Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketika Anda melihat koleksi patung laki-laki Yunani Klasik di museum, pasti akan terbesit sebuah pertanyaan mengapa ukuran penisnya kecil. Bukan karena orang-orang Yunani zaman dahulu mengidap penyakit mikro-penis. Di balik penis kecil itu terkandung makna filosofis mendalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Umumnya, ukuran penis menjadi standar maskulinitas seorang laki-laki. Semakin besar penis, maka semakin maskulin. Tampaknya, budaya itu sama sekali tidak berlaku pada orang-orang Yunani klasik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejarawan seni Ellen Oredsson dalam artikel blognya, How To Talk About Art History (2016), mengatakan standar maskulinitas laki-laki di Yunani dilihat dari tingkat kecerdasan, kewibawaan, dan kebijaksanaannya. Lelaki Yunani yang ideal yaitu mereka yang memiliki pemikiran yang rasional, otoritatif, dan berintelektual tinggi.
“Hari ini, penis besar dipandang berharga dan maskulin, tetapi saat itu, sebagian besar bukti menunjukkan fakta bahwa penis kecil dianggap lebih baik daripada yang besar. Sebab, penis besar identik dengan sifat bodoh, barbar, nafsu, dan keburukan,” tulis Oredsson.
Melansir dari Metro, salah satu contoh lelaki tidak ideal itu bernama Satyr. Dia dikisahkan tokoh mitologi Yunani yang sangat dekat dengan Dyonisos, dewa anggur yang hobi mabuk-mabukan. Semasa hidupnya, Satyr lekat dengan sifat pemabuk dan penuh nafsu seksual yang tidak terkontrol.
Jelas digambarkan bahwa Satyr bukanlah sosok lelaki maskulin menurut pandangan orang-orang Yunani klasik saat itu. Karena itu, patung Satyr diwujudkan dalam rupa manusia setengah kambing, serta memiliki ukuran penis yang besar.
Bahkan, dalam sebuah naskah drama berjudul Nepehelai yang ditulis oleh Aristofanes sekitar 448-385 SM, pria yang berpenis besar itu identik dengan perawakan yang kurus, dada tak bidang, kulit pucat, dan sikap yang cabul.
Dalam panggung komedi pun demikian, digambarkan dengan karakter ‘si bodoh’ yang selalu memiliki penis kecil. Hal ini menegaskan bahwa sifat bodoh atau kebodohan itu lebih cocok disematkan dengan binatang, alih-alih manusia.
Meski begitu, Oredsson menegaskan bahwa standar lelaki ideal dari wujud penis kecil lelaki saat itu tidak memiliki relasi dengan performa di ranjang. Para lelaki ideal Yunani saat itu, menurut dia, tetap dimungkinkan berhubungan seksual. “Tetapi tidak ada korelasinya dengan ukuran penis. Ukuran penis kecil memungkinkan lelaki tetap terlihat tenang dan logis,” tulisnya.
Senada dengan Oredsson, Paul Chrystal dalam bukunya “In Bed with the Ancient Greeks” (2016) menuliskan bahwa pada simbolisasi seorang Ayah yang subur tidak berasal dari ukuran penis yang besar. Sebaliknya, ukuran penis kecil dipandang sebagai lambang kesuburan.
“Penis besar adalah simbol vulgar dan di luar norma budaya, sesuatu yang dilakukan oleh orang barbar di dunia. Lihatlah Zeus, dia memiliki empat-puluh-lima anak yang seluruhnya dihasilkan dari penis yang ukurannya jelas tidak spektakuler,” tulis Chrystal.
HARIS SETYAWAN