Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Setiap menjelang perayaan Imlek, ikan bandeng selalu menjadi primadona dalam sajian hidangan. Tidak hanya sebagai hidangan khas, ikan bandeng juga mengandung makna dan filosofi yang dalam bagi masyarakat Indonesia, khususnya etnis Tionghoa dan Betawi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Filosofi Ikan Bandeng
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam perayaan Imlek, ikan bandeng tidak hanya dijadikan makanan, tetapi juga simbol kemakmuran, keberuntungan, dan penghormatan.
Dilansir dari situs Warisan Budaya Takbenda Indonesia yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), ikan bandeng memiliki simbolisme yang kaya dalam tradisi Tionghoa. Dalam logat Mandarin, kata "ikan" dalam logat atau pelafalan Mandarin sama dengan “Yu” memiliki arti "rezeki". Oleh karena itu, ikan bandeng dianggap sebagai simbol kemakmuran dan rezeki yang berlimpah.
Namun, duri yang banyak pada ikan bandeng juga menggambarkan rumitnya kehidupan yang memerlukan kehati-hatian dalam menanggapi setiap tantangan. Dalam tradisi Tionghoa, ikan bandeng dihidangkan secara utuh dari kepala hingga ekor, melambangkan harapan akan rezeki yang mengalir utuh dari awal hingga akhir tahun.
Penghormatan terhadap keluarga juga tercermin dalam penyajiannya, di mana anggota keluarga yang tidak membawa ikan bandeng kepada yang lebih tua dianggap tidak memiliki kesopanan.
Bandeng Pindang
Dalam tradisi Betawi, Pindang Bandeng tidak hanya menjadi menu sehari-hari, tetapi juga bagian tak terpisahkan dari perayaan Imlek. Orang Betawi mempercayai bahwa memasak dan menyajikan Pindang Bandeng pada perayaan Imlek adalah tanda kematangan jiwa.
Selain itu, Pindang Bandeng juga memiliki makna dalam tradisi perjodohan, di mana calon menantu perempuan menghadapkan dirinya pada berbagai tes untuk membuktikan kualitasnya sebagai anggota keluarga yang layak.
Ikan Bandeng dan Menantu Perempuan
Perayaan Imlek di Indonesia mencerminkan akulturasi budaya antara etnis Tionghoa dan Betawi. Ikan bandeng menjadi simbol kemakmuran dan penghormatan tidak hanya bagi masyarakat Tionghoa, tetapi juga bagi masyarakat Betawi.
Terdapat tradisi mengantar ikan bandeng kepada orang tua dan mertua sebagai tanda penghormatan. Tak hanya sebagai hidangan, ikan bandeng juga memiliki peran dalam tradisi perjodohan di masyarakat Betawi.
Filosofi ikan bandeng dalam menguji calon menantu perempuan mencerminkan proses yang tidak hanya sekadar tes keterampilan memasak, tetapi juga mengungkapkan nilai-nilai dan karakter yang dianggap penting dalam sebuah hubungan pernikahan.
Pertama, tes kerajinan menyoroti kualitas seseorang dalam mengelola waktu dan tanggung jawab. Kemampuan untuk bangun pagi dan mendapatkan ikan bandeng yang baik menunjukkan keseriusan dan dedikasi calon menantu perempuan dalam menghadapi tugas-tugas sehari-hari.
Kedua, tes ketekunan menguji kemampuan calon menantu perempuan untuk bersabar dan bekerja dengan teliti dalam menghadapi tantangan. Proses memasak pindang bandeng yang membutuhkan kesabaran dan perhatian terhadap detail menunjukkan sifat ketekunan dan konsistensi dalam menjalani hubungan.
Ketiga, tes sensitivitas mengungkapkan kemampuan calon menantu perempuan dalam memahami dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan selera orang lain. Mampu menyesuaikan rasa pindang bandeng sesuai dengan preferensi keluarga calon mertua menunjukkan empati dan kepekaan terhadap orang lain.
Keempat, tes kerapihan menyoroti keindahan dan keharmonisan dalam penyajian hidangan. Kemampuan calon menantu perempuan dalam menyajikan pindang bandeng dengan rapi dan estetis mencerminkan nilai-nilai tentang tanggung jawab dan kehormatan dalam mempersembahkan sesuatu kepada orang lain.
Selain itu, dalam perayaan pernikahan di masyarakat Betawi, terdapat tradisi yang dikenal sebagai "ngejot" ikan bandeng yang diinterpretasikan sebagai penanda nilai berharga dalam hubungan pernikahan.
Menurut keyakinan yang tersebar, semakin besar ukuran mata ikan bandeng yang dibawa oleh pengantin pria, semakin besar pula nilai berlian yang akan dibawa. Hal ini memiliki keterkaitan dengan tradisi pernikahan orang Tionghoa, di mana mata ikan bandeng dianggap sebagai representasi dari berlian yang berharga.
PUTRI SAFIRA PITALOKA | AMELIA RAHIMA SARI