Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari Kopi sedunia yang jatuh pada hari ini, 1 Oktober, kembali mencuatkan perbincangan soal kopi luwak di media sosial. Wajar saja, karena hingga hari ini kopi yang dihasilkan dari pembuangan hewan luwak ini masih terbilang mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kopi luwak atau kopi musang terbuat dari biji kopi yang telah dimakan, setengah dicerna dan kemudian keluar melalui kotoran musang. Para petani kopi pun tak henti terus memproduksi kopi luwak melihat tren penggemar minuman ini yang awet dari tahun ke tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu komunitas petani yang mulai mengembangkan kopi yang punya nama ilmiah Paradoxurus ini adalah mereka yang bercocok tanam di lereng gunung Merapi, Sleman, Yogyakarta. Belum lama ini dalam rangka Hari Kopi Sedunia mereka terlibat dalam festival kopi Merapai di Sleman.
Para petani di sana tak sekedar menanam, memanen, dan mengolah biji kopi biasa, tapi juga mencoba meraciknya dengan berbagai varian rasa dan cara. Kopi Merapi kini dapat dinikmati dengan tiga pilihan: kopi honey, kopi wine.dan kopi luwak.
Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia mencatat, produksi kopi luwak saat ini diperkirakan lebih dari 10 ton per tahun (2013). Dari jumlah tersebut, sebanyak 2-3 ton kopi luwak diekspor sementara untuk konsumsi domestik kurang dari 1 ton.
Berikut beberapa fakta mengnai kopi luwak.
1. Biaya pemeliharaan luwak
Biaya pemeliharaan luwak penghasil kopi tersebut relatif mahal, yakni mencapai Rp 1,7 juta per ekor per bulan. Dalam sehari, setiap ekor luwak mengkonsumsi 2 kilogram biji kopi biasa dan menghasilkan 0,3-0,4 biji kopi luwak. Kualitas kopi dari luwak liar tidak lebih baik dari luwak pelihaaan. Hal itu lantaran kopi yang ditelan luwak harus dikeluarkan dalam 24 jam.Seekor Luwak Sedang memakan kopi masak dalam ternak di Way Tenong , Lampung Barat. TEMPO/Amston Probel
2. Salah satu kuliner termahal di dunia
Silahkan bangun pagi dan mencium wanginya kopi Luwak. Kopi jenis ini dapat terjual sampai US$700 atau Rp10 juta per kilogram, dan termasuk dalam daftar makanan termahal dunia.
Harga kopi luwak setinggi langit. Di Kemang, satu kafe menjual Rp 100 ribu untuk satu cangkir. Di California, Amerika Serikat, pemilik kedai kopi Funnel Mill membanderol secangkir kopi luwak asli US$ 80 atau sekitar Rp 760 ribu.
3 Jadi inovasi sebuah kafe
Bagi para penikmat kopi luwak, rumah kopi yang berada di Magelang ini layak dicoba. Bukan hanya menikmati secangkir kopi, pengunjung juga bisa melihat proses pengolahan kopi luwak yang sudah sedemikian melegenda.
Di halaman Pawon Luwak Coffe ini pengunjung bisa menyaksikan langsung biji-biji kopi yang sedang dijemur. Ada kopi yang masih menyatu dengan kotoran luwak dan membentuk gumpalan, ada biji kopi yang telah dibersihkan serta biji kopi yang telah dikupas kulitnya.
Pengunjung juga bisa menyaksikan langsung proses pengolahannya di halaman belakang rumah kopi yang berada tepat di samping Candi Pawon itu. Termasuk, melihat pohon kopi yang ditanam di halaman belakang.
Bahkan, enam ekor luwak dalam kandang juga bisa menjadi sebuah pemandangan sembari menghirup kopi dalam cangkir. Namun luwak yang ada di tempat itu bukan pemakan kopi, melainkan buah-buahan biasa seperti pisang. "Hanya untuk display saja," kata pemilik Pawon Luwak Coffe, Aji Prananda.
Sedangkan bahan baku kopi yang disajikan diambil dari luwak liar di perkebunan. "Luwak liar memilih biji kopi terbaik untuk dimakan," katanya. Sehingga, biji yang keluar bersama kotorannya dipastikan berkualitas.
Meski target pasarnya adalah turis bule, namun soal harga juga sangat terjangkau untuk turis lokal. Secangkir kopi luwak orisinal hanya dibanderol Rp 25 ribu tiap cangkirnya, baik untuk jenis kopi robusta maupun arabica. Pawon Luwak Coffe memang tidak menawarkan menu lain, selain kopi luwak original.
4. Kopi Luwak dibuat tanpa Luwak
Seorang peneliti Kementerian Pertanian kepada Erliza Noor, peneliti dari Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor, berhasil menemukan cara membut kopi luwak tanpa keterlibatan hewan tersebut. Caranya adalah dengan menggunakan bakteri yang ada di pencernaan luwak dan berperan dalam produksi biji kopi luwak. Bakteri tersebut tak bersifat patogen. Ketiganya adalah proteolitik, penghancur protein; selulolitik, penghancur selulosa; dan xilanolitik, penghancur hemiselulosa. Setiap kali menghancurkan kulit kopi, bakteri menghasilkan enzim.
Penelitian membuat kopi luwak tanpa luwak ini menghabiskan biaya sekitar Rp 190 juta. Namun ongkos penelitian ini setara dengan hasil yang didapat. Kopi luwak buatan ini pun jauh lebih murah ketimbang kopi luwak asli yang harga tengahnya sekitar Rp 1 juta per kilogram. "Penurunan harga bisa 50 persen," ujar dia. Sebab, Erliza tak perlu memelihara luwak. Di peternakan, ongkos pemeliharaan luwak sangat tinggi. Peternak harus menyediakan nutrisi istimewa, seperti susu, madu, ayam, ikan, dan buah-buahan. Sedangkan buah kopi menjadi camilan yang disajikan pada awal malam.
Sebelum Erliza, sejumlah peneliti membuat tiruan kopi luwak tanpa luwak. Antara lain Suprio Guntoro (peneliti dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali) dan Beni Hidayat, peneliti dari Program Studi Teknologi Pangan Politeknik Negeri Lampung. "Kopi luwak probiotik ini pernah dijual di pameran dengan harga Rp 700 ribu per kilogram," kata Suprio, yang menciptakan kopi luwak probiotik dengan cara fermentasi.
Suprio memeram biji kopi dengan hampir semua bakteri pencernaan pada suhu 40-45 derajat Celsius. Sedangkan Beni Hidayat memeram biji kopi dengan enzim protease pemecah protein dari pepaya. Bakteri-bakteri ini yang membedakan rasa kopi begitu nikmat dengan harga selangit. (Koran Tempo, April 2013))
TEMPO.CO | AHMAD RAFIQ (Magelang)