Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wiro Sableng goes to Hollywood.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEMIKIAN berbagai media menulis. Maksudnya film Wiro Sableng yang diangkat dari serangkaian novel Bastian Tito memperoleh kerja sama dengan 20th Century Fox International. Dan semua pelaku serta penggemar film Indonesia menyambut dengan sukacita. Bersama-sama Lifelike Pictures, Fox mengucurkan puluhan miliar rupiah untuk sebuah mimpi fantastis: membangun jagat Wiro Sableng yang megah. Promosi digencarkan habis-habisan dan sekuat tenaga, karena ketika sebuah film lahirsama seperti seorang anakkita merayakan kedatangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tantangan sutradara (sebagaimana saya percaya bahwa dialah yang seharusnya memiliki visi bagaimana memvisualisasikan jagat impian ini) ada banyak. Pertama, bagaimana memelihara tokoh rekaan Bastian Tito yang sudah dikenal pembacanya. Ini juga berarti menampilkan sebuah "keindonesiaan" yang mungkin saja direpresentasikan dengan dunia pertarungan silat; jagat fantasi Nusantara beberapa abad silam yang berisi pelbagai pendekar, penjahat, sang guru, raja, dan permaisuri; serta tentu saja plot yang lazim bagi kisah silat universal: pembalasan dendam.
Kedua, bagaimana mengawinkannya dengan elemen "superhero Hollywood". Sebetulnya bukan hanya karena dukungan studio besar, tapi generasi masa kini memang lebih mengenal Captain America, Iron Man, dan Thor. Tantangan ketiga, yang paling berat, adalah karena Bastian Tito menciptakan Wiro bukan hanya sebagai pendekar yang sakti, tapi juga tokoh yang "sableng", lucu, jenaka. Ini paling rumit karena, sekali lagi saya nyatakan, urat lucu penonton berbeda-beda. Tidak mudah membuat orang tertawa.
Layar dibentangkan, cahaya bulan tampah emas menjilat-jilat bumi. Derap kuda menjejak bukit mengantar gerombolan perampok pimpinan Suranyali (Yayan Ruhiyan) yang memandang sebuah rumah di Desa Jatiwalu. Lantas, kita mendengar suara seorang "pendongeng" yang dalam, berwibawa, berucap: "Jatiwalu…."
Pembukaan semacam ini sebetulnya sudah dilakukan dalam film Merantau (Gareth Evans, 2009) dan Pendekar Tongkat Emas (Ifa Isfansyah, 2014), yang kebetulan sama-sama menggunakan suara Christine Hakim. Gaya khas dalam beberapa film martial art yang menggunakan suara seseorang yang bijak yang bercerita tentang sejarah sebuah tempat, sebuah senjata, atau seorang tokoh sebetulnya bukan gaya wajib film silat. Tapi, karena genre ini sudah mulai akan menjadi tren, jadi tak mengapa jika film ini pun memulainya dengan suara Kakek Tahu Segala (Yayu Unru), yang berfungsi sebagai "sang pendongeng", menjadi pembimbing penonton memasuki sebuah gerbang fantasi.
Dan suara berat itu berhasil membangun sebuah suasana gelap yang mengantar kekejian Suranyali menghajar Ranaweleng (Marcel Siahaan) dan Suci (Happy Salma), orang tua Wiro Saksana, hingga tewas. Dalam pertarungan menit-menit pertama itu, melesatlah seorang perempuan yang dengan sigap menyelamatkan si kecil Wiro. Dialah Sinto Weni alias Sinto Gendeng (Ruth Marini), sang guru yang populer di dunia persilatan karena tingkah lakunya yang "gendeng". Si Gendeng-lah yang kelak merawat, membesarkan, sekaligus menjadikan Wiro sebagai muridnya yang paling sakti mandraguna dengan berbagai ilmu. Mau tak mau, muridnya pun jadi ikut nyeleneh hingga disebut Wiro Sableng.
Film sepanjang 123 menit ini tentu saja adalah sebuah kisah pembalasan dendam. Bagi Sinto, Suranyalikelak bernama Mahesa Birawaadalah bekas muridnya yang kemudian menyeberang ke lembah hitam. Maka, setelah merasa cukup mewariskan berbagai ilmu, Sinto memerintahkan Wiro meringkus Suranyali dan membawanya ke hadapan dia.
Wiro dewasa (Vino G. Bastian) melangkahkan kaki untuk menuntaskan dendam gurunya tanpa mengetahui bahwa Mahesa adalah Suranyali yang membunuh orang tuanya. Jadi tujuan awal perjalanan jauh di awal adalah misi murid yang mematuhi guru. Lantas, di jalan, dia bertemu dengan beragam tokohyang di dalam novel silat diwujudkan satu per satu, seperti Anggini (Sherina Munaf) dan Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarizi). Meski ada pertengkaran kecil-kecilan, akhirnya trio ini bersepakat mengejar Mahesa Birawa. Rombongan pemburu Mahesa menebal karena soal silat ternyata memasuki ranah politik. Nun di keraton kawasan Pajajaran, Raja Kamandaka (Dwi Sasono) dan permaisurinya (Marcella Zalianty) tengah gelisah mendengar adanya rombongan pemberontak. Putra Raja ditemani adik Raja, Rara Murni (Aghniny Haque), tengah berada dalam perjalanan. Werku Alit (Lukman Sardi) dan Kalasrenggi (Teuku Rifnu Wikana) bersekongkol dengan Mahesa untuk menumbangkan Raja dengan melumpuhkan rombongan Pangeran yang tengah mengunjungi desa-desa.
Sebagai sebuah perkenalan pertama kepada penonton generasi penggemar Hollywood, sebetulnya film ini sangat menjanjikan: materi cerita dari 185 novel yang tokoh-tokohnya sudah melekat di hati dan benak pembacanya; aktor-aktris yang ganteng dan cantik; serta pencak silat yang saya bayangkan diwakili oleh dua aktor, Yayan Ruhiyan dan Cecep Arif Rahman. Juga bangunan fantasi yang dikerjakan oleh keajaiban bernama teknologi computer-generated imagery (CGI).
Namun yang menjadi fondasi untuk membangun itu semua adalah skenario. Tentu saja tidak mudah menarik sumsum cerita silat dari 185 novel untuk kemudian menjatuhkan pilihan kepada sembilan judul. Lalu sembilan novel itu ditarik rohnya dan ditiupkan ke dalam tubuh cerita tiga babak yang linear. Dalam meniupkan roh ke dalam 123 menit itu, ketiga penulis skenario, sutradara, dan produser pasti habis-habisan berembuk tokoh mana yang diberi panggung; tokoh mana yang disisir dulu; kalaupun ada tokoh yang dimajukan, seberapa jauh dan pentingnya dia; lalu tokoh mana yang menjadi kunci dan tokoh mana yang hanya tampil cantik tanpa dialog.
Tentu saja Wiro adalah tokoh utama dan dia harus diberi porsi latar belakang kehidupannya. Saya juga paham tak mungkin kita mendesakkan seluruh sejarah munculnya tokoh Anggini, Bidadari Angin Timur, Bujang Gila Tapak Sakti, Kala Hijau, dan Bajak Laut Bagaspati. Namun mengingat tak semua penonton masa kini adalah penonton sinetron Wiro Sableng, apalagi membaca ratusan novelnya yang terbit puluhan tahun silam, paling tidak tokoh-tokoh penting itu perlu diberi konteks meski hanya selintas dalam dialog.
Yang terjadi kini, bagi mereka yang tidak membaca novelnya langsung akan bertanya-tanya siapakah Bidadari Angin Timur yang selalu saja datang dan "save the day", mengalahkan berbagai pendekar hitam yang sudah nyaris mengalahkan Wiro? Apakah dia seorang peri yang diturunkan dari langit (karena begitu cantik dan kostumnya berkelap-kelip) atau pendekar perempuan yang kebetulan cantik bak bidadari? Mengapa tak diberi sedikit, barang semenit, konteks tokoh-tokoh ini untuk para "newbie" jagat Wiro Sableng?
Dengan munculnya tokoh-tokoh pendukung begitu saja, tanpa konteks dan lebih gawat lagi tanpa perkembangan karakter, agak sulit bagi penonton untuk peduli, apalagi jatuh cinta kepada mereka. Lihat saja sosok Kakek Tahu Segala yang sebenarnya lucu dan muncul seenaknya di mana saja dalam novel. Dalam film ini, dia muncul pada awal cerita dan sesudahnya tak lagi menjadi pendongeng.
Kita semua bersemangat terhadap nama Sherina Munaf dan Cecep Arif Rahman, tapi betapa kedua bakat besar ini tersia-siakan karena mereka muncul begitu saja tanpa perkembangan (dan omong-omong, Anggini yang ternyata jago melenting dan memanjat dinding itu kenapa tak berdaya ketika jatuh ke dalam jurang?).
Marcella Zalianty? Kenapa sih para sutradara menganggap permaisuri hanya bisa plarak-plirik belaka, baik dalam film Sultan Agung (Hanung Bramantyo, 2018) maupun film ini? Tentu saja seni peran tak harus banyak dialog. Tapi, dalam kedua film ini, tokoh permaisuri tak seharusnya menjadi pemanis belaka. Soal humor… sudahlah, sudah saya katakan (lagi), satu tipe humor tak bisa mencakup untuk semua orang. Humor dan ucapan "lucu" para tokohnya tak membuat semua penonton ger-geran. Mungkin jangan menyebutnya sebagai laga-komedi, karena itu sub-genre yang paling sulit di jagat mana pun, bahkan di Hollywood.
Itu baru keluhan soal skenario yang menjadi fondasi dan pilar bangunan sebuah film. Sekarang soal konsep penyajian. Dugaan saya, produksi ini sudah memutuskan ingin memasuki atau paling tidak mendekati jagat Marvel (tunggu sampai akhir film, jangan pulang dulu, bukankah itu yang selalu kita ucapkan setiap kali selesai menyaksikan film superhero?). Maka dari sisi visual, warna dan pencahayaan, serta CGI, jelas film ini memiliki keinginan mengejar jagat superhero Hollywood yang tampaknya berhasil bagi sebagian penonton. Tapi, bagi saya, nama orang-orang yang tertera dalam produksi membuat saya agak sulit tidak berharap lebih besar.
Berupaya untuk mendekati gaya jagat Marvel tentu sah-sah saja, tapi sudah pasti sulit. Semula saya lebih menyangka Wiro Sableng akan mengambil jalan Jackie Chan dalam The Drunken Master atau karya-karya Stephen Chou yang menyajikan martial art dan humor sebagai satu jalinan cerita yang mesra dan kompak. Dengan konsep seperti kedua ikon itu, teknologi dan anggaran tak perlu fantastis hingga terasa terengah-engah mengejar dunia Marvel. Tentu saja ini soal pilihan, dan keinginan setiap sineas serta produser sah saja.
Risikonya memilih jalan ini banyak berhubungan dengan soal teknis yang masih terasa, misalnya sinematografi yang tidak konsisten, terkadang ada beberapa adegan yang mulus saat Bidadari meluncur turunOh, Bidadari Angin Timur, andaikan kau benar ada dan turun dengan mulus ke bumi membereskan kekacauan politik initapi ada pula yang tidak meyakinkan (contoh: adegan di atas pohon yang berkepanjangan dan tidak lucu).
Namun saya tetap menghargai dan menikmati bagaimana film ini mengangkat tokoh perempuan yang kuat, seperti Rara Murni, Anggini, Bidadari Angin Timur, dan tentu saja Sinto Gendeng. Semoga pada film lanjutan akan muncul pula tokoh-tokoh perempuan lain semacam Bunga. Saya juga berharap agar ilmu-ilmu silat yang dimiliki Wiro Sableng bisa lebih terjalin dan menyatu dengan plot. Dengan demikian, barangkali film ini suatu hari betul-betul meluncur ke Hollywood dan ke berbagai negara lain yang sudah waktunya menyaksikan film-film Indonesia berikutnya setelah The Raid.
Leila S. Chudori
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo