Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Amandel, operasi atau tidak

Pro & kontra operasi amandel (tonsilektomi). Menurut Prof. Rizal Basjrah Lubis, bila tonsil sudah tak bisa menghadapi kuman, setelah diobati tetap tidak sembuh, baru dioperasi. Ada dokter berpendapat lain.

18 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH sering ada anggapan bahwa seorang anak bodoh gara-gara amandel. Karena itu, banyak orangtua minta agar dokter membuang amandel anak-anak mereka dengan alasan ada pembesaran amandel pada anak-anaknya. Sikap ini, menurut Profesor Rizal Basjrah Lubis, tidak tepat. Pendapat tadi disinggungnya ketika Rizal mengucapkan pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas Sumatera Utara, Medan, 4 November silam. "Saya," katanya, "selalu berusaha menjelaskan bahwa pembesaran amandel (tonsil) tidak selalu pembengkakan." Jika pada dasarnya besar, tonsil yang besar itu lebih baik ketimbang yang kecil. Amandel yang besar mempunyai pori-pori yang besar pula, sehingga angin leluasa keluar masuk. Kondisi ini justru mengurangi kemungkinan infeksi. "Bila tonsil sudah tak bisa menghadapi kuman, setelah diobati tetap tidak sembuh, baru dioperasi," kata Rizal kepada Irwan Siregar dari TEMPO. Kalau belum waktunya dioperasi, pengambilan amandel, menurut Rizal, justru akan menimbulkan kerugian lebih besar daripada keuntungannya. Pasalnya, operasi amandel, atau tonsilektomi, selalu mempunyai risiko. Dalam pidato pengukuhannya itu Rizal secara khusus mengemukakan hasil evaluasinya tentang risiko operasi amandel. Keluhan pasca-operasi amandel biasanya berupa penyakit hidung dan tenggorokan yang menahun. Selain keluhan-keluhan ini, muncul gangguan psikis. Misalnya, menurunnya nafsu makan dan berkurangnya gairah bekerja atau belajar. Pada anak-anak, justru rapor mereka jadi jelek setelah operasi ini. Ia mengemukakan kesimpulan ini setelah mengevaluasi 548 pasien yang menjalani tonsilektomi di RS Pirngadi, Medan. Dari 548 pasien itu, 198 menderita gangguan pasca-operasi. Beberapa keluhan utama ialah, sering pilek, bersin, dan hidung tersumbat: 47,47%. Sedangkan yang sering batuk dan merasa tenggorokannya kering, 36,36%. Dengan mempertimbangkan risiko pasca-operasi itu, Rizal cenderung menempatkan tonsilektomi sebagai jalan terakhir. Namun, ia mengakui, para dokter masih berbeda pendapat dalam menangani amandel. Ada yang berpendapat operasi sebaiknya tak terburu dilakukan, karena terdapat sejumlah antiobiotik untuk menyembuhkan amandel yang terkena infeksi ringan. Tapi ada pula yang cenderung melakukannya. Sebaliknya Dina Machdi. Ia malah melihat manfaat tonsilektomi. Kata ahli alergi dari RS Dr. Soetomo Surabaya ini, tonsilektomi justru bisa mengurangi alergi. Kesimpulan yang didapat Dina dari sebuah evaluasi ini kemudian diungkapkan dalam Simposium Alergi dan Imunologi Asia Pasifik di Bali akhir Oktober silam. Ia mengamati 36 penderita alergi yang menjalani tonsilektomi. Semuanya (21 wanita dan 15 pria) menderita alergi rinitis atau hidung dan asma bronkial. Mereka mengalami tonsilitis kronis (infeksi amandel akut) sehingga menjalani tonsilektomi. Dina memeriksa dan mencatat kondisi mereka -- sebelum dan sesudah operasi. Pemeriksaan meliputi pengukuran kadar imunoglobulin dalam darah yang merupakan penyebab utama alergi. Khususnya imunoglobulin E (IgE). Hasil pengamatannya menunjukkan frekuensi alergi penderita berkurang setelah menjalani tonsilektomi. Dibandingkan dengan sebelumnya, memang ada perbedaan bermakna. Frekuensi serangan alergi menurun. Menunjukkan angka perbedaan yang besar itu, Dina lalu mengutarakan ada yang skor sebelumnya 144, dan sesudah operasi menjadi 40. Ia menemukan kadar IgE dalam darah juga menurun tajam. Rizal kurang sependapat dengan Dina. Dengan mengutip hasil penelitian di luar negeri, ia mengutarakan bahwa tonsilektomi justru memperburuk keadaan pasien yang mempunyai latar belakang asma bronkial dan alergi rinitis. Tapi dr. Iwin Sumarman, ahli THT (telinga, hidung, tenggorokan) RS Hasan Sadikin, Bandung, malah cenderung membenarkan Dina. "Amandel yang meradang terus-menerus juga bisa meningkatkan alergi," katanya. "Maka, kalau dibuang, secara tidak langsung tentunya membebaskan pasien dari serangan alergi." Sedang ahli imunologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Profesor Subowo, berpendapat, alergi itu sebuah penyimpangan yang tak ada hubungannya dengan operasi amandel. Menurut Subowo, yang agak menurun setelah tonsilektomi adalah daya tahan tubuh. Tonsil adalah bagian dari sistem kekebalan tubuh menghadapi penyakit. "Amandel boleh dikata pos penjagaan di rongga mulut untuk menyaring berbagai makanan yang akan mengganggu tubuh," ujarnya. Pembuangan amandel juga tidak selalu membuat kekebalan tubuh merosot drastis. Menurut Subowo, sistem pertahanan tubuh di tempat lain akan melakukan kompensasi, begitu amandel dibuang. Jis, Wahyu Muryadi (Surabaya) dan Hasan Syukur (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus