Gabriel Wahyu Titiyoga (Nature, Science, Arstechnica)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo