Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Gunawan Maryanto: Seniman Harus Beradaptasi dengan Perubahan

Gunawan Maryanto, aktor Teater Garasi, Yogyakarta, dinobatkan sebagai aktor utama terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2020 untuk perannya dalam film The Science of Fiction. Kepada Tempo, ia berkisah tentang proses kreatifnya di film, teater, dan sastra, hingga kesehariannya selama masa pandemi.

12 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seniman Harus Beradaptasi dengan Perubahan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gunawan Maryanto, aktor Teater Garasi, Yogyakarta, dinobatkan sebagai aktor utama terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2020 untuk perannya sebagai Siman dalam film The Science of Fiction. Sebelumnya, tahun lalu, Cindil—begitu ia akrab disapa—meraih predikat Aktor Pilihan Tempo 2019 untuk film garapan Yosep Anggi Noen itu. Karya Anggi itu pun menjadi film terbaik pilihan Tempo. The Science of Fiction memang banyak mendapat apresiasi dalam berbagai festival di dalam dan luar negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Piala Citra itu dia terima sehari setelah ulang tahun Garasi, tempatnya bertumbuh selama 26 tahun, yang jatuh pada 4 Desember. ”Ini hadiah buat Teater Garasi, tempat saya tumbuh besar,” ujarnya kepada Dian Yuliastuti dari Tempo melalui panggilan aplikasi pesan pada Selasa, 8 Desember lalu. Dalam wawancara itu, pemeran penyair Wiji Thukul dalam film Istirahatlah Kata-kata itu berkisah tentang proses kreatifnya di film, teater, dan sastra hingga kesehariannya selama masa pandemi.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagaimana Anda merespons Piala Citra ini?

Ya, ini apresiasi dari dunia perfilman Indonesia atas capaian keaktoran saya. Ketika masuk nominasi saja sudah bersyukur, kaget, dan tidak menduga. Urusan menang siapa, subyektif juga. Tapi setidaknya itu tercatat, sebagai penanda. Saya di film kan belum lama, lebih banyak di teater bersama Teater Garasi. Nah, bersama Garasi, saya sudah cukup banyak mendapat penghargaan. Untuk peran di film baru, saya mendapat peran utama baru dua kali bersama Yosep Anggi Noen. Beberapa film bersama Dirmawan Hatta, Garin Nugroho, dan Ismail Basbeth.

The Science of Fictions banyak mendapat apresiasi, ya.

The Science of Fictions diputar di berbagai festival, beragam apresiasi dari sisi sinematik, isu, dan keaktoran.

Tapi baru Kamis lalu mulai diputar di bioskop Indonesia?

Harusnya diputar pada Maret lalu. Tapi, karena pandemi, belum bisa diputar. Strategi produser memang dihabisi dulu di luar, di festival. Di beberapa tempat pemutaran, sold out. Itu membanggakan. Belum lagi ketika mendapat special mention dari juri di kompetisi Festival Film Locarno. 

Berapa lama Anda mendalami karakter Siman?

Karakter Siman itu sudah mulai disiapkan pada 2013, sebelum film Istirahatlah Kata-kata. Sudah ngobrol sama Anggi (sutradara Yosep Anggi Noen). Jadi, punya waktu lama untuk mendalami karakter ini. Memang enggak intensif, diselang-seling dengan Wiji Thukul. Lalu syuting pada 2018.

Waktu pendalaman itu tergantung karakternya?

Pendalaman itu tergantung jarak teks dengan saya. Kalau teks dekat dengan lokasi, setting, atau isu, cepat. Kalau isunya jauh dari keseharian, biasanya butuh waktu. Ada yang cepat, ada yang lama. Untuk teater, pernah dari karya Yudi Ahmad Tajudin, Waktu Batu, itu butuh 3-4 tahun. Kalau karya saya, Repertoar Hujan, (pendalaman) itu (butuh) dua tahun.   

Butuh usaha keras untuk memerankan karakter Siman ini?

Lumayan. Saya mempelajari dulu isu, tema, dan pendekatan sinemanya seperti apa. Sebab, tokoh ini tidak ada dialog. Saya mengolah tokoh yang tidak berbasis teks. Kesempatan memakai bahasa nonverbal. Kemudahannya tidak harus menghafal dialog, melainkan mesti menghafal situasi dan emosi. Juga pakaian tebal dan lokasi syuting yang panas. Kalau pakaiannya nyaman, mungkin saya enggak bisa mendapatkan emosi itu, ha-ha-ha.

Apa adegan paling berat atau menantang?

Khusus adegan tidak ada. Tapi tantangannya terutama ketika perpindahan emosi, saat bertemu banyak peristiwa, tidak bisa bercerita dengan kata. Perubahan dia marah, emosi, dan sedih. Nah, bagaimana ini saya mengekspresikan keseluruhan. Siman itu jadi tontonan, jadi obyek penderita. Jadi tontonan dalam banyak bentuk, bisa diperalat, ditipu. Dia dinilai gila, aneh, dan unik. Tubuhnya penuh dengan luka, trauma yang ia ingin sampaikan. Itu tersublimasi ke dalam tubuh, emosi, dan rumah yang ia tinggali. Narasi pinggiran yang dihadirkan berlapis-lapis.

Bagaimana awalnya Anda ditawari bermain film?

Saya ditawari oleh Dirmawan Hatta dalam film Toilet Blues. Dirmawan juga anak Teater Garasi. Beda medium dan pola, jadi musti beradaptasi. Di teater kan linier, durasi dan mediumnya. Di film itu acak, tergantung lokasi, kesiapan produksi, dan waktu. Itu yang mesti saya adaptasi. Saya harus mendapat gambar besar untuk menyusun tangga dramaturgi, tidak dalam urutan linier. Di film, saya membayangkan penonton yang diwakili dengan kamera. Itu saya sadari.

Bagaimana penyesuaiannya?

Begitu gambar besar saya dapat, saya pahami teks, tinggal diingat-ingat, ini bagian saya. Ukuran saya seberapa besar, saya harus menyesuaikan. Bentuk kelenturan untuk beradaptasi lebih banyak. Lebih fleksibel di film. Soal dramaturgi, ya sama.

Sejak kapan Anda mulai tertarik pada teater?

Sebenarnya, sejak SD kelas V sudah ikut kelompok teater anak-anak yang dilatih Rudi Corens dari Belgia. Beliau dosen tamu di UGM dan ISI. Dari SD sampai SMA itu saya belajar teater modern. Selain itu, sejak kecil sudah senang teater karena bapak main ketoprak, simbah nyungging wayang. Tiap hari nonton ketoprak atau wayang. Rumah saya juga di antara ISI dan UGM, banyak bergaul dengan anak mahasiswa teater dan menonton teater. Di situ membangkitkan minat saya berteater. Saat SMA, saya bergabung di kelompok teater dan mulai bergaul dengan anak teater lain, ikut lokakarya, bergabung dengan Sanggar Anom dilatih Pak Gentong HAS (seniman Yogya).

Sejak kapan bergabung dengan Teater Garasi?

Waktu saya kuliah di Fisipol UGM, 1994. Belum mulai serius karena masih kuliah. Teater Garasi lalu keluar sebagai teater kampus dan menjadi independen. Dari situ, saya pikir ini sudah harus serius. Teater Garasi sudah 27 tahun. Baru saja ulang tahun pada 4 Desember lalu. Pada tanggal 5, saya mendapat Piala Citra ini. Ini hadiah buat Teater Garasi, tempat saya tumbuh besar. Belajar keaktoran secara intensif, kenal banyak metode keaktoran, ragam main, tema, dan isu, banyak dikayakan oleh kerja kolektif.  

Kemudian belajar penyutradaraan lalu terjun ke sastra juga...

Sejak 1999, mulai melakukan adaptasi naskah, menulis naskah, dan menyutradarai. Dari situ, saya mulai belajar, banyak membaca. Bersama Ugoran Prasad, saya belajar menulis, bikin klub menulis dan bikin buletin untuk tulisan kami. Lalu bergabung di AKY (Akademi Kebudayaan Yogyakarta), pendidikan penulis muda. Ada Puthut E.A., Eka Kurniawan, dan Dirmawan Hatta. Di sini mulai masuk dunia sastra. Nah, di Garasi bisa mengembangkan minat sastra, film, dan aktor. Di AKY, kami harus menghasilkan produk buku. Saya bikin Bon Suwung (kumpulan cerpen), Eka Kurniawan bikin novel Cantik Itu Luka. Dan saya bangga sekali buku saya diberi pengantar oleh Pak Budi Darma (sastrawan dan guru besar di FPBS Universitas Negeri Surabaya), yang sudah seperti guru saya.

Selanjutnya keterusan juga di sastra?

Iya, dari situ mulai berkarya juga di sastra. Menulis puisi dan cerpen. Hingga buku puisi Sejumlah Perkutut buat Bapak mendapat penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2010. Dari sastra ini semua terhubung. Kemampuan membaca, menafsirkan teks, diperlukan di keaktoran dan penyutradaraan.

Di Bon Suwung, dalam pengantar dikatakan sebagai karya fiksi yang aneh...

Enggak pengen beraneh-aneh. Tapi mungkin itu cara bertutur saya. Bagian dari pencarian, menuturkan berpijak pada sastra Jawa lama. Saya lebih banyak terpapar teks Jawa kuno mungkin karena kuliah di Sastra Jawa dan hidup di tradisi itu. Tetapi saya bertemu dengan banyak teks dari dunia lain, mitologi Yunani, Nordik, dan India. Saya terhubung dan menemukan kesamaan.

Bagaimana rasanya terlibat di banyak genre seni sekaligus: teater, sastra, dan kini film?

Itu sebagai medium saya untuk membicarakan dan menyampaikan sesuatu. Saya senang punya banyak medium untuk ngobrol, bertemu orang lain, tergantung mana yang lebih tepat. Itu alat. Sebagai seniman, tantangannya zaman berubah dan berbeda. Seniman harus menghadapi percepatan. Seniman perlu beradaptasi dengan percepatan-percepatan. Dulu, 1970-an, nonton teater lima jam masih oke. Sekarang, enggak mungkin.  

Sekarang pertunjukan satu jam seperti sudah mentok, butuh penonton yang spesial. Seniman mesti beradaptasi dengan banyak hal, termasuk teknologi dan perilaku. Seniman mesti melihat perilaku orang, penonton, teknologi, enggak bisa berpanjang-panjang. Bisa saja, tapi mesti disadari banyak hal telah berubah. Penonton berkembang dan berubah. Seniman juga harus berkembang dan berubah tanpa harus menghilangkan idealisme.

Anda juga terpaksa beradaptasi ketika mementaskan UrFear Teater Garasi pada Oktober lalu. Bagaimana rasanya?

Berbeda sekali rasanya tampil di depan penonton dengan tidak ada penonton. Selama sebulan kami hadirkan pertunjukan tanpa penonton. Itu perubahan yang harus kami adaptasi dan siasati. Unsur penontonnya tidak langsung dan ini harus kami pelajari, termasuk interaksinya. Bagaimana pertunjukan daring, tapi tetap berinteraksi. Kami bikin banyak percobaan dan kemungkinan. Saya bikin strategi polling. Berinteraksi ke penonton untuk memilih kostum, narasi, dan situasi. Pertunjukan UrFear cukup bagus, 11 pertunjukan selama sebulan akumulasi penonton mencapai 4.000 orang.

Sejak masa pandemi ini, apa saja kesibukan Anda?

Ini waktu terlama saya ada di rumah, paling ke studio Garasi. Itu pun dekat rumah. Biasanya (sebelum masa pandemi) saya datang ke pertunjukan, atau acara seni di Yogya, kota lain, atau negara lain. Awal-awal (masa pandemi) cukup mengganggu, karena biasa ketemu orang. Tapi sempat ada proses menarik, ketika bersama Happy Salma dan KawanKawan Media bikin sandiwara sastra. Eh, bisa sampai 10 episode.

Lainnya?

Selain itu, saya coba ngrekam-ngrekam puisi saya, untuk klub buku atau saya pribadi. Bikin banyak video juga. Iseng-iseng menjaga semangat.  

Ada dramawan yang menjadi panutan atau idola Anda?

Bukan panutan. Tapi banyak tokoh teater, seperti Teguh Karya, Arifin C. Noor, Rendra, dan Putu Wijaya, yang pertunjukan mereka sangat menginspirasi.

Naskah teater yang Anda sukai?

Awal-awal saya suka naskah Federico Garcia Lorca, itu sastra banget, banyak puisinya. Ada Shakespeare yang cukup ketat naskahnya, atau Samuel Beckett, David Mamet. Banyak sastrawan luar menulis di banyak medium.

Apa impian Anda untuk teater?

Saya pikir perjalanan masih jauh, bagaimana ekosistem pertunjukan lebih kuat, sehat. Cukup banyak yang harus dibangun biar lebih kuat dan sehat. Ini akan menjadi pijakan biar tidak goyah. Seperti membangun infrastruktur, audiens, pendidikan untuk penonton, dan perilakunya, juga untuk internal. Di luar, sejak kecil dibiasakan menonton, membaca sastra. Ini PR ekosistem.

Ada proyek pribadi?

Belum sih, paling ini IDRF (Indonesia Dramatic Reading Festival, yang digagasnya bersama seniman teater lainnya). Acaranya, 8-10 Desember 2020. Tahun depan masih melanjutkan proyek di Garasi. Kumpulan puisi sudah ada dua manuskrip tinggal cetak. Untuk fiksi sedang menyusun, semoga tahun depan bisa terwujud.

Kenapa Anda disapa Cindil?

Karena, waktu kecil, saya dikasih nama panggilan sama anak-anak teater SMA.

 


Seniman Harus Beradaptasi dengan Perubahan

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus