Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Banyaknya perokok anak di Indonesia perlu mendapat perhatian khusus. Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso mengatakan akses rokok bagi anak-anak perlu dipersulit agar upaya-upaya menekan dampak rokok menjadi maksimal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Di satu sisi, regulasinya sepertinya sudah bagus. Tapi di sisi lain, ketersediaan rokok itu masih mudah," katanya dalam temu media Hari Tanpa Tembakau Sedunia di Jakarta, Rabu, 29 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Piprim mengatakan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah melakukan upaya maksimal mencegah atau menghentikan generasi muda merokok. Namun upaya-upaya tak cukup apabila hanya dari mereka saja.
Menurutnya, apabila ingin bonus demografi untuk Indonesia Emas 2045 maka perlu ada keseriusan dan konsistensi pemerintah secara menyeluruh sehingga pembatasan akses rokok tersebut perlu sejalan dengan upaya-upaya lainnya. Dia mencontohkan Kementerian Perindustrian perlu memikirkan cara agar rokok tidak mudah diakses anak-anak.
Dia menjelaskan secara anatomi anak-anak lebih rentan terhadap polutan karena sistem pernapasan serta sistem imun masih berkembang. Selain itu, frekuensi bernapas mereka lebih cepat dari orang dewasa sehingga kalau ada polusi lebih banyak dihirup.
Rokok memberi sejumlah dampak bagi anak-anak, antara lain kematian mendadak tanpa gejala (sudden infant death syndrome), hambatan perkembangan paru-paru, gangguan fungsi respirasi, infeksi telinga, hingga kanker. Selain itu, pada keluarga yang merokok ada kemungkinan anak-anak juga jadi ikut merokok.
Rokok kurangi nutrisi anak
Piprim mengatakan pembelian rokok di rumah tangga juga mengurangi kualitas nutrisi anak karena kurangnya asupan protein sehingga terjadi stunting. Padahal, Indonesia sedang gencar-gencarnya menurunkan stunting. Sementara itu, Team Lead NCD and Healthier Population WHO Indonesia, Lubna Bhatti, mengatakan perlu ada penguatan legislasi untuk membatasi akses rokok bagi anak.
"Satu, pembuat kebijakan perlu memastikan penerapan kebijakan Omnibus Law Kesehatan melarang iklan, promosi, serta sponsor rokok. Tak hanya di media sosial namun juga seluruh internet," kata Lubna.
Yang kedua, produk tembakau dan rokok elektrik perlu dibuat menjadi tidak menarik dan tidak terjangkau. Ketiga, dalam RUU Penyiaran dapat dimasukkan mengenai pelarangan iklan produk tembakau dan rokok elektrik di seluruh format penyiaran.
"Jika tidak melihatnya maka Anda tidak tergoda," ujarnya.
Keempat adalah penerapan pajak yang seragam bagi produk tembakau dan sejenisnya serta menghilangkan tarif cukai 57 persen pada produk rokok elektrik. Menurut dia, kedua hal itu akan memudahkan pemerintah dalam menerapkan pajak 75 persen atau lebih dari harga jual eceran. Hal tersebut adalah praktik terbaik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang memberikan dampak sekaligus menciptakan pendapatan guna peningkatan kualitas sistem kesehatan Indonesia.