Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jejak Perlawanan Pelukis Hardi

Karya grafis "Presiden RI Th. 2001: Suhardi" disita aparat keamanan di masa Orde Baru. Bagaimana penyitaan terjadi?

18 Januari 2025 | 14.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pelukis Hardi (kiri) saat pembukaan pameran lukisan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1986. Dok. Tempo/Ilham Soenharjo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Karya grafis Presiden RI Th. 2001: Suhardi disita aparat keamanan di masa Orde Baru.

  • Hardi juga pernah mendekam di tahanan Laksusda Jaya gara-gara memamerkan karya itu di TIM.

  • Penyitaan karya itu sebenarnya berawal dari patung yang tergantung di atap Planetarium.

RADEN Soehardi Adimaryono, yang biasa disapa Hardi, dikenal sebagai pelukis abstrak atau semi-abstrak. Ia menampilkan tiga lukisan dalam Pameran Besar Seni Lukis Indonesia pada Desember 1974. Dua lukisannya berupa lukisan abstrak atau nonfiguratif yang menggarap tekstur dan sebuah lukisan figuratif Affandi Bertoga—kritiknya terhadap pelukis Affandi yang baru menerima gelar doktor kehormatan dari University of Singapore.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juri memberikan hadiah kepada sejumlah seniman atas karya mereka dalam pameran itu yang juri sebut “lukisan yang baik”. Hardi bersama beberapa seniman Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung memprotes penilaian juri itu sebagai “kematian seni lukis” melalui Pernyataan Desember Hitam. Hardi adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Rupa “ASRI”, kampus yang nantinya menjadi Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Seusai peristiwa itu, Hardi dan beberapa rekannya dipecat atau mengundurkan diri dari kampus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hardi bersama seniman Yogyakarta dan Bandung kemudian membentuk Gerakan Seni Rupa Baru pada 1975. Kritik terhadap gerakan ini pada masa itu adalah bahwa pandangan mereka merupakan penodaan dan upaya merobohkan kebudayaan nasional, condong pada dehumanisasi seni, ekspresinya dangkal, serta hasil pendidikan yang belum selesai.

Mereka lalu menggelar Pameran Seni Rupa Baru Indonesia pada Agustus 1975. Hardi menampilkan lima karya: 3 kolase guntingan koran, 1 lukisan cat minyak pada kanvas, dan 1 instalasi. Instalasi itu berupa kanvas dengan lumuran cat dan sebuah sangkar burung yang ditempelkan pada kanvas lengkap dengan burung merpati hidup. Lukisan cat minyak Monalisa menggambarkan empat Mona Lisa karya Leonardo da Vinci dengan figur pria dan wanita yang terkesan sedang berhubungan intim di bawahnya. Karya-karya tersebut menyiratkan kritik sosial, dari kesenjangan kaya-miskin, terkurungnya kebebasan, hingga gaya hidup hedonistik kaum penguasa dan kaya. Tema-tema inilah rupanya yang menjadi perhatiannya dan itulah yang ia bawa ke Akademi Seni Rupa Jan van Eyck di Maastricht, Belanda, ketika mendapat beasiswa kuliah seni grafis dan fotografi di sana.

Di negeri seberang, Hardi bertemu dengan Mao 91, 1972 karya Andy Warhol, sebuah karya grafis berukuran besar dengan wajah Mao Zedong, Ketua Partai Komunis Cina. Hardi mengaku sangat terkesan oleh karya Warhol itu. Karya grafisnya yang paling terkenal, Presiden RI Th. 2001: Suhardi, terinspirasi Mao-nya Warhol. Karya yang dibuat pada 1979 itu bukan hanya sebuah kritik sosial, tapi sudah masuk ke ranah kritik politik yang menyinggung kekuasaan.

Karya cetak saring Hardi itu dibikin oleh Syakir, pembuat poster-poster acara di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Hardi mencetak 25 lembar untuk Pameran Seni Rupa Baru Indonesia pada Agustus 1979. Hampir seluruh proses pencetakan ia serahkan kepada Syakir. Medianya pun kertas yang biasanya digunakan untuk poster di TIM yang berukuran A2 atau sekitar 40 x 60 sentimeter. Bahkan Syakir punya andil dengan mengubah teks, dari semula “2000” menjadi “2001”—tahun ketika Hardi akan berusia 50.

Pameran lukisan koleksi Hardi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1986. Dok. Tempo/Ilham Soenharjo

Karya itulah yang diperkarakan aparat keamanan. Tak hanya membuat nama Hardi, yang saat itu 28 tahun, makin populer, hal tersebut juga membuktikan bahwa persepsi terhadap karya seni rupa beragam. Keberagaman itu bergantung pada pengalaman dan peran penonton. Dalam pameran tersebut, lukisan itu tampaknya dilihat oleh pengunjung, ya, seperti karya-karya lain. Pengunjung itu termasuk Menteri Perhubungan Marsekal Tentara Nasional Indonesia (Purnawirawan) Roesmin Noerjadin dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jenderal TNI (Purnawirawan) Surono Reksodimedjo.

Namun, dalam Pameran Senirupa Seniman Muda di Galeri Baru TIM, empat bulan kemudian, karya itu dipersoalkan oleh aparat keamanan Komando Daerah Militer Jayakarta (Kodam Jaya). Persoalan ini tidak berawal dari karya itu sendiri, melainkan masalah lain, yaitu patung di atap kubah Planetarium.

Pameran dibuka pada Selasa, 4 Desember 1979. Kehebohan terjadi esok paginya, ketika orang-orang melihat sesosok patung tergantung di penangkal petir kubah Planetarium. Makin siang, makin banyak orang berkerumun, termasuk anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan manajer TIM.

Entah dari mana sumbernya, ada yang mengatakan patung itu mirip Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, penggagas Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan yang melarang kampus dan mahasiswa berpolitik praktis. Ada juga yang menyebutkan itu representasi Ayatollah Khomeini, pemimpin Revolusi Islam Iran yang baru menggulingkan Shah Iran Reza Pahlavi. Dari bawah, tampak patung itu berselubung kain hitam, sementara revolusi Iran dikenal, antara lain, lewat bendera hitam Qom, bendera pasukan Khomeini.

Menurut penjelasan anggota DKJ, patung itu karya peserta pameran. Direktur Planetarium Darsa Soekartadiredja meminta TIM menurunkannya karena Planetarium bukan bagian dari ruang pameran, meskipun kedua gedung berdampingan. Pihak TIM mengatakan penurunan karya itu harus seizin senimannya.

Menjelang siang, petugas Komando Rayon Militer TIM datang bersama aparat Kodam Jaya dan hendak masuk ke ruang pameran karena melihat ada tali terjulur dari patung menuju ruang pameran. Mereka melihat-lihat karya yang dipamerkan dan tertegun di depan sebuah patung berwujud kerangka manusia berwarna hitam, tengkoraknya berbalut kain merah-putih, kakinya terbelenggu rantai yang digembok, dan di barisan tulang iganya tergantung kertas kuning bertulisan “apa-apa serba diatur”. Petugas juga mengamati karya Hardi yang dipasang sebagai instalasi berupa delapan tikar digantung dan tiap tikar ditempeli tiga karya grafis tersebut. Ada tulisan berbau komentar sosial-politik yang dalam pameran sebelumnya tidak ada, seperti “ibu kota pindah ke Papua” dan “memberantas korupsi, ganti pemerintahan”.

Aparat menilai dua karya itu tak layak dipamerkan dan hendak dibawa ke Kodam Jaya. Pihak TIM dan DKJ menyatakan mereka harus meminta persetujuan seniman yang membuatnya, yang sedang mereka cari. Hingga sore, mereka tak menemukan seniman itu. Petugas lalu mengambil paksa karya Hardi, sementara patung kerangka diselamatkan petugas TIM ke gudang. Adapun patung di atap Planetarium diturunkan oleh tim pencarian dan pertolongan (SAR).

Kamis pagi, seorang anggota Bengkel Teater, yang serumah dengan Hardi, mengabarkan bahwa pada tengah malam Hardi diciduk dan ditahan dengan tuduhan makar oleh Pelaksana Khusus Daerah Jakarta Raya (Laksusda Jaya), bagian dari Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang dibentuk Presiden Soeharto setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Dia dibebaskan tanpa syarat tiga hari kemudian atas permintaan Wakil Presiden Adam Malik. Karyanya yang disita pun dikembalikan, bahkan beberapa dibeli Laksusda Jaya.

Itulah “jejak perlawanan” seorang Hardi. Ia mengkritik ketidakadilan, pemberangusan kebebasan, dan pemilihan presiden yang praktis tanpa calon alternatif di masa Orde Baru. Karya Presiden RI Th. 2001: Suhardi diperkarakan karena dilihat setelah ada kasus patung di atap Planetarium, padahal tak ada masalah apa pun ketika dipamerkan di tempat lain sebelumnya. Setelah ia dibebaskan dari tahanan Laksusda Jaya, karya ini pun tidak lagi dipersoalkan. Riwayat “perlawanan” ini memunculkan pertanyaan yang sulit ditemukan jawabnya: apakah Hardi akan setuju bila karyanya itu kini dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, setelah kasus pembatalan pameran Yos Suprapto di galeri tersebut sekitar dua pekan sebelumnya? â—Ź

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bambang Bujono

Bambang Bujono

Pelukis dan penulis ulasan seni

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus