GIGI sudah kian manja dan mengenal salon. Tengok saja di lantai dasar Rumah Sakit MMC (Medical Metropolitan Centre), Kuningan, Jakarta Selatan. Di ruangan 100 m2 berdiri sebuah dental salon. Kenyamanan di sini bahkan bagai mengempiskan sakit gigi para pasien. Ruang tunggunya yang sejuk didominasi warna hitam putih, mirip kamar tamu sebuah rumah kelas menengah. Sofa empuk bercorak kembang-kembang besar dan empat lukisan berpigura putih bersatu bersama lantai putih yang di sudut-sudutnya diberi aksen hitam. Sambil periksa gigi, pasien juga bisa menikmati tayangan video. Lima dokter giginya wanita, tanpa seragam serba putih. Seperti rekannya yang lain, Hilly Gayatri, pemilik salon itu, menerima pasien dengan setelan celana panjang, dan blus warna lembut. Bulu mata bunda empat anak yang lebat ini dipoles maskara hijau. Kebanyakan pasien meminta jasa cosmetic-esthetic dentistry. Karena ingin cantik itulah, Hilly menamai tempat ini "salon". Sedikit yang datang dengan keluhan sakit gigi. Selebihnya, para pasien kemari meminta giginya dipercantik: ada deretan giginya tonggos atau giman (gigi mancung), sebagian patah, dan copot, malah ompong. "Padahal, gigi bagus membuat senyum indah, dan memberi rasa percaya diri," ujar Hilly, yang berkulit putih itu. Idealnya berupa kombinasi sempurna antara rahang, gigi, dan jaringan lunak muka (bibir dan pipi). Seperti untuk merawat wajah serta cuci rambut di salon, ada juga yang datang hanya membersihkan gigi. "Saya mau ke luar negeri, gigi saya dicuci dulu, dong," ujar Hilly, menirukan pasiennya. Kebanyakan pasien Hilly memang orang terpandang. Ini terlihat dalam pajangan kanvas bertanda tangan si pasien -- antara lain tekenan para pejabat tinggi negara, duta besar, direktur bank, artis. Komposisi pasien, 80% wanita dewasa serta anak-anak, dan sisanya pria. Sama dengan Hilly, juga dialami Wiradidjaja Adiwoso yang biasa dipanggil Nuning. Tamatan Vrije Universiteit Amsterdam ini buka praktek di Jakarta Dental Clinic, The Medical Scheme, dan RS Pondok Indah. Menurut Nuning, pasien banyak yang berminat pada keindahan gigi. Delapan bulan terakhir ini 70% pasien, kelas menengah dan atas, minta perawatan keindahan gigi. Yang mendatangi bengkel gigi ini terutama mereka yang kerjanya berkait dengan banyak orang, misalnya pegawai kantor public relations, bank, sekretaris. Ada yang meminta dokter memutihkan gigi yang kuning atau abu-abu. Bila tak terlalu parah, bisa di-bleaching. Kalau sudah pekat, dibuatkan veneer, yaitu semacam pelapis tipis dari bahan porselen atau komposit. Perawatan semacam ini tidak menimbulkan rasa sakit. "Di Amerika Serikat, cosmetic esthetic dentistry ini sudah ngetrend lima tahun lalu," kata Nuning. Sekarang, gigi tidak lagi dilihat dari fungsinya, tapi dari keindahannya -- terutama untuk gigi depan yang segera dilihat oleh lawan bicara. Nuning yang bertubuh kecil itu lalu memperlihatkan contoh seorang bermuka lebar dengan deretan gigi yang datar. "Kalau seperti ini kesannya akan memperlebar muka," katanya. Karena itu, deretan gigi di rahang atasnya diubah berbentuk huruf V, sehingga senyumnya lebih tertarik ke atas, dan kesan wajahnya jadi lebih lancip. Caranya dengan mengikir atau memasang kawat. Memang, keluhan pasien juga berbeda. Tak kurang pasien bergigi jarang minta giginya diisi. Alasannya, bahkan ada yang berkait dengan kepercayaan: gigi jarang ini tidak bawa "hoki" alias rejekinya seret. Keluhan lain, gigi terlalu panjang. Dokter lalu mengikirnya. Permintaan lain adalah meratakan gigi, atau mengganti bentuknya. Di samping itu, kemajuan lain dalam kecantikan gigi ini adalah teknik implantologi, penanaman gigi palsu. Di dalam gusi, dokter bisa memasang titanium, yaitu logam yang biasa dipakai sebagai kulit pesawat ulang-alik dan roket. Fungsi benda semacam sekrup ini sebagai tiang pancang deretan gigi palsu. "Jadi, gigi bisa langsung ditanam di gusi," kata Nuning, yang pernah ikut kursus implantologi di New York. Untuk yang indah itu dibutuhkan isi kocek tebal. "Bagi kita di Indonesia, cosmetic dentistry memang masih mahal," kata Nuning. Umpamanya pelapis dari bahan porselen berharga Rp 200 sampai Rp 300 ribu per gigi. Sedangkan Dokter Hilly -- alumnus Gemeente Universiteit Amsterdam -- yang disebut tadi, juga memasang jaket (selongsong) gigi porselen untuk gigi yang tak bisa ditambal lagi, bridge -- mengisi kekosongan antara dua gigi serta implantasi. Sementara ini, proses implantasi agak lama karena penyangga titaniumnya dipesan langsung ke San Diego, Amerika Serikat. Di Singapura, kalau di klinik pemerintah, satu sekrup titanum dijual lebih kurang Rp 900 ribu. Harga itu cepat melompat empat kali lipat di klinik swasta. Padahal, satu rahang perlu enam sekrup. Servis implantasi gigi bahkan salah satu jasa yang ditawarkan oleh Klinik DMC (Dental Medical Centre), di Skyline Building, Jalan Thamrin, Jakarta. Menurut Dr. Adhi Sulaeman, D.D.S., pemimpin DMC, pencabutan dan implantasi gigi merupakan jalan terakhir. Itu kalau upaya perbaikan gigi menghadapi jalan buntu. Dasarnya ada. "Kami berkewajiban mempertahankan gigi pasien," ujar doktor lulusan Jepang itu. Seandainya kondisi gigi pasien benar-benar tak bisa ditolong lagi, pencabutan harus dilakukan dan implantasi bisa disarankan. Tanpa implantasi gigi palsu -- atau tindakan sejenis -- pipi akan kendur alias kempot. "Kita akan tampak 10 tahun lebih tua," tuturnya. Kendati Adhi enggan kliniknya itu disebut salon, suasana di DMC memang ada miripnya seperti situasi salon. Di ruang tunggunya yang wangi, ada hiasan bunga-bunga kering yang mahal, patung, dan boneka model Jepang. Sedang tentang penyediaan fasilitas, agaknya, belum ada kursi salon di Jakarta yang menandingi kursi pasien di DMC. Empat kursi periksa yang disediakan di situ, kata Adhi, masing-masing harganya Rp 100 juta. Nah. Bunga Surawijaya dan G. Sugrahetty Dyan K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini