Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Belajar Meniti Keseimbangan Baru

Lama diantisipasi, kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah akhirnya melejit juga. Pekan lalu, harga dolar Amerika dengan cepat melewati Rp 14.500 dan sempat menyentuh batas psikologis baru Rp 15 ribu. Inikah pertanda krisis?

8 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
The Central Bank promised a dual intervention policy and relax property loan policies as the rupiah continues to depreciate since February.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



LAMA diantisipasi, kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah akhirnya melejit juga. Pekan lalu, harga dolar Amerika dengan cepat melewati Rp 14.500 dan sempat menyentuh batas psikologis baru Rp 15 ribu. Inikah pertanda krisis? Panggung politik langsung riuh. Oposisi menunggangi situasi dengan berusaha menyebar kepanikan. Pemerintah pun menegaskan Indonesia aman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia memang masih jauh dari krisis moneter. Masalah Indonesia terutama ada pada neraca transaksi berjalan, yang pada semester I 2018 defisit US$ 13,7 miliar. Sedangkan indikator penting lain, inflasi misalnya, yang cuma 3,2 persen per Agustus 2018, menunjukkan situasi sangat aman. Cadangan devisa, meski merosot dari US$ 131,9 miliar pada awal tahun menjadi US$ 118,31 miliar per akhir Juli 2018, juga masih cukup untuk menopang kebutuhan dolar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Defisit neraca transaksi berjalan memang berperan dalam melejitnya kurs dolar-rupiah. Tapi pendorong yang lebih besar adalah menyusutnya likuiditas dolar di pasar global. The Federal Reserve tengah menjalankan pengetatan ganda: menaikkan bunga sekaligus menyedot dolar dari pasar. Sedotan ganda ini membuat dolar mengering, terutama di negara-negara berkembang, sehingga, antara lain, merontokkan mata uang Argentina, Turki, dan India. Sentimen ini tak terelakkan merambat ke rupiah.

Sedotan ganda The Fed sungguh besar kekuatannya. Mantan Menteri Keuangan RI, M. Chatib Basri, menyebutkan pasar global sedang menuju titik normal baru. Berapa kurs dolar-rupiah saat titik normal baru ini tercapai? Tak ada yang tahu. Rupiah akan terus tertekan karena persediaan dolar di seluruh dunia mengering. Harga dolar akan lebih mahal. Jadi bisa saja titik keseimbangan baru itu Rp 15 ribu, bahkan lebih tinggi.

Kuncinya: kita tak perlu panik. Ini bukan pertanda kiamat. Siapa pun presidennya, kondisi ini akan menimpa Indonesia. Ekonomi akan tetap berjalan baik, asalkan semua beradaptasi. Pemerintah, korporasi, dan rumah tangga harus belajar meniti titik keseimbangan baru. Korporasi yang banyak tergantung pada bahan impor wajib mencari alternatif. Demikian pula bisnis yang penjualannya bergantung pada kredit, seperti properti atau otomotif. Tapi banyak pula perusahaan yang menikmati dolar hasil ekspor. Rumah tangga jelas harus mengurangi konsumsi barang impor yang naik harganya.

Pemerintah juga harus realistis. Sulit mengobati defisit neraca transaksi berjalan dengan dampak segera. Menaikkan ekspor jelas butuh waktu. Memajaki barang konsumsi impor tak akan berdampak signifikan dan segera. Bagaimana dengan investasi? Ini sebetulnya kunci agar dolar kembali masuk dengan cepat sehingga perjalanan ke titik keseimbangan baru lebih gradual, tak diwarnai anjloknya rupiah secara tajam. Meski neraca transaksi defisit, dolar yang masuk melalui investasi portofolio ataupun investasi langsung dapat mengganjalnya.

Investor datang tidak hanya karena naiknya peringkat atau indeks kemudahan berusaha. Investor juga menimbang kredibilitas anggaran negara dan dampak kebijakan pemerintah, yang belakangan cenderung kian populis dan proteksionis. Reformasi ekonomi pun macet. Pada awal masa jabatannya, Presiden Joko Widodo mendapat pujian selangit lantaran mengambil tindakan tidak populer tapi sangat urgen demi kesehatan ekonomi: menaikkan harga bahan bakar minyak dan menghapus subsidi. Sekarang, ketika keadaan memerlukan, kebijakan yang rasional ini justru sama sekali tak masuk pertimbangan.

Sejauh ini, pemerintah memang belum mengeluarkan respons kebijakan terbaik. Tapi masyarakat jangan pula termakan propaganda skenario hari kiamat. Selama publik tenang dan rasional, tak akan ada krisis. Mereka yang sedang beroposisi jangan pula bermain api. Menyundut krisis sebagai kendaraan untuk memenangi pemilihan umum hanya akan menghasilkan sengsara bagi Indonesia.

Yopie Hidayat (Kontributor Tempo)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus