Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BI Rate turun dari 6 persen menjadi 5,75 persen.
Nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sudah merosot 5,74 persen.
Konsumen bisa tercekik bunga lebih tinggi setelah BI Rate turun.
BANK Indonesia membuat keputusan berani, atau mungkin termasuk nekat. Pada Rabu, 15 Januari 2025, BI menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate dari 6 persen menjadi 5,75 persen di tengah gejolak pasar global dan menguatnya dolar Amerika Serikat. Tindakan ini berlawanan dengan ekspektasi pasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di satu sisi, penurunan BI Rate dapat mempercepat pelarian modal dari Indonesia dan membuat kurs rupiah, yang sudah babak-belur, makin tertekan. Dalam tiga bulan terakhir, hingga Jumat, 16 Januari 2025, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat merosot 5,74 persen. Harga US$ 1 nyaris menyentuh Rp 16.400, makin jauh dari batas psikologis Rp 16 ribu per dolar.
Penurunan BI Rate terasa bertolak belakang dengan berbagai upaya BI tiga bulan terakhir. Sejak Presiden Prabowo Subianto memerintah, BI berusaha habis-habisan mempertahankan kurs rupiah lewat berbagai operasi pasar. Di antaranya memborong obligasi pemerintah, melakukan intervensi langsung di pasar valuta asing, bahkan menerbitkan dua instrumen berbunga tinggi agar dana investasi portofolio milik investor global mau tinggal di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua instrumen itu, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), makin gendut menampung dana investor. Per 31 Desember 2024, total nilai dana yang masuk ke SRBI mencapai Rp 923,53 triliun. BI belum mengeluarkan data mutakhir SVBI hingga akhir 2024. Per akhir November 2024, dana yang masuk ke SVBI sudah mencapai US$ 3,54 miliar. Sementara itu, hingga 15 Januari 2024, total nilai obligasi pemerintah yang disetor mencapai Rp 1.549 triliun.
Angka-angka dengan magnitudo yang amat besar itu menunjukkan betapa agresif BI melakukan operasi pasar untuk mempertahankan nilai rupiah. Itu sebabnya pasar finansial benar-benar tersentak kaget ketika BI menurunkan bunga. Ibarat sopir bajaj, BI langsung berputar balik tanpa aba-aba. Arah kebijakannya berubah dari menjaga rupiah lewat operasi pasar dalam skala besar menjadi “mengorbankan” rupiah demi mengejar pertumbuhan.
Secara teori, penurunan BI Rate memang bisa mendorong ekonomi bergerak lebih cepat. Itu akan terjadi jika berbagai bunga pinjaman dari perbankan segera ikut segera turun sehingga baik korporasi besar maupun bisnis kecil-menengah dapat menikmati biaya modal lebih murah. Daya beli konsumen juga berpotensi menguat karena bunga kredit menurun.
Masalahnya, acap kali teori tak sesuai dengan kenyataan. Di Indonesia, ada banyak soal yang menentukan naik-turunnya bunga pinjaman perbankan. Pergerakannya tidak selalu mengikuti BI Rate sebagai acuan. Ketika BI Rate turun, umumnya bank tak serta-merta menurunkan bunga pinjamannya.
Contoh mutakhir malah menunjukkan pergerakan bunga yang berlawanan arah. Rata-rata bunga kredit konsumsi, yang berpengaruh besar pada daya beli konsumen, justru naik setelah BI menurunkan BI Rate pada Agustus 2024. Menurut data BI, suku bunga kredit konsumsi pada saat itu 8,98 persen per tahun di bank badan usaha milik negara dan 10,37 persen di bank swasta nasional. Per akhir November 2024, bunga itu malah naik menjadi 9,11 persen dan 11,41 persen.
Walhasil, konsumen justru tercekik bunga lebih tinggi setelah BI Rate turun. Alih-alih menaikkan daya beli dan mendorong pertumbuhan, efek penurunan BI Rate yang lebih dulu terasa justru yang negatif, yakni tekanan yang makin berat pada rupiah karena investor meninggalkan Indonesia.
Penurunan nilai rupiah dengan cepat memicu efek berantai yang amat panjang pada pemerintah, korporasi, ataupun konsumen. Baik pemerintah maupun korporasi harus menyediakan rupiah lebih besar untuk membayar cicilan dan bunga utang luar negeri. Berbagai bahan baku impor akan lebih mahal sehingga menurunkan profit industri. Konsumen juga terkena dampak naiknya harga barang-barang impor. Singkat kata, merosotnya kurs rupiah akan menimbulkan impor inflasi.
Agar nilai rupiah tak anjlok, BI sepertinya tak punya pilihan lain: terus melakukan operasi pasar dengan agresif. Dewan Gubernur BI tampaknya yakin bakal mampu berenang melawan arus di sungai yang sedang banjir bandang. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo