Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Instruktur menyerbu desa

Tenaga pengajar mtu (mobile training unit), ditjen bina guna depnakertrans akhir2 ini menyerbu desa-desa untuk memberikan ketrampilan tukang batu, tukang kayu, montir, dll kepada masyarakat. (sd)

13 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari Mudjito terperangah di depan kelas. Ia menyaksikan seorang muridnya termangu-mangu saja, sementara murid-murid lain sibuk mencatat pelajaran. Ketika akhirnya ia menegur sang murid, terdengar jawaban santai: "Buku tulis saya diminta anak saya, Pak." Mudjito terpaksa berdiam diri. Untuk menghilangkan kesal hatinya, ia kembali menerangkan kepada murid-muridnya cara menyusun batu untuk sebuah bangunan. Ia berusaha agar suaranya lambat dan selalu mengeja baik-baik setiap menyebutkan satu istilah dan langsung memaparkan maknanya. Namun, rak jarang suaranya masih juga diputus oleh seorang siswa yang meminta agar penjelasannya diulang lagi. Ini terjadi di Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, di sebuah ruangan dalam Gedung Serba Guna Kelurahan Wijireja. Di situ berkumpul 10 orang siswa, peserta kursus tukang batu yang diselenggarakan MTU (Mobile Training Unit) dari Ditjen Bina Guna Depnakertrans. Proyek ini, akhir-akhir ini menyerbu desa-desa untuk memberikan berbagai ketrampilan kepada rakyat melalui instruktur atau guru yang sudah terlatih. Montir "Pada waktu pendaftaran ada 20 orang peserta, tapi setelah kursus dibuka, yang ikut hanya 10 orang. Banyak yang beranggapan jadi tukang batu tak perlu kursus," kata Mudjito, 28 tahun. Lelaki ini lulusan STM Yogya, 1974, jurusan Bangunan Air. Ia sempat bekerja di satu perusahaan pemborongan. Karena ingin dapat penghasilan tetap, pada 1975 ia melamar di Balai Ketrampilan, Dep. Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Setelah diterima Mudjito mengikuti training di Bandung. Kini statusnya pegawai negeri golongan IIa dengan gaji Rp 40.400. Tak ada yang Mudjito anggap aneh dalam pekerjaannya. "Kecuali memang harus telaten dan sabar," ujarnya. Murid-muridnya banyak yang tak tamat SD. Usia mereka juga campur aduk. Kursus diadakan setiap hari mulai pukul 7.30 sampai 12.30. Tidak melulu soal-soal bangunan. Kadangkala nyelonong ke soal pertanian, KB dan pengetahuan umum lainnya. "Masalah transmigrasi paling sering diselipkan," kata Mudjito. Ini semua agar mereka tidak bosan. "Malah sering saya selipkan dongeng juga," tambah Mudjito pula. Peserta kursus tidak dipungut bayaran. Bahkan mereka dapat pembagian buku tulis, pensil, penghapus secara cuma-cuma. Jadwal kursus ketat. Setiap minggu ada 40 pelajaran, 25 persen teori. "Sayangnya alat-alat praktek sering tak ada. Kadangkala persediaan terbatas," keluh Mudjito. Berbeda dengan kursus tukang batu, proyek montir sepeda motor memerlukan banyak biaya. Untuk sekali jalan (2 bulan), proyek ini berharga Rp 734 ribu. Instruktur dapat Rp 192 ribu, sedang para pengikut juga kebagian uang saku Rp 6.250 sebulan. Sedangkan kalau tamat, dapat lagi modal Rp 20 ribu. Tak heran kalau pesertanya banyak. Untuk itu diperlukan tes kecakapan dan latar belakang untuk mengetahui bahwa peserta benar-benar dari keluarga tak mampu membuka bengkel. Jika lulus, para peserta menerima juga sertifikat. "Menjadi tenaga pengajar MTU banyak santainya. Kalau peserta kursus capek dan minta pulang, ya diizinkan," kata Gatot Daryanto BA, instruktur montir motor di Kelurahan Widodomartani, Sleman, juga di Yogyakarta. Proyek yang dipimpinnya baru saja berakhir ujung bulan lalu. Menurut Gatot, lulusan Akademi Teknologi Nasional Semarang (1973) ini, peserta kursus montir minimal lulusan SLTP. "Susahnya, kalau pengiriman onderdil untuk praktek terlambat," ungkapnya. Kini di Indonesia baru ada 11 Balai Latihan Ketrampilan (BLK). Tersebar di Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Malang, Ujungpandang, Irian Jaya dan Yogyakarta. Di Kota Gudeg ini terdapat 4 buah, tersebar di 4 Kabupaten. Menurut Gatot, kesulitan utama yang dialami berbagai BLK adalah susahnya mendapatkan instruktur. "Mungkin karena lulusan kejuruan tidak banyak yang mau bekerja di desa," tuturnya, "sebab bekerja di desa memang tak menyenangkan karena harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang tak terorganisasikan. " Priyadi, 26 tahun, mengalami kesulitan bahasa dalam menjalankan tugasnya, di Pamekasan, Madura. Ia harus mengajarkan ketrampilan pandai besi, seperti membuat cangkul, pisau, parang dan sebagainya. "Sebagian besar mereka hampir tak bisa berbahasa Indonesia, sebaliknya saya sendiri tak bisa berbahasa Madura --sehingga saya harus selalu didampingi penerjemah," kata pemuda asal Jawa Timur ini. Kesulitan yang lain adalah soal tidak meratanya tingkat kecerdasan murid yang dihadapinya. "Kalau bodoh lebih enak bodoh semua, atau pandai semua. Dengan persamaan tingkatan itu, akan lebih mudah membimbing mereka," katanya menjelaskan. "Celakanya ada juga pemuda yang tidak bisa dan tak mampu membaca diikut sertakan." Ayah dari seorang anak ini telah mengemban tugasnya sejak 1977. Ia tak ingat lagi sudah berapa pemuda desa yang dicetaknya jadi pandai besi. Di Semarang, Suwandi, seorang instruktur tukang kayu dan tukang batu mengaku pada awal tugasnya memang terasa membosankan. Sepuluh tahun yang lalu, ketika ia mulai bekerja, batinnya tersiksa karena 3 bulan harus tercampak ke desa. "Meninggalkan keluarga, mondok di kampung, sering bikin hati ingin pulang ke kota," katanya mengenang. Kini semuanya sudah terbiasa. Apalagi dalam waktu dekat ia akan dikirim ke Jepang untuk meningkatkan kemampuannya. Selain gaji bulanan, ia juga mendapat uang transpor (Rp 10 ribu), uang mondok (Rp 20 ribu), dan insentif (Rp 25 ribu). Suwandi, 35 tahun, sering repot karena harus juga mengurus uang saku buat para pengikut kursus. Lalu timbul hal-hal lucu. "Sering ada lurah yang menitipkan anggota familinya untuk dilatih," tutur Suwandi. Yang bersangkutan ternyata tak benar-benar menuntut ilmu, hanya sekedar mengalihkan pengangguran untuk mendapat uang saku. Kalau peserta kursus melebihi jatah yang tersedia (biasanya 20 orang) Suwandi akan menyeleksi mereka dengan testing. Ia selalu curiga kalau peserta datang dari keluarga yang cukup berada. Sebab biasanya mereka kurang bersungguh-sungguh dan sering patah di tengah jalan. Suwandi juga rajin mengusut asal mula seorang peserta mau mengikuti kursus. Sebab banyak yang turut karena dipaksa lurah, padahal yang bersangkutan sebenarnya tak berminat. Instruktur ini juga sering menemukan jawaban, bahwa pengikut datang dengan tujuan memperoleh ketrampilan untuk membangun rumah sendiri. Menurut pengalaman Suwandi, biasanya yang lancar mengikuti kursus berasal dari keluarga yang tidak mampu. Tapi tak berarti tidak ada yang gagal. Misalnya, selain karena kekurangan minat, ada juga karena mendapat tawaran pekerjaan di tengah kursus. Yang sering tidak enak di perasaan, kata Suwandi, adalah lontaran kecurigaan, seakan-akan para instruktur mengobyekkan tenaga para peserta. Misalnya ketika seorang peserta diminta mengerjakan kosen pintu setelah ia menyelesaikan satu kosen sebelumnya. Mereka menyangka kosen kedua itu obyekan instruktur. Menurut Soenardjo, 35 tahun, ketua tim teknis BLK Semarang, yang paling digemari selain kursus tukang batu/kayu, adalah kursus jahit, terutama bordir. "Begitu latihan dibuka, pesertanya sudah dipesan untuk dipekerjakan di beberapa perusahaan jahit. Ini misalnya terjadi di Pekalongan," katanya. Lalu yang agak gawat adalah sektor radio. Begitu pesertanya lulus, ternyata tak banyak radio rusak yang bisa ditangani. Karena itu mereka kemudian meningkatkan lagi keahliannya ke bidang televisi dan AC. Di Cimahi, Jawa Barat, kursus menjahit tampaknya juga laku. Di kantor balai desa, sejak 2 bulan lalu, setiap sore berlangsung kursus jahit selama 66 hari. Para pesertanya tentu wanita, tua, muda. Rp 500 Eman Sulaeman, 27 tahun, instruktur jahit di Cimahi terus-terang mengatakan bahwa menjadi instruktur menyenangkan. "Memang banyak sukanya, maklum murid-murid saya perempuan melulu," katanya. Tapi cepat ia tambahkan, "godaan juga banyak, jika iman tidak kuat." la mengaku pernah mau diangkat menantu oleh seorang penduduk ketika menjadi instruktur di Subang. Ia menolak karena ia sudah berkeluarga. Malah ada seorang gadis masih nekat minta dinikahi. "Tapi untunglah sampai sekarang saya tak tergoda," kata Eman. Lelaki ini menjadi instruktur "kontrakan" sejak Juni 1980. Setiap kursus ia dikontrak Rp 500 per jam. Sehari lima jam, antara pukul 1 sampai 6 sore. "Hasilnya lumayan dibandingkan dengan waktu masih bekerja sebagai penjahit," ujarnya. Sebelum dikontrak BLK ia sempat pindah-pindah pekerjaan. Sempat jadi buruh pabrik plastik, karyawan perusahaan konpeksi, sebagai pembuat lubang kancing. Ketika seorang petugas BLK menawarinya menjadi instruktur, tak pikir panjang lagi, tugas itu ia sabet. Karena sudah punya keahlian, ia tidak dites lagi, cuma sekedar wawancara. Langsung ditempatkan di Desa Pegaden Subang. Setelah itu pindah ke berbagai tempat di Subang. Terakhir di Cimahi. Hampir semua siswa yang dididiknya sekarang sudah bekerja, membuka usaha sendiri atau menjadi tukang jahit di perusahaan konpeksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus