Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mengintip Gelimang Cuan di Kampung Kreator Konten

Bermunculan kampung yang warganya beramai-ramai menekuni pekerjaan kreator konten. Penghasilan yang besar menjadi daya tarik.

 

17 Januari 2025 | 14.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kreator konten melakukan siaran langsung Joget Sadbor melalui aplikasi Tiktok. Tempo/Ilham Balindra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah warga Desa Citeureup di Ciamis bisa membeli mobil setelah menjadi kreator konten.

  • Ekonomi di kampung Sadbor, yang viral di TikTok karena jogetnya, juga meningkat setelah warganya beramai-ramai ngonten.

  • Ada risiko soal keberlanjutan profesi ini dan muncul kekhawatiran pertanian akan makin ditinggalkan.

SEPERTI apa kehidupan penduduk di kampung kreator konten? Rabu sore, 8 Januari 2025, mendung tipis memayungi Dusun Sindangraja, Desa Citeureup, Kecamatan Kawali, Ciamis, Jawa Barat. Rumah Doyok, salah seorang warga, terlihat ramai oleh puluhan pemuda laki-laki dan perempuan. Belasan sepeda motor terparkir di halaman, juga mobil berbagai merek, seperti Honda Brio dan Toyota Agya, Avanza, serta Rush.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para pemuda itu rutin berkumpul tiap sore. Mereka tak sekadar nongkrong, tapi juga membuat konten video. Sebagian masyarakat di Desa Citeureup, terutama pemudanya, bekerja sebagai kreator konten. Desa itu bahkan sudah tersohor sebagai kampung creator content.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banyak warga desa yang tergiur menekuni mata pencarian baru itu karena faktor finansial. Penghasilan mereka dari ngonten mencapai Rp 80-100 juta per bulan. Yang terparkir di halaman rumah Doyok menjadi salah satu bukti nyata. "Rata-rata sudah kebeli mobil," kata Jeks Deni, pendiri kampung kreator konten tersebut, saat ditemui Tempo.

Menurut Deni, orang-orang di sana sebelumnya penganggur. Ada pula yang mantan petani cabai. Setelah menjadi kreator konten, mereka hidup serba berkecukupan. 

Perubahan serupa dirasakan masyarakat perdesaan di wilayah lain. Di Sukabumi, Jawa Barat, misalnya, juga ada kampung yang warganya beramai-ramai menjadi kreator konten. Pelopornya adalah Gunawan alias Sadbor, 38 tahun, yang mempopulerkan joget patuk ayam di TikTok.

Gunawan Sadbor, mantan penjahit keliling di Jakarta, menjadi kreator konten yang dikenal luas setelah pada 2022 salah satu video jogetnya viral. Rezekinya pun membanjir. Namun, akhir tahun lalu, sosok pria berperawakan kurus ini tersandung kasus hukum. Ia ditangkap personel Kepolisian Resor Sukabumi karena diduga terlibat promosi judi online. Pada 8 November 2024, Gunawan dibebaskan setelah polisi mengabulkan permohonan penangguhan penahanannya. 

Pada Senin, 6 Januari 2025, Tempo mengunjungi kediaman Gunawan Sadbor di Dusun Mekarsari, Kampung Babakan Baru, Desa Bojongkembar, Kecamatan Cikembar, Sukabumi. Rumah dua tingkat itu tampak mencolok di antara hunian sederhana di sekitarnya, meski baru setengah jadi. Sebagian dindingnya masih berupa semen ekspos. Di sudut kiri dekat pintu masuk, bersandar dus-dus berisi lantai granit. "Rumah itu hasil live joget di TikTok," ucap Bahpong, tetangga sekaligus teman Sadbor.

Sadbor sangat populer di TikTok karena sering melakukan siaran langsung joget unik dengan iringan musik remix disjoki. Ia biasa mengajak warga lain. Mereka berjoget ketika ada "saweran" atau hadiah virtual dari penonton, yang minimal berupa donat senilai 30 koin atau setara dengan Rp 7.500. Ia kini menjelma menjadi selebritas TikTok. Seiring dengan kenaikan popularitasnya, joget patuk ayam yang biasa ia tampilkan berubah nama menjadi "joget Sadbor". 

Penghasilan dari siaran langsung joget itu bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah sehari. Melihat keberhasilan Sadbor, warga satu kampung tergiur menirunya. Mereka membentuk tim dan bersiaran langsung joget Sadbor dengan variasi goyangan. Salah satunya Bahpong, 46 tahun, yang baru lima bulan bergabung.

Saban pagi hingga sore, pria bernama asli Iwan Kartiwan ini bersiaran langsung joget bersama rekan-rekannya di area kebun Lapangan Cilangkap, Cikembar. Mereka berjoget dengan lincah dan ekspresif sambil menyerukan kata-kata yang khas, seperti wadidaw, awe-awe, dan hobah-hobah.

Aktivitas itu biasanya berlangsung mulai pukul 09.00 sampai 12.00. Setelah satu jam beristirahat, mereka lanjut berjoget selama pukul 13.00-15.00, lalu pada pukul 16.00 hingga menjelang magrib. Kegiatan itu, menurut Bahpong alias Abah Ompong, dilakukan untuk mengisi waktu luang. 

Bahpong sebetulnya berkecimpung di dunia kesenian Sunda dan kerap manggung dalam acara hajatan. Bayarannya sekali tampil Rp 300 ribu. Tapi permintaan mengisi acara tidak selalu ada sehingga pemasukannya tak menentu. "Daripada diam, ikut wadidaw mengisi kekosongan pekerjaan," tutur pria lulusan sekolah dasar ini.

Kreator konten merekam video komedi di Kecamatan Kawali, Ciamis, Jawa Barat, 8 Januari 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Dalam sekali siaran yang berlangsung tiga-empat jam, pendapatan dari saweran itu bisa mencapai Rp 200 ribu per orang. Jumlah tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur dan biaya sekolah anak bungsu Bahpong yang berusia 8 tahun.

Pria dengan gigi ompong itu mengungkapkan, Sadbor tak mengambil untung ketika banyak warga yang mengikuti jejaknya. Sebaliknya, dia mendukung dan ikut mempromosikan akun mereka dengan membuat konten bersama. Para warga yang ikut berjoget pun disebut karyawan Sadbor. Sejak itu, muncul tren satu kampung berjoget di TikTok yang diramaikan warga Kampung Babakan Baru.

Kebanyakan warga di sana sebelumnya bekerja sebagai buruh tani. Setelah mengenal aktivitas live joget TikTok, sebagian dari mereka beralih menjadi kreator konten dan meninggalkan cangkul. Salah satunya Mud, 58 tahun. Buruh tani dengan empat anak ini sudah setahun ikut berjoget bersama Sadbor.

Penghasilannya sebagai buruh tani yang hanya Rp 40-50 ribu per hari dirasa kurang. Kini ia menggantungkan pemasukan dari saweran siaran langsung joget. Dalam sekali tampil, Mud bisa menerima Rp 80 ribu. Sama seperti Bahpong, jadwal live-nya pagi hingga sore. "Kalau malam enggak ikutan. Enggak kuat awaknya, sering masuk angin," ujarnya, berkelakar.

Adapun Usup, 70 tahun, tetap bekerja menjadi buruh tani yang menggarap sawah orang lain. Saweran dari joget live TikTok, duda dengan delapan anak ini menjelaskan, menjadi tambahan penghasilan. Bila banjir saweran, Usup setidaknya bisa mengantongi Rp 300 ribu sehari. "Hasilnya, jujur saja, buat anak sekolah," katanya.

Bagi Usup, mengikuti siaran langsung joget lebih dari sekadar upaya mencari pundi-pundi rupiah. Kebersamaan penuh tawa bersama para karyawan Sadbor juga menjadi momen yang ia nikmati setiap hari.

***

ENUR Nuryaman, warga Dusun Sindangraja, Kawali, mantap meninggalkan mata pencarian petani cabai setelah konten-konten yang ia unggah berbuah cuan. Ia bahkan mampu membeli mobil dan sebidang tanah.

Pria 41 tahun itu mulanya mengikuti jejak kakaknya, Doyok, yang lebih dulu terjun menjadi kreator konten dan bisa menghasilkan uang dalam waktu dua bulan. Langkahnya tak semulus sang kakak. Ia membutuhkan waktu satu tahun untuk mendapatkan pemasukan. 

Awalnya ia cukup kesulitan mencari ide. Tapi kini konten-kontennya punya ciri khas. Video Enur rata-rata berdurasi belasan detik dan tanpa dialog. "Video-video gimik gitu," ujar pria yang memiliki ciri khas gaya bicara Sunda bercampur Inggris ini. Kesabaran Enur pernah berbuah pendapatan hingga Rp 140 juta dalam sebulan. Kantong penghasilannya dari Facebook Pro yang paling tebal, diikuti pemasukan dari  YouTube, TikTok, dan Snack. 

Pembuat konten komedi, Enur Nuryaman, di Kecamatan Kawali, Ciamis, Jawa Barat, 8 Januari 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Di Facebook Pro, Enur memiliki lebih dari 600 ribu pengikut. Beberapa videonya meraih jutaan penonton. Dari satu video, ia bisa dibayar Rp 25 juta jika mendapatkan lebih dari 30 juta pemirsa. Menurut dia, bila ingin beroleh penghasilan besar, seorang kreator harus produktif membuat konten. Ia dalam sehari bisa menghasilkan 20 video hanya dengan satu telepon seluler.

Penghasilan Doyok dari ngonten juga tak kalah fantastis. Dalam sebulan, pria 45 tahun ini mengaku setidaknya bisa mengantongi Rp 80-100 juta. Pendapatannya ia manfaatkan untuk membeli tanah dan mobil, juga membangun rumah. "Enggak usah ke mana-mana. Kalau bersemangat kerja di rumah, ada penghasilan," ucapnya.

Pria bernama asli Emuh Muhamad ini sebelumnya mencoba berbagai usaha. Ia pernah berdagang bibit dan rongsokan, membuka bisnis jual-beli sepeda motor, hingga menjadi pembawa acara hajatan. Di sela kegiatannya, Doyok membuat video bebodoran—cerita lucu khas Sunda. Saat itu dia sebatas menjalani hobi. Dia belum tahu bahwa karyanya yang diunggah di media sosial bisa dimonetisasi. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Jeks Deni yang membimbingnya hingga sukses. 

Doyok mengungkapkan, ide kontennya selalu spontan keluar, tak pernah disiapkan sebelumnya. Ketika ide itu muncul di kepalanya, ia bakal menyiapkan ponselnya dan langsung mengambil video.

Menjadi kreator konten, Doyok mengungkapkan, membuatnya dikenal banyak orang. Ia tak perlu bersusah payah mencari penginapan atau tempat makan ketika sedang berkunjung ke suatu daerah. "Karena banyak yang menyapa. Intinya, jadi banyak saudara dan silaturahmi," tuturnya.

Keberhasilan Doyok sebagai kreator konten tak lepas dari bantuan Jeks Deni, 45 tahun. Pria bernama asli Deni Irawan ini melihat sosok Doyok yang kreatif tapi kurang terasah dalam teknik pengambilan video dan penyuntingan. "Saya arahkan edit video segala macam," ucap Deni.

Bimbingan Deni membuat Doyok bisa menerima pendapatan sebesar Rp 2,4 juta dari aplikasi Snack. Kesuksesan ini dilihat warga sekitar sehingga makin banyak yang tertarik berguru kepada Deni dan terbentuklah kampung kreator. Dari lima orang, Deni menuturkan, jumlah warga yang ia bimbing bertambah menjadi 15 orang dan kini sudah mencapai 60 orang. Namun hanya separuh yang tergolong aktif berkumpul di rumah Doyok. "Tiap sore ngonten gantian, saling masuk frame konten yang lain," ujar mantan pengusaha baju sisa ekspor itu.

Deni mengatakan jumlah pendapatan mereka yang paling signifikan berasal dari Facebook Pro. Proses monetisasinya pun relatif cepat lantaran mereka sudah dikenal dari aplikasi lain. Karena itu, pada saat "gajian" untuk pertama kalinya, semuanya memperoleh pemasukan di atas Rp 5 juta dari aplikasi buatan Mark Zuckerberg itu.

Para kreator konten di Desa Citeureup secara perlahan mulai berfokus mengembangkan akun Facebook. Mereka saling mendukung dalam pembuatan konten. Pemasukan mereka setelah setahun aktif ngonten sudah menembus Rp 50 juta per bulan.

Deni mengaku mempelajari cara membuat konten secara otodidaktik. Ia awalnya aktif membuat cerita di Facebook. Lantaran bosan, ia memvisualkan cerita-cerita buatannya ke dalam video. Popularitas konten tersebut meledak di dunia maya dan dibagikan warganet ke media sosial lain.

Ketika namanya mulai dikenal banyak orang, Deni kebanjiran pekerjaan. Ia mulai sering diundang menghadiri acara siniar wawancara. Setelah merasakan manisnya dunia kreator, Deni termotivasi membantu orang lain, terutama di kampungnya. "Saya sudah punya pendapatan, orang lain juga harus kayak saya. Karena lumayan, dari ngonten bisa mencukupi kebutuhan keluarga," tuturnya.

Kini banyak orang dari luar Ciamis yang mendatangi Deni dan kawan-kawan untuk belajar ngonten. Di antaranya dari Tangerang, Banten, serta Cianjur dan Bogor, Jawa Barat. Deni tak mematok tarif bagi orang-orang yang ingin belajar membuat konten. Ia terbuka bagi siapa pun yang ingin berbagi ilmu asalkan juga mau diajak ngonten.

***

DOSEN Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Lisa Lindawati, dalam artikel yang terbit di The Conversation pada 29 Desember 2024, menulis bahwa maraknya kreator konten di desa disokong oleh jangkauan jaringan Internet yang sudah meluas hingga ke pelosok. Sayangnya, dia menambahkan, progresivitas penetrasi akses Internet ini tidak selaras dengan tingkat literasi, keahlian, dan regulasi yang memadai untuk masyarakat. Warga pun beradaptasi sendiri dengan platform dan limbung dalam memanfaatkan media sosial.

Lisa memandang mencuatnya sosok Sadbor sebagai cermin keterbatasan peluang ekonomi di masyarakat. “Caper” atau mencari perhatian publik dari keviralan konten yang dihasilkan dianggap sebagai jalan pintas untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik. Masalahnya, terdapat risiko mengenai keberlanjutan pekerjaan baru ini. Salah satunya economic shift dalam konteks gelombang alih profesi yang terjadi di masyarakat perdesaan, terutama dari sektor agraris ke sektor nonagraris.

Tren tersebut terlihat sepuluh tahun terakhir (2013-2023) yang menunjukkan jumlah petani turun hingga 7,45 persen. Di sisi lain, menjadi kreator konten, terutama ketika baru pada tahap perintisan, merupakan pekerjaan yang tidak lepas dari risiko kegagalan dan tak tergolong pekerjaan formal sehingga mereka tidak memiliki jaring pengaman (safety net) dari pemerintah.

Kepala Departemen Sosiologi Universitas Padjadjaran, Sumedang, Jawa Barat, Nunung Nurwati, menyebutkan, pada masyarakat pembuat konten, telah terjadi perubahan sosial dan perilaku hidup, pola konsumsi, hingga mata pencarian. Dia menilai fenomena ramai-ramai warga kampung membuat konten di media sosial sebagai dampak perkembangan teknologi dan pergeseran pola pikir. “Dengan membuat konten itu kan mudah dan cepat mendapatkan uang sehingga menjadi daya tarik masyarakat,” ujarnya kepada Tempo, Sabtu, 11 Januari 2025. 

Faktor lain termasuk adanya warga lain yang dinilai sukses dan kaya dari hasil pembuatan konten di media sosial. Dengan hanya bermodal gawai pintar, warga desa bisa mudah membuat konten. Namun Nunung melihat tema konten kadang kurang memberi edukasi. “Banyaknya hiburan, bahkan enggak tahu temanya seperti apa yang tidak kita mengerti,” kata guru besar pertama bidang kesejahteraan keluarga dan anak di Indonesia itu.

Bagi Nunung, konten yang memiliki nilai edukasi akan berdampak luas kepada masyarakat. Misalnya tentang budaya, sejarah, pahlawan, atau motivator yang positif serta generasi muda yang sukses berwirausaha. “Jadi konten media sosial itu ada nilai pesan moralnya yang mengesankan, selain bertema hiburan,” ucap Nunung. Tema lain yang bisa membantu masyarakat sekitar dan mengangkat nama lokasi adalah profil daerah tempat pembuatan konten.

Nunung menilai banyak dampak dan potensi positif dari para pembuat konten yang merupakan warga desa. “Orang berlomba-lomba membuat konten juga dan mencuatkan nama tempat tinggal mereka sehingga bisa menarik wisatawan lokal,” tutur Nunung. Tamu atau wisatawan yang berkunjung itu bisa membantu meningkatkan ekonomi warga setempat.

Anwar Siswadi berkontribusi dalam penullisan artiket ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Friski Riana

Friski Riana

Lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana pada 2013. Bergabung dengan Tempo pada 2015 di desk hukum. Kini menulis untuk desk jeda yang mencakup isu gaya hidup, hobi, dan tren. Pernah terlibat dalam proyek liputan Round Earth Media dari International Women’s Media Foundation dan menulis tentang tantangan berkarier para difabel.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus