Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Presiden Hardi 45 Tahun Kemudian

Pameran Hardi menampilkan karya ikonik "Presiden RI Th. 2001: Suhardi". Ada pula lukisan potret Prabowo Subianto.

18 Januari 2025 | 14.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Lukisan Presiden RI Th. 2001: Suhardi. Tempo/Charisma Adristy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Gambar ikonik Presiden RI Th. 2001: Suhardi karya Hardi membikin geger jagat seni rupa pada 1979.

  • Gambar ini menjadi karya utama dalam acara mengenang setahun wafatnya Hardi di Galeri Nasional Indonesia.

  • Lukisan potret Presiden Prabowo Subianto dan para tokoh lain juga dipajang.

POTRET “Presiden RI tahun 2001” itu kini menyambut kedatangan pengunjung di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Sang presiden adalah Raden Soehardi Adimaryono, yang biasa disapa Hardi. Karya cetak saring berjudul Presiden RI Th. 2001: Suhardi itu bergambar Hardi bersafari putih dengan berbagai tanda kehormatan di dada kiri. Gambar itu sebenarnya tidak seperti foto standar presiden, yang biasanya berjas hitam dan berpeci, tapi lebih mirip perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang berseragam dinas putih. Tapi tulisan “Presiden RI Th. 2001: Suhardi” di bagian atasnya menegaskan maksud sang seniman menggambarkan potret seorang presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gambar itulah yang membuat geger jagat seni rupa dan politik ketika dipamerkan dalam Pameran Seni Rupa Seniman Muda di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada Desember 1979. Lukisan itu disita polisi dan Hardi ditahan selama tiga hari di rumah tahanan Pelaksana Khusus Daerah Jakarta Raya, bagian dari Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang dibentuk Presiden Soeharto setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Di masa itu, ketika Soeharto dipilih terus-menerus sebagai presiden selama 30 tahun oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat tanpa ada calon tandingan, menyinggung-nyinggung presiden adalah tindakan haram. Apalagi upaya menawarkan presiden alternatif, meskipun dalam bentuk gambar parodi seperti yang dilakukan Hardi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kini, 45 tahun kemudian, gambar itu masih diperbincangkan. Karya ini menjadi menu utama pameran “Jejak Perlawanan ‘Sang Presiden 2001’ Tribut untuk Hardi (1951-2023)” yang berlangsung selama 10-26 Januari 2025. Ruangan paling belakang gedung galeri ini menjadi tempat untuk mengenang karya tersebut.

Pameran “Jejak Perlawanan 'Sang Presiden 2001' Tribut untuk Hardi (1951-2023)” di Galeri Nasional, Gambir, Jakarta, 14 Januari 2025. Tempo/Charisma Adristy

Separuh ruangan itu menyajikan rekonstruksi ruang kerja Hardi. Di sana terpajang berbagai perkakas Hardi untuk melukis, seperti easel atau papan penjepit kanvas yang berdiri dengan sebuah gambar sketsa di atas kanvas, kursi kayu, beberapa botol cat, blangkon Jawa, dan dua beskap. Sisa separuh ruangan diisi koleksi buku dan katalog pameran yang berhubungan dengan Hardi serta dua karya cetak saring berwajah Hardi berlatar merah dan hijau.

Salah satu ruangan adalah ruang multimedia interaktif yang memampangkan sebuah layar besar pada dinding yang memproyeksikan gambar Presiden RI Th. 2001: Suhardi dalam skala besar, hampir memenuhi tembok. Di pojok kanan bawah dekat layar itu ada sebuah aplikasi untuk merekam wajah pengunjung yang akan diolah dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan ditampilkan pada layar. Wajah pengunjung secara otomatis akan menggantikan wajah Hardi dalam gambar itu. Aplikasi ini mirip dengan aplikasi penukar wajah (face swap) yang banyak tersedia untuk telepon seluler pintar, seperti Reface dan Face Swap di ponsel Android. Permainan ini cukup ramai. Banyak pengunjung yang antre mendapatkan Presiden RI Th. 2001: Suhardi bergambar wajah mereka pada Kamis, 9 Januari 2025.

Pameran ini sekaligus digelar untuk mengenang setahun wafatnya Hardi. Seniman yang lahir di Blitar, Jawa Timur, 26 Mei 1951, ini meninggal pada usia 72 tahun, 28 Desember 2023. Dia belajar melukis di Sekolah Tinggi Seni Rupa “ASRI”, Yogyakarta, tapi dipecat gara-gara memprotes keputusan juri Pameran Besar Seni Lukis Indonesia di TIM pada 1974 yang memenangkan lukisan figuratif karya A.D. Pirous, Aming Prayitno, Widayat, Irsam, dan Abas Alibasyah. Dia kemudian melanjutkan studi di Akademi Seni Rupa Jan van Eyck di Belanda. Hardi dikenal sebagai anggota Gerakan Seni Rupa Baru bersama seniman Yogyakarta dan Bandung seperti F.X. Harsono, Bonyong Munni Ardhi, Siti Adiyati, dan Jim Supangkat.

Pameran ini berupaya menampilkan perkembangan kesenian Hardi. Dio Pamola Chandra, dosen seni rupa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta, dan kurator pameran ini, menampilkan 78 karya yang terdiri atas 69 lukisan dan sketsa, 5 kujang keris, serta 4 keris Hardi. Lukisan itu diambil dari dua koleksi Galeri Nasional dan 50 koleksi keluarga serta sisanya dari koleksi Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan E.Z. Halim, pengusaha dan kolektor seni pendiri E.Z. Halim Art Museum.

Lukisan "Senopati Hing Alogo Prabowo Subianto Hanyokrokusumo" (2018) karya Hardi. Tempo/Charisma Adristy

Dio menyajikannya dalam beberapa kelompok, seperti kelompok karya yang menggambarkan kritik sosial-politik, lanskap, figur perempuan, dan budaya. Dio menyiapkan pameran ini dalam waktu kurang dari dua pekan untuk mengisi kekosongan ruang pamer setelah Galeri Nasional membatalkan pameran seniman senior Yos Suprapto, yang rencananya digelar mulai pertengahan Desember 2024 hingga 26 Januari 2025.

Dio menjelaskan, pameran ini merupakan penghormatan yang digelar tidak hanya untuk mengenang Hardi, tapi juga menganalisis kembali jejak perjalanan sang seniman. Menurut dia, sebagai seniman yang hidup dalam tekanan sosial-politik masa Orde Baru, Hardi memanfaatkan celah seni sebagai alat perlawanan yang tak bisa diredupkan oleh tekanan dan pengekangan. Dalam setiap guratan kuasnya, Hardi mengangkat kegelisahan kolektif masyarakat dan menyuarakan protes yang eksplisit terhadap ketidakadilan dan ketertindasan.

“‘Perlawanan’ pada pameran ini tidak berarti tentang kesukaan atau ketidaksukaan Hardi, tapi semua karyanya dibaca sebagai jejak perlawanan, sebagai warisan,” kata Dio pada Selasa, 14 Januari 2025. Ini termasuk bagaimana Hardi menggambarkan Presiden Prabowo Subianto sebagai senapati dalam lukisan akrilik Senopati Hing Alogo Prabowo Subianto Hanyokrokusumo (2018).

Penulis seni rupa Agus Dermawan T. menyebut Hardi sebagai pelukis yang dipenuhi berbagai hasrat dan menyusuri banyak tema yang melintas ke mana-mana. “Tapi karyanya membawa kekhasan karakternya,” ucapnya dalam katalog pameran.

Hardi juga mengangkat tema korupsi dalam karyanya. Salah satu karya yang dipamerkan adalah lukisan akrilik di atas kanvas, Sang Koruptor (1986). Lukisan ini menggambarkan seorang lelaki berjas, berdasi, berpeci hitam, dan berkacamata yang sedang nyengir memamerkan gigi. Tangannya menggenggam sebuah kantong hitam. Di belakangnya, ada sosok perempuan dengan celana dalam dan kutang merah membayangi. Wajah kedua sosok itu digores-gores dengan sapuan cat sehingga tampak kabur.

Di sebelahnya, terpajang dua lukisan akrilik di atas kertas yang menggambarkan dua sosok berpeci, berjas, dan berselempang kuning dengan tanda jasa atau bintang memenuhi jas. Wajah keduanya seperti badut. Ini semacam parodi untuk pemimpin korup. Salah satu lukisan yang menampilkan figur kurus berjas penuh tanda jasa itu diberi tajuk Jas Kekuasaan, sementara lukisan sosok yang agak berisi dijuduli Jas Kebesaran.

Ada pula lukisan Politisi Haus Kekuasaan yang menggambarkan sosok berjas, berselempang, dan menyandang banyak bintang tanda jasa di dada. Di belakang pundaknya, ada gambar burung garuda yang mencengkeram pita bertulisan “Bhineka Bhineka”.

Lewat lukisan WC Umum (2011), Hardi mengkritik Dewan Perwakilan Rakyat. Lukisan itu menggambarkan sebuah bangunan mirip “gedung kura-kura DPR” dan gedung tinggi di sebelahnya yang temboknya ditulisi “Majelis Persyahwatan Rakyat, Dewan Parasit Rakyat, Dewan Pengangguran Daerah” dengan latar gedung-gedung pencakar langit di kejauhan.

Lukisan "WC Umum" (2011) karya Hardi. Tempo/Charisma Adristy

Di latar depannya, ada sederet orang yang tampak sedang berpikir di atas toilet duduk dalam posisi mirip dengan The Thinker karya Auguste Rodin. Di sisi kanan, berdiri badut berbaju merah polkadot dan bertopi berbentuk mirip gedung DPR. Imaji kompleks parlemen dengan “gedung kura-kura” serta badut dan orang yang buang hajat juga ditampilkan dalam Aku Marah padamu Wakil Rakyat (2011). Gambar-gambar itu menjadi latar potret diri Hardi yang berjas biru dan memegang keris. Di pojok lukisan itu tercantum tulisan “aku marah padamu wakil rakyat”. Karya ini adalah wujud kemarahan Hardi terhadap penyimpangan wakil rakyat pada 2011. Pameran ini menampilkan video yang menggambarkan Hardi saat berdemonstrasi dan melukis di depan pagar gedung DPR di Senayan ketika menggambar lukisan tersebut. Saat itu DPR menganggarkan Rp 6,2 miliar untuk merenovasi ruang kerja dan Rp 1,4 miliar buat memperbaiki toilet.

Ada pula deretan tiga lukisan akrilik di atas kertas yang juga mengkritik DPR. Lukisan bertulisan “tolak revisi UU KPK” dengan gambar orang berwajah ganda dan berkepala tiga serta berkumis mirip tikus sedang memegang dua pundi uang berada di paling kiri. Di tengah, dipajang lukisan badut berwajah tiga dengan topi “gedung kura-kura DPR” bertulisan “wakil partai 2019”. Di paling kanan, ada gambar orang berwajah tiga, berpeci hitam, berjas hitam, dan berdasi dengan selempang bertulisan “pansus panik anti-KPK”.

Pameran ini juga menunjukkan beberapa lukisan yang mengangkat tema kemiskinan yang lama diusung Hardi. Salah satunya Republik Orang Miskin (2000) yang menggambarkan seorang laki-laki dengan tatapan mata kosong sedang duduk menopangkan tangan pada lutut. Ia seperti tengah menunggu sesuatu yang dimasak di atas kompor dengan sebilah sabit di samping kakinya. Di belakangnya, di kejauhan, terlihat fondasi Sosrobahu untuk jalan layang yang sedang dibangun.

Adapun lukisan akrilik di atas kanvas Tukang Becak Sukamiskin (1986) yang didominasi warna kuning menggambarkan para pedagang asongan yang lari tunggang-langgang dikejar satuan polisi pamong praja. Karya lain yang cukup menyentuh adalah Asian Children Calling yang menampilkan lima figur anak-anak berkaus putih yang tampak bersih dengan salah seorang di antaranya menggenggam telepon seluler. Kontras dengan gambar itu, ada foto hitam-putih sesosok anak yang kurus dengan tulang dada menonjol di latar tapi mendominasi dalam lukisan ini. Anak kurus itu seperti berada di sebuah tempat barang rongsokan dan sedang menimbang barang tersebut. Kurator juga menghadirkan beberapa potret diri dan figur wayang serta sosok perempuan, termasuk sejumlah gambar penjual jamu gendong.

Hardi tertarik pada lukisan potret. Dia banyak menggambar potret tokoh. Selain menggambar Prabowo Subianto, dia melukis Abdurrahman Wahid yang berkostum seperti pakaian raja Jawa lengkap dengan perhiasan emas dan keris sedang duduk dengan tangan terjalin di depan perut. Di belakangnya, ada rumah ibadah beragam agama. Dia memberinya judul Kanjeng Gusti Abdurrahman Wahid Senopati Khalifatullah Panotogomo Ing Nusantoro.

Hardi juga menyajikan potret tokoh dalam Never Ending Story (2005), lukisan berukuran 100 x 200 sentimeter yang dibagi dalam tiga bagian. Bagian kiri lukisan menampilkan potret Soeharto dalam pakaian kebesaran dengan berbagai lencana di dada. Di sebelah kanan, ada potret Pramoedya Ananta Toer. Adapun bagian tengahnya menggambarkan buku-buku Pramoedya yang terlarang, seperti Bumi Manusia dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.

Dalam sambutannya pada pembukaan pameran, Kamis malam, 9 Januari 2025, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan Hardi adalah pelukis yang sangat kreatif dan kritis. “Sering kali beliau berani mengkritik, karena begitu lugas dalam menyampaikan kritik,” ujarnya. Menurut dia, sosok Hardi mengajarkan kepada kita bahwa seni adalah alat untuk menyuarakan keadilan, menggerakkan perubahan, dan membangun peradaban yang lebih manusiawi.

Fadli mengaku mengoleksi sekitar 70 lukisan Hardi selama 20 tahun. “Tapi Pak Halim lebih banyak, tuh,” katanya mengacu pada E.Z. Halim sambil menengok-nengok lukisan yang dipamerkan, lalu tertawa.

Menurut Fadli, karya Hardi bermuatan kritik. Kebebasan mengungkapkan kritik melalui karya, dia mengungkapkan, dilindungi undang-undang. Tapi jika tujuannya adalah mencari sensasi atau kehebohan, dia melanjutkan, hal itu bukanlah kebebasan. Dia mengaku tak ada masalah dengan polemik atau kritik melalui karya seni dan menilainya sebagai vitamin.

Meski demikian, Fadli menegaskan, tetap ada otoritas dan batasan dalam sebuah pameran, yakni kurator atau galeri. Dia mencontohkan, ada batasan pemasangan lambang Swastika di Jerman dan budaya untuk Indonesia. “Tentu saja semestinya juga ada batas-batas, bukan dalam soal kritiknya, tapi di mana pun saya kira ada limitasi,” tutur Fadli, yang enggan menguraikan lebih lanjut batasan kekritisan seniman.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Iwan Kurniawan berkontribusi dalam artikel ini. Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Presiden Hardi 45 Tahun Kemudian".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus