SUATU hari Mudjito terperangah di depan kelas. Ia menyaksikan
seorang muridnya termangu-mangu saja, sementara murid-murid lain
sibuk mencatat pelajaran. Ketika akhirnya ia menegur sang murid,
terdengar jawaban santai: "Buku tulis saya diminta anak saya,
Pak."
Mudjito terpaksa berdiam diri. Untuk menghilangkan kesal
hatinya, ia kembali menerangkan kepada murid-muridnya cara
menyusun batu untuk sebuah bangunan. Ia berusaha agar suaranya
lambat dan selalu mengeja baik-baik setiap menyebutkan satu
istilah dan langsung memaparkan maknanya. Namun, rak jarang
suaranya masih juga diputus oleh seorang siswa yang meminta agar
penjelasannya diulang lagi.
Ini terjadi di Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Yogyakarta,
di sebuah ruangan dalam Gedung Serba Guna Kelurahan Wijireja. Di
situ berkumpul 10 orang siswa, peserta kursus tukang batu yang
diselenggarakan MTU (Mobile Training Unit) dari Ditjen Bina Guna
Depnakertrans. Proyek ini, akhir-akhir ini menyerbu desa-desa
untuk memberikan berbagai ketrampilan kepada rakyat melalui
instruktur atau guru yang sudah terlatih.
Montir
"Pada waktu pendaftaran ada 20 orang peserta, tapi setelah
kursus dibuka, yang ikut hanya 10 orang. Banyak yang beranggapan
jadi tukang batu tak perlu kursus," kata Mudjito, 28 tahun.
Lelaki ini lulusan STM Yogya, 1974, jurusan Bangunan Air. Ia
sempat bekerja di satu perusahaan pemborongan. Karena ingin
dapat penghasilan tetap, pada 1975 ia melamar di Balai
Ketrampilan, Dep. Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Setelah
diterima Mudjito mengikuti training di Bandung. Kini statusnya
pegawai negeri golongan IIa dengan gaji Rp 40.400.
Tak ada yang Mudjito anggap aneh dalam pekerjaannya. "Kecuali
memang harus telaten dan sabar," ujarnya. Murid-muridnya banyak
yang tak tamat SD. Usia mereka juga campur aduk. Kursus diadakan
setiap hari mulai pukul 7.30 sampai 12.30. Tidak melulu
soal-soal bangunan. Kadangkala nyelonong ke soal pertanian, KB
dan pengetahuan umum lainnya. "Masalah transmigrasi paling
sering diselipkan," kata Mudjito. Ini semua agar mereka tidak
bosan. "Malah sering saya selipkan dongeng juga," tambah Mudjito
pula.
Peserta kursus tidak dipungut bayaran. Bahkan mereka dapat
pembagian buku tulis, pensil, penghapus secara cuma-cuma. Jadwal
kursus ketat. Setiap minggu ada 40 pelajaran, 25 persen teori.
"Sayangnya alat-alat praktek sering tak ada. Kadangkala
persediaan terbatas," keluh Mudjito.
Berbeda dengan kursus tukang batu, proyek montir sepeda motor
memerlukan banyak biaya. Untuk sekali jalan (2 bulan), proyek
ini berharga Rp 734 ribu. Instruktur dapat Rp 192 ribu, sedang
para pengikut juga kebagian uang saku Rp 6.250 sebulan.
Sedangkan kalau tamat, dapat lagi modal Rp 20 ribu. Tak heran
kalau pesertanya banyak. Untuk itu diperlukan tes kecakapan dan
latar belakang untuk mengetahui bahwa peserta benar-benar dari
keluarga tak mampu membuka bengkel. Jika lulus, para peserta
menerima juga sertifikat.
"Menjadi tenaga pengajar MTU banyak santainya. Kalau peserta
kursus capek dan minta pulang, ya diizinkan," kata Gatot
Daryanto BA, instruktur montir motor di Kelurahan Widodomartani,
Sleman, juga di Yogyakarta. Proyek yang dipimpinnya baru saja
berakhir ujung bulan lalu. Menurut Gatot, lulusan Akademi
Teknologi Nasional Semarang (1973) ini, peserta kursus montir
minimal lulusan SLTP. "Susahnya, kalau pengiriman onderdil untuk
praktek terlambat," ungkapnya.
Kini di Indonesia baru ada 11 Balai Latihan Ketrampilan (BLK).
Tersebar di Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung,
Semarang, Solo, Malang, Ujungpandang, Irian Jaya dan Yogyakarta.
Di Kota Gudeg ini terdapat 4 buah, tersebar di 4 Kabupaten.
Menurut Gatot, kesulitan utama yang dialami berbagai BLK adalah
susahnya mendapatkan instruktur. "Mungkin karena lulusan
kejuruan tidak banyak yang mau bekerja di desa," tuturnya,
"sebab bekerja di desa memang tak menyenangkan karena harus
berhadapan dengan kelompok-kelompok yang tak terorganisasikan. "
Priyadi, 26 tahun, mengalami kesulitan bahasa dalam menjalankan
tugasnya, di Pamekasan, Madura. Ia harus mengajarkan ketrampilan
pandai besi, seperti membuat cangkul, pisau, parang dan
sebagainya. "Sebagian besar mereka hampir tak bisa berbahasa
Indonesia, sebaliknya saya sendiri tak bisa berbahasa Madura
--sehingga saya harus selalu didampingi penerjemah," kata pemuda
asal Jawa Timur ini. Kesulitan yang lain adalah soal tidak
meratanya tingkat kecerdasan murid yang dihadapinya.
"Kalau bodoh lebih enak bodoh semua, atau pandai semua. Dengan
persamaan tingkatan itu, akan lebih mudah membimbing mereka,"
katanya menjelaskan. "Celakanya ada juga pemuda yang tidak bisa
dan tak mampu membaca diikut sertakan."
Ayah dari seorang anak ini telah mengemban tugasnya sejak 1977.
Ia tak ingat lagi sudah berapa pemuda desa yang dicetaknya jadi
pandai besi.
Di Semarang, Suwandi, seorang instruktur tukang kayu dan tukang
batu mengaku pada awal tugasnya memang terasa membosankan.
Sepuluh tahun yang lalu, ketika ia mulai bekerja, batinnya
tersiksa karena 3 bulan harus tercampak ke desa. "Meninggalkan
keluarga, mondok di kampung, sering bikin hati ingin pulang ke
kota," katanya mengenang. Kini semuanya sudah terbiasa. Apalagi
dalam waktu dekat ia akan dikirim ke Jepang untuk meningkatkan
kemampuannya. Selain gaji bulanan, ia juga mendapat uang
transpor (Rp 10 ribu), uang mondok (Rp 20 ribu), dan insentif
(Rp 25 ribu).
Suwandi, 35 tahun, sering repot karena harus juga mengurus uang
saku buat para pengikut kursus. Lalu timbul hal-hal lucu.
"Sering ada lurah yang menitipkan anggota familinya untuk
dilatih," tutur Suwandi. Yang bersangkutan ternyata tak
benar-benar menuntut ilmu, hanya sekedar mengalihkan
pengangguran untuk mendapat uang saku. Kalau peserta kursus
melebihi jatah yang tersedia (biasanya 20 orang) Suwandi akan
menyeleksi mereka dengan testing. Ia selalu curiga kalau peserta
datang dari keluarga yang cukup berada. Sebab biasanya mereka
kurang bersungguh-sungguh dan sering patah di tengah jalan.
Suwandi juga rajin mengusut asal mula seorang peserta mau
mengikuti kursus. Sebab banyak yang turut karena dipaksa lurah,
padahal yang bersangkutan sebenarnya tak berminat. Instruktur
ini juga sering menemukan jawaban, bahwa pengikut datang dengan
tujuan memperoleh ketrampilan untuk membangun rumah sendiri.
Menurut pengalaman Suwandi, biasanya yang lancar mengikuti
kursus berasal dari keluarga yang tidak mampu. Tapi tak berarti
tidak ada yang gagal. Misalnya, selain karena kekurangan minat,
ada juga karena mendapat tawaran pekerjaan di tengah kursus.
Yang sering tidak enak di perasaan, kata Suwandi, adalah
lontaran kecurigaan, seakan-akan para instruktur mengobyekkan
tenaga para peserta. Misalnya ketika seorang peserta diminta
mengerjakan kosen pintu setelah ia menyelesaikan satu kosen
sebelumnya. Mereka menyangka kosen kedua itu obyekan instruktur.
Menurut Soenardjo, 35 tahun, ketua tim teknis BLK Semarang, yang
paling digemari selain kursus tukang batu/kayu, adalah kursus
jahit, terutama bordir. "Begitu latihan dibuka, pesertanya sudah
dipesan untuk dipekerjakan di beberapa perusahaan jahit. Ini
misalnya terjadi di Pekalongan," katanya. Lalu yang agak gawat
adalah sektor radio. Begitu pesertanya lulus, ternyata tak
banyak radio rusak yang bisa ditangani. Karena itu mereka
kemudian meningkatkan lagi keahliannya ke bidang televisi dan
AC.
Di Cimahi, Jawa Barat, kursus menjahit tampaknya juga laku. Di
kantor balai desa, sejak 2 bulan lalu, setiap sore berlangsung
kursus jahit selama 66 hari. Para pesertanya tentu wanita, tua,
muda.
Rp 500
Eman Sulaeman, 27 tahun, instruktur jahit di Cimahi terus-terang
mengatakan bahwa menjadi instruktur menyenangkan. "Memang banyak
sukanya, maklum murid-murid saya perempuan melulu," katanya.
Tapi cepat ia tambahkan, "godaan juga banyak, jika iman tidak
kuat." la mengaku pernah mau diangkat menantu oleh seorang
penduduk ketika menjadi instruktur di Subang. Ia menolak karena
ia sudah berkeluarga. Malah ada seorang gadis masih nekat minta
dinikahi. "Tapi untunglah sampai sekarang saya tak tergoda,"
kata Eman.
Lelaki ini menjadi instruktur "kontrakan" sejak Juni 1980.
Setiap kursus ia dikontrak Rp 500 per jam. Sehari lima jam,
antara pukul 1 sampai 6 sore. "Hasilnya lumayan dibandingkan
dengan waktu masih bekerja sebagai penjahit," ujarnya. Sebelum
dikontrak BLK ia sempat pindah-pindah pekerjaan. Sempat jadi
buruh pabrik plastik, karyawan perusahaan konpeksi, sebagai
pembuat lubang kancing.
Ketika seorang petugas BLK menawarinya menjadi instruktur, tak
pikir panjang lagi, tugas itu ia sabet. Karena sudah punya
keahlian, ia tidak dites lagi, cuma sekedar wawancara. Langsung
ditempatkan di Desa Pegaden Subang. Setelah itu pindah ke
berbagai tempat di Subang. Terakhir di Cimahi. Hampir semua
siswa yang dididiknya sekarang sudah bekerja, membuka usaha
sendiri atau menjadi tukang jahit di perusahaan konpeksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini