"MELIBAT duniaswasta dalam industri medis, khususnya pembangunan rumah sakit, sangat posiaf, asal diikuti kontrol pemerintah yang ketat," ujar Dr. Ascobat Gani. Ia mengkhawatirkan kendurnya pengawasan akan berakibat, antara lain, larinya sejumlah dokter ahli dari rumah sakit pemerintah ke rumah sakit swasta. Ahli ekonomi kesehatan itu tidak mengada-ada. Penempatan dokter pemerintah di lingkungan rumah sakit swasta sudah lama menjadi masalah. Hilang-timbul, tapi praktis tak pernah diselesaikan. Bahkan hampir tak ada usaha ke sana. Karena itu, sungguh mengejutkan sikap Menteri Kesehatan pada pembukaan RSIP pekan lalu. Dalam jumpa pers, ia menunjukkan sikap seolah-olah masalah itu tak ada. "Kalau mau diambil swasta, boleh saja asal diatur secara serasi," katanya santai tentang kemungkinan larinya dokter ke rumah sakit swasta, "kalau mau dikelola masyarakat, ya, silakan saja." Mungkinkah sikap Departemen Kesehatan telah berubah? Ternyata, tidak seluruhnya tegas. "Masih perlu diatur," kata Direktur Jenderal Pelayanan Medik Depkes, Dr. Mohammad Isa, tentang kemungkinan menempatkan dokter tetap di rumah sakit swasta, "tapi untuk direktur rumah sakit sudah ada ketentuan harus full time." Selain tenaga direktur, tenaga dokter umum tampaknya juga tidak terlampau menjadi masalah. Di sejumlah rumah sakit swasta, sudah ada dokter umum yang bekerja sebagai tenaga tetap. Umumnya dokter yang sudah menyelesaikan masa dinasnya di daerah dan tidak meneruskan ikatan dinasnya. Dalam hal ini, Depkes tidak bisa menahan mereka untuk tetap menjadi pegawai negeri. Tetapi sebagian besar dokter yang menyelesaikan masa dinasnya bekerja sebagai dokter Inpres di daerah memperpanjang ikatan dinas dengan menempuh jenjang keahlian selanjutnya yaitu spesialisasi -- cuma bisa dilakukan di perguruan tinggi dan rumah sakit pemerintah. Setelah selesai, dokter bersangkutan harus kembali bekerja untuk pemerintah. Tenaga spesialis inilah yang menjadi masalah rumah sakit swasta. Hampir tak ada dokter spesialis apalagi superspesialis yang bekerja sebagai dokter tetap di rumah sakit swasta. Rata-rata mereka bekerja di rumah sakit swasta sesudah jam kerja. Tenaga spesialis yang ditempatkan di rumah sakit swasta menurut Isa, sementara ini tenaga pensiunan. Juga spesialis yang sudah dua kali mendarmabaktikan dirinya di daerah selama lima tahun. Di samping itu, masih menurut Isa, ada pula tenaga spesialis yang menjalani pendidikan di luar negeri yang bisa dimanfaatkan. Mereka ini, terhitung cukup ahli tapi usianya sudah 40 tahun, jadi tidak mungkin lagi direkrut menjadi pegawai negeri. Namun, Isa mengungkapkan, bila seorang dokter speslalis sudah menyelesaikan ikatan dinasnya, tak ada ketentuan Depkes harus menahannya bekerja di rumah sakit pemerintah. Mereka ini, menurut Isa, bisa saja pindah ke rumah sakit swasta karena tergiur pada gaji yang lebih tinggi. Apa tidak khawatir? "Tak ada yang perlu dikhawatirkan," ujar Isa, "kita tak perlu berpegang pada bayangan masa lalu ketika kita masih sulit mendidik tenaga spesialis." Sekarang ini, menurut catatan Isa, sekitar 300 dokter spesialis dihasilkan setiap tahun di Indonesia. "Jadi, nggak mungkin rumah sakit pemerintah akan kekurangan tenaga spesialis," ujarnya lagi. Perkiraan Isa, 10 tahun mendatang, bila 0% dokter puskesmas kembali, Indonesia akan penuh dengan tenaga spesialis. Bagaimana dengan keadaan dokter sekarang? Apakah tenaga dokter sudah berlebih di rumah sakit pemerintah? Jumlahnya ternyata belum mencukupi. Jumlah total dokter di Indonesia sekarang 9.094. Perinciannya, 4.325 dokter umum dan 4.769 dokter spesialis. Kalau diperhitungkan penempatan di rumah-rumah sakit pemerintah, masih terdapat kekurangan: 671 dokter umum dan 713 dokter spesialis. Maka, tenaga medik sementara ini, masih harus diperebutkan. Semua rumah sakit membutuhkannya, tapi peraturan penempatannya belum disusun. Maka, masuk akal bila timbul kekhawatiran eksodus tenaga spesialis ke rumah sakit swasta, khususnya bila rangsangan rumah sakit swasta besar. Menanggapi masalah ini, Ketua Umum IDI Pusat, Dr. Kartono Mohamad, berpendapat pemerintah terlampau ragu-ragu melimpahkan tenaga full time ke rumah sakit swasta. "Nggak tahulah apa sebabnya," katanya. Kartono berpendapat, seharusnya rumah sakit swasta mempunyai dokter spesialis yang bekerja sepenuhnya sebagai tenaga tetap. "Mereka digaji oleh rumah sakit yang bersangkutan, hingga perhatiannya penuh ke rumah sakit itu," kata Ketua IDI yang juga pemimpin redaksi majalah kedokteran Medika. Masih menurut Kartono, tak adanya tenaga spesialis di rumah sakit swasta membuat rumah sakit jenis ini tidak berfungsi sepenuhnya. Tak ada program yang bisa disusun dengan baik karena pihak rumah sakit tak bisa mengontrol dokter-dokternya yang bekerja part time. Dari pihak dokternya pun muncul sikapsikap yang kurang sehat. "Mereka bersikap seenaknya dalam memasang tarif, dan tak jarang memperpanjang waktu berobat," kata Kartono, "ini malah tidak etis." Kartono mengimbau agar keadaan ini dibenahi. Berdasar pengamatannya, sekarang ini banyak tenaga spesialis yang separuh menganggur menunggu penempatan karena terbatasnya anggaran pemerintah. Mereka secara tidak resmi kemudian bekerja di rumah sakit swasta. "Nah, ini 'kan tidak sehat," katanya lagi. Pemerataan tenaga dokter yang baik, menurut Kartono, pada dasarnya untuk menguntungkan masyarakat. Apakah tak ada risiko bila rumah sakit kekurangan tenaga ahli ? "Saya kira tidak," jawab Kartono, "sebab tidak semua dokter akan senang masuk ke rumah sakit swasta, karena sebagai pegawai negeri ia bisa mendapat pensiun dan kemungkinan pengembangan karier di rumah sakit pemerintah rata-rata juga lebih besar." Jis., Laporan Gatot Triyanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini