TEKAD Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) menyetop banjirnya paslen Indonesia ke rumah sakit-rumah sakit di Singapura ternyata tidak cuma dengan membikin gedung dan peralatannya yang serba mewah. Rumah sakit yang berbentuk perseroan terbatas (PT) itu juga mendatangkan Victor Han Associates dari Singapura yang mempunyai keahlian khusus dalam perencanaan rumah sakit. Victor Han itu akhir-akhir ini dikenal sebagai konsultan utama berbagai rumah sakit besar di Singapura, Malaysia, dan Muangthai. Di antaranya Thomas Medical Centre di Singapura, Ipoh Specialist Centre di Malaysia, dan Bunangrud Hospital di Bangkok, Muangthai. "Dilihat dari segi perlengkapan dan kemampuan dokter, saya yakin RSPI lebih baik dan lebih maju dari pusat-pusat kesehatan lain di sekitar Asia Tenggara," ujar Victor Han. Dengan nada promosi yang bergelora ia mengungkapkan pada Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO, RSPI sudah sejajar dengan rumah sakit lain yang menjadi kliennya. "Ini dari pengalaman yang saya lihat sendiri," katanya lagi. Selain perlengkapan rumah sakit, Victor Han juga menekankan pentingnya pelayanan pada RSPI, khususnya dari para juru rawat. "Merekalah ujung tombak kami," katanya, "dan dasar falsafah kami adalah: perawatan dengan penuh kasih sayang." Gaya Victor di RSPI bukan hal baru. Ini salah satu ciri bangkitnya industri pelayanan kesehatan khususnya di negara maju. Kendati untuk banyak kalangan di Indonesia masih terasa janggal, di Jakarta pelayanan kesehatan tampak sedang menuju ke sana. Dasarnya, memang ada -- mengikuti hukum ekonomi supply and demand. Di negara maju munculnya industri pelayanan kesehatan umumnya karena terhimpunnya dana asuransi, tapi di Indonesia yang terjadi kebalikannya. RSPI, yang menelan investasi sampai 14 milyar ruplah itu, baru mau mencobakan prinsip asuransi. Di sana dikenal sebagai sistem anggota. Setiap anggota dikenal uang pangkal dan iuran, yang bila dihitung sebagai pembayaran premi asuransi tergolong sangat tinggi. RSPI tidak sendirian dalam mencoba prinsip asuransi itu. Sebuah klinik mewah lainnya, Medika Loka di Kuningan, Jakarta, misalnya, juga menjalankannya. "Ini asas gotong-royong," ujar Dr. Gunawan Kosasih, direktur umum klinik itu, "dalam arti anggota yang jarang sakit membantu membiayai anggota lam yang sakit-sakitan. " Belum setahun berdiri, Klinik Medika Loka telah berhasil mengumpulkan anggota sebanyak 1.000 orang. Sebagian besar orang asing. Dibandingkan dengan RSPI yang baru bisa mengumpulkan 90 anggota, iuran yang ditawarkan Medika Loka lebih wajar dan tampak diperhitungkan dengan cermat. Iuran yang dibayarkan per tahun itu mengenal kategori: perorangan, keluarga kecil, sampai keluarga dengan empat anak. Dari penggolongan itu terlihat semakin besar keluarga yang menjadi anggota semakin kecil "premi" yang harus dibayarkan. Jumlah ini terhitung untuk semua pemeriksaan kesehatan yang cukup mewah, dengan peralatan kedokteran yang terhitung canggih. Klinik yang melakukan pemeriksaan seperti pada praktek pribadi dokter ini berafiliasi dengan sejumlah rumah sakit biaya perawatan rumah sakit di luar tanggungan Medika Loka. Apakah semua hitung-menghitung ini tergolong komersialisasi pelayanan kesehatan? Ternyata, tidak. Menurut Dr. Mohamad Hasan, kolumnis dan ahli ekonomi kesehatan, asuransi kesehatan prinsipnya justru meringankan risiko biaya pengobatan. "Risiko yang seharusnya dipikul sendiri dilimpahkan ke perusahaan asuransi," katanya. Perusahaan asuransi kemudian menanggungnya melalui berbagai perhitungan ekonomi. Namun, dalam mengaitkan asuransi kesehatan dengan kepentingan masyarakat banyak, Hasan mengemukakan perlu diperhatikan jenis-jenis asuransi. Menurut Hasan, terdapat dua macam asuransi kesehatan. Yang satu, asuransi kesehatan pribadi, dan yang lain asuransi kesehatan sosial. Besarnya premi pada asuransi kesehatan pribadi ditentukan dalam jumlah nominal, dan setiap orang bisa berbeda-beda. "Jadi, bisa komersial," ujar Hasan bergurau. Yang peka terhadap tudingan komersialisasi adalah asuransi kesehatan sosial. Di negara maju, risiko asuransi kesehatan sosial ditanggung pemerintah. Premi pada asuransi kesehatan ini bersifat relatif. Hitungannya, persentase tertentu dari gaji. "Maka, asuransi ini mengenal asas yang kaya membantu yang tidak kaya, di samping yang sehat membantu yang kurang sehat," ujar Hasan. Kendati di Indonesia sudah ada asuransi kesehatan sosial, misalnya Asuransi Kesehatan (Askes) untuk pensiunan dan pegawai negeri, Hasan berpendapat masyarakat kita belum lagi mengerti untung ruginya asuransi. Karena itu, ia tak terlampau yakin asuransi kesehatan pribadi akan bisa dijalankan. "Nilai kesehatan bagi kita tidak cuma bergantung pada keadaan keuangan, tapi juga bergantung pada way of life," katanya. Namun, prinsip asuransi, menurut Hasan, masih bisa dicoba. Kolaborasi antara pengelola dana dan tenaga kesehatan dalam menjalankan rumah sakit dengan prinsip asuransi seperti RSPI dikenal dalam ekonomi kesehatan. Ahli ekonomi kesehatan lainnya, Dr. Ascobat Gani, menjelaskan, di Amerika Serikat kerja sama antara asuransi dan tenaga medis dalam mengelola jaringan rumah sakit, atau badan perawatan lainnya dikenal dengan nama HMO (Health Maintenance Organization). Tujuannya memelihara kesehatan peserta asuransi --atau anggota perkumpulan kesehatan -- agar tidak menjadi sakit. Dengan demikian, biaya pengobatan yang harus ditanggung badan asuransi pun berkurang dan perusahaan itu bisa mengalami surplus. Namun, mengaitkan HMO dengan pengelolaan rumah sakit kecil, seperti yang dicoba RSPI, punya ancaman lain. Menurunnya jumlah penderita yang harus dirawat akan menurunkan omset rumah sakit. Akhirnya rumah sakitnya yang diancam rugi. Menurut Gani, dalam industri pelayanan kesehatan, kedudukan rumah sakit memang senantiasa unik. "Kalau dibilang komoditi, kesannya kurang sedap seolah mata kegiatan ekonomi semata," ujar Gani, "akan tetapi pengelolaannya terikat pada supply dan demand." Dalam ekonomi kesehatan, rumah sakit dikenal sebagai faktor yang sulit diperhitungkan karena penuh dengan dilema. Bahkan prinsip asuransi kesehatan sering kali terjebak dalam lingkaran yang akhirnya merugikan semua pihak. Tuntutan penderita -- anggota perkumpulan atau pembeli polis -- untuk mendapat perawatan yang baik, pada kenyataannya meningkatkan biaya rumah sakit sampai tak terkontrol. Pasalnya, teknologi kedokteran yang membutuhkan investasi besar dikembangkan mengikuti tuntutan itu. Kenyamanan yang tak ada hubungannya dengan perawatan, seperti penempatan televisi, kulkas, dan ruang tamu ikut menaikkan biaya. Dan yang paling menimbulkan masalah, tuntutan peningkatan pelayanan kesehatan umumnya membuat rumah sakit semakin padat karya. Naiknya biaya pengelolaan rumah sakit, menurut Gani, dengan sendirinya menaikkan premi asuransi dan tarif rumah sakit. Ini kemajuan yang tidak sehat. Terjadilah inflasi biaya. "Ini terjadi di Amerika Serikat di tahun 60-an, inflasi biaya rumah sakit sampai tiga kali lipat dari inflasi tahunan untuk sektor ekonomi secara makro," ujar Gani. Dengan ataupun tanpa prinsip asuransi, hingga kini belum ada konsep pengelolaan rumah sakit yang baik di Indonesia. Khususnya rumah sakit pemerintah, yang umumnya dikelola secara buruk. Gani memberi contoh RS Cipto Mangunkusumo. "Ini puskesmas raksasa," katanya. Pasalnya, klinik RSCM pada prakteknya mengambil alih tugas puskesmas yang sebenarnya sudah disiapkan. Akibatnya, jalur pendanaan pun kacau. Subsidi puskesmas yang disediakan pemerintah tidak digunakan, sementara dana yang dialokasikan untuk pengelolaan rumah sakit terserap biaya pengelolaan "puskesmas" di lingkungan rumah sakit. Rumah sakitnya sendiri terbengkalai karena tak ada dana. Dalam keadaan semacam ini, bangkitnya rumah sakit swasta dengan perlengkapan dan managemen yang baik, menurut Gani, bisa membantu pemerintah menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Bila dilihat, 60% dari dana pengobatan di Indonesia sebenarnya keluar dari kantung masyarakat sendiri. Pemerintah hanya mensubsidi 40%, dan separuhnya digunakan untuk membiayai rumah sakit. Sisanya sekitar 20% dialokasikan untuk menunjang puskesmas yang jumlahnya 5.500 di seluruh Indonesia. Program di puskesmas ini meliputi pengobatan (kuratif) maupun pemeliharaan kesehatan (preventif). Menurut Gani, meningkatkan porsi masyarakat, khususnya pembangunan rumah sakit, akan mengurangi beban pemerintah di sektor ini -- yang memang sangat berat. Akibat positifnya, pendanaan puskesmas bisa lebih intensif. Ketua Ikatan Dokter Indonesia, Dr. Kartono Mohamad, juga menanggapi positif pertumbuhan rumah sakit swasta. Ia melihat kemungkinan adaptasi teknologi kedokteran di sektor ini, sementara dana pemerintah terbatas. Menurut Kartono karena persaingan dan tuntutan pelayanan, rumah sakit swasta biasanya mengadakan spesialisasi bahkan subspesialisasi di satu-dua bidang secara mendalam. Untuk ini, rumah sakit yang sehat manajemennya tidak akan segan melakukan inventasi, termasuk membeli peralatan canggih. Ini, menurut Kartono, merupakan sumbangan yang lebih realistis daripada ketentuan harus memberikan 25% tempat kepada penderita tidak mampu. "Mengontrolnya bagaimana dan apa, sih, kriteria tidak mampu," katanya pada TEMPO. Di sisi lain, teknologi kedokteran, yang kini terus-menerus menunjukkan perkembangan, kendati tak semua positif dampaknya menurut Kartono tak mungkin diabaikan kehadirannya. "Suatu ketika bila pelayanan kesehatan kita sudah merata dan baik, kita memerlukan teknologi kedokteran itu," katanya, "dan ketika kita menoleh, kita tidak ketinggalan zaman karena ada sektor yang terus mengikuti perkembangannya." Kesadaran untuk mengembangkan teknologi kedokteran, tampaknya, ada di lingkungan rumah sakit dan klinik yang pengelolaannya baik. "Kami memang sedang berpikir ke arah sana, di samping kaderisasi," ujar Gunawan Kosasih dari Medika Loka. Sedangkan RSPI sedang menuju spesialisasi di bidang kebidanan. Tetapi Ascobat Gani masih mengkhawatirkan kerja sama pengelola dana dan tenaga medis di rumah sakit swasta. "Kedua kelompok ini tentunya punya motivasi dan persepsi yang berbeda," katanya, "apakah sebuah program bisa berjalan atau tidak bergantung pada siapa yang kuat." Yang mengkhawatirkan, bila keuntungan yang didapat cuma digunakan untuk meningkatkan pelayanan yang tak langsung berhubungan dengan perawatan. Pelayanan itu jadinya hanya: bagaimana meningkatkan kemewahan. Jim Supangkat, Laporan Indrayati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini