OPERA JULINI Naskah Sutradara: Riantiarno Musik: DKSB Harry Rusli Produksi: Teater Koma TEATER Koma mungkin bisa menggantikan Srimulat yang mulai tak laku. Lihat saja, sampai hari ke-8 Gedung Teater Baru di Taman Ismail Marzuki itu tetap penuh, tetap ramai sebentar-sebentar penonton tertawa. (Dan sebenarnya sudah sejak pementasannya yang lalu-lalu grup ini tampak siap untuk rutin tampil berpentas, bukan sekadar satu atau dua minggu). Di panggung, berlangsung lebih dari tiga jam, dikisahkan perjalanan Julini, tokoh cerita drama tiga bagian, sesudah ia dimatikan dalam Opera Kecoa -- cerita kedua dari trilogi, Agustus tahun lalu. Diselingi dengan keributan perebutan pimpinan dalam kalangan bandit, dan cecet-cuet para wadam mencari langganan. Plus, sebuah potret kebrengsekan rumah tangga Kepala Polisi, komplet dengan efeknya pada keamanan kota. Di panggung, di kiri penonton berdiri patung Julini. Di kanan atas, adalah rumah Kepala Polisi. Di bawah prosenium berkelompok musik Depot Kreasi Seni Bandung pimpinan Harry Rusli. Prinsip komposisi panggung yang seJak awal trilogl, Bom Waktu, dipertahankan. Dan seperti dulu juga, adegan silih berganti mengambil tempat: di sekitar patung, di panggung kanan atas, atau keseluruhan pentas. Komposisi seperti itu, sewaktu Bom Waktu, terpadu dengan baik. Latar belakang, gubuk-gubuk, rumah Kepala Polisi ganti-berganti menjadi fokus sesuai dengan cerita, saling mendukung menciptakan suasana. Dan, dengarlah. Musik pimpinan Harry Rusli masih juga tetap menghanyutkan: ketika harus bersemangat, adegan para bandit itu ketika sendu, di saat Julini merindu. Yang tak seperti dulu, bila memang harus dibandingkan, irama keseluruhan dan dialog-dialog yang terlempar taklah secergas dan sekocak Bom maupun Kecoa. Bahkan kini, lelucon-lelucon terasa klise, dalam beberapa hal bahkan vulger -- memanfaatkan keanehan fisik, atau yang menyerempet yang porno. Contoh itu umpamanya ketika Kepala Polisi, yang sakit mata, mengeluh bahwa yang dilihatnya ketika lari pagi kemiskinan semata. Atau ketika para wadam menyanyi sedih, "Siapa bilang kita sampah, kita intan dalam comberan." Lalu dengarlah, ketika Roima, pacar Julini tersayang, kepala bandit yang dalam akhir trilogi ini dibunuh sobatnya sendiri, "Seluruh keributan ini berpangkal dari keserakahan, diburu dan memburu kekosongan." Tiada lagi puisi pentas yang menyanyikan suara-suara dari bawah, dari mereka yang kebetulan harus memikul azab dunia, dengan simpati. Tak terkesan lucu lagi kekonyolan mereka yang di atas, yang dengan licik meneguk keuntungan dari ketakberdayaan orang lain. Ketika Julini masih hidup, dan Roima masih menggelandang, belum jadi kepala bandit -- dalam Bom kesengsaraan mereka dan kekonyolan warga kelas atas terdengar sama. Sama-sama tampil atas nama manusia, dengan keburukan dan kemuliaan masing-masing. Inilah karya Riantiarno yang selama ini paling matang. Mengikuti zaman, mungkin, panggung Opera Julini kini dilengkapi peralatan serupa komputer, komplet dengan tulat-tulit dan layar monitor. Benda ini dijaga dua makhluk berpakaian wayang, merekalah penjaga salah satu gerbang dunia setelah mati. Toh, itu tak memberi tambahan apa pun bagi keseluruhan tontonan. Bahkan, seumpama, tiada properti seperti itu, adegan ketika Julini dan para wadam masuk pintu untuk wanita -- dan ditolak keluar kembali oleh cahaya petir -- mungkin lebih bisa mengharukan. Mereka, toh, seperti sudah jamak diketahui, dalam hati tak mengakui sebagai laki-laki -- meski KTP Julini bertuliskan nama Bambang Julino. Dilihat dari segi akting, boleh dibilang hampir semuanya bermain tidak jelek. Salim Bungsu sebagai Jullni, rasanya memang pas. Dan para pemeran wadam, susah dibilang bermain kurang. Memang, dibandingkan dengan para pemain yang lain Taufan sebagai Kepala Polisi tak mengesankan. Konflik batinnya untuk memilih antara kepentingan kota dan ambisi istrinya, antara kebutuhan untuk kaya dan kemiskinan yang disaksikannya tiap hari, tak terangkat. Cek-cok di rumah pejabat ini lebih terasa sebagai cek-cok kecemburuan si istri karena memergoki suaminya bercinta dengan Tuminah (Sari Manumpil), primadonanya para pelacur. Juga, permainan Idries Pulungan sebagaiRoimadan Joshua Pandelaki yang memerankan Tibal -- dua tokoh bandit -- kurang kempal. Watak masing-masing tak tampil. Justru, kedua polisi (Idrus Madani dan Dudung Hady) merupakan penyegar pentas tiap mereka muncul. Tapi memang, naskah terakhir dari trilogi ini, tampaknya kurang utuh. Riantiarno seperti memaksakan kelahiran naskah ini. Ia seperti tak tega membiarkan Julini mati -- mesti ada kelanjutannya, telanjur disebut trilogi, 'kan. Secara teknis, pergantian adegan Opera Jlini kurang mengalir. Huru-hara, perkelahian, pembunuhan, lalu nyanyian-nyanyian sunyi Julini, atau Tuminah, atau Roimah tak menampilkan suasana dimaksud. Tragedi Tibal membunuh Roimah, berlangsung sebagaimana pembunuhan biasa, sementara mereka teman akrab dari bawah. Adegan para pelacur belajar menari, tak mengguritkan rasa pahit. Dan keharuan adegan ketika Julini (tepatnya arwahnya), tokoh utama itu, nekat mencoba menerobos pintu untuk wanita, bukan mengharukan tapi terasa konyol. Tulisan ini memang sebuah pendekatan terhadap kesenian pentas yang berharap memperoleh semacam sentuhan spiritual yang memperkaya hidup. Mungkin sebuah pendekatan yang kurang tepat. Sebab, Riantiarno, tentu saja, berhak menyuguhkan yang lain. Dua tahun yang lalu, dalam wawancara dengan saya, ia berterus terang. "Sebuah drama yang menghibur penonton, itu sudah cukup," katanya. Dan bila memang begitu, ia sukses. Tawa penonton tak henti-henti, dan sampai Sabtu pekan lalu, pementasan yang akan berakhir Minggu besok, tetap penuh. Mungkin orang memang tak mencari sebuah tontonan yang mengalir. Adegan per adegan yang mengundang tawa dengan lelucon yang sudah dimaklumi bersama, itu lebih mudah dicerna. Tak diperlukan sebuah permainan akting yang bukan cuma menyampaikan dialog, tapi juga menyiratkan sesuatu dari dalam. Dan sesuatu yang janggal atau tidak wajar dalam hidup sehari-hari, lebih menarik sebagai obyek hiburan daripada mesti direnungi mengapa itu semua terjadi. Itulah tampaknya yang dilihat oleh lelaki berusia 37 tahun yang sehari-hari dipanggil Nanok itu. Dan ia memang memenuhi harapan penonton Teater Koma, yang kira-kira memang sudah terbentuk. Sementara grup Teater Kecil (Arifin C. Noer), Teater Populer (Teguh Karya), Bengkel Teater (W.S Rendra), Teater Mandiri (Putu Wijaya) sangat jarang atau nyaris tak lagi terdengar suaranya, memang kemudian tak ada perbandingan. Barangkali boleh ditengok drama Losmennya Wahyu Sihombing di televisi. Bila itu bandingannya, Teater Koma, tentu saja, lebih bisa berhura-hura, lebih punya kesempatan melontarkan segala sesuatu yang mungkin di pentas. Bisa jadi bandingannya kemudian adalah kelompok teater dari daerah, Teater Gandrik (Yogyakarta) atau Teater Gapit (Solo, Tapi yang dari daerah memang belum teruji ketahanannya, dan kontinyuitasnya berpentas. Setidaknya, Teater Koma, dalam dua kal memang sudah boleh dijajarkan dengan Srimulat: dalam mengumpulkan penonton dan membuat mereka tertawa. Ya, mengapa tidak, mengarahkan sebuah grup teater yang bisa berpentas rutin dengan penonton cukup ? Dan bila dunia teater kehilangan pementasan yang menyodokkan masalah dengan tetap enak ditonton, itu bukanlah salah Teater Koma. Bambang bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini