Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Suku sakai bercaturwarga ?

Suku terasing sakai di kab. bengkalis, riau dimukimkan di pinggir hutan, 110 km dari pakanbaru. mereka merasa terperangkap janji-janji muluk, tak ada pekerjaan karena kontraktor mendatangkan pekerja dari luar.

13 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMBERIKAN ceramah kependudukan di Jawa, Bali dan Lombok cukup enak dan mudah. Dari sudut mana saja masalahnya bisa disingkapkan dengan meyakinkan. Semua dimensinya mencuat. Imajinasi yang dangkal sekalipun sanggup menjamah persoalan kependudukan secara memadai. Kalau mau sedikit dramatis, bisa disodorkan kisah tragis di Lombok. Bisa dicuplik cerita Putu Arya Tirtawirya yang melukiskan betapa maut menggerayangi Lombok Selatan di musim paceklik. Dalam cerita Seekor gagak menggarisnya dari arah kampung, berkata Putu perihal gadis Rini yang kelaparan: "Kemarin ibunya, selang sehari dengan adik laki enam tahun. Kehilangan yang berturutan: beras - jagung ubi - dedaunan - bungkil pisang - umbi gadung yang memabukkan - ibu dan adik. Esok lusa ayah? Sang ayah mengerang." Lain ceritanya kalau ceramah diberikan di Banda Aceh, Padang atau Pakanbaru. Tidak mudah ditangani. Memang mereka sudah dengar perihal Pulau Harapan yang bakal karam mengikuti jejak Pulau Jawa, sebab pertumbuhan penduduk yang ngetop. Tapi kedengarannya seperti dongeng, karena bukankah hutan Sumatera begitu luas? Malah masalah gangguan gajah dan harimau biasanya menjadi perbincangan yang lebih menarik daripada bahaya pertambahan penduduk. Dan tidak jarang penceramah kewalahan sebab orang Sumatera suka tanya macam-macam. -- Kami diajak berkabe. Kami diajak berpancawarga, stop setelah tiga anak. Kami diajak bercaturwarga, stop setelah dua anak. Mengapa kami disuruh membatasi jumlah anak, membatasi jumlah penduduk? Sedangkan di pihak lain didatangkan transmigran ke daerah kami. Mengapa begitu? Minta penjelasan. Gawat. Kalau dikatakan transmigran itu petani maju, lebih maju dari petani Sumatera, buktinya kurang lengkap. Apalagi kalau yang datang itu bekas gelandangan, yang nyata lebih mahir mengolah puntung rokok daripada mengolah tanah. Maka terpaksalah dijawab dengan samar-smar: itu kebijaksanaan Pemerintah maksud Pemerintah meningkatkan kesejahteraan bangsa, meratakan pembangunan, meningkatkan asimilasi, meningkatkan ketahanan nasional. Namun, pembaca yang budiman, kalau kita maklum liku-liku kehidupan suku terasing Sakai di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, persoalan penduduk Sumatera menjadi jernih, sejernih Sungai Siak. Seperti orang Sumatera lainnya, orang Sakai seperti balam, mata lepas badan terkurung. Mereka tinggal di hutan atau di pinggir hutan tapi dilarang menebang pohon. Kalau mau selamat, sesungguhnya mereka perlu berkabe, stop setelah dua anak. Orang-orang Sakai yang sudah dimukimkan di suatu tempat, di pinggir hutan 110 km dari Pakanbaru, punya kisah begini. Tiap keluarga dapat rumah dari Pemerintah, tambah tanah kering satu HA, tambah alat rumah tangga, tambah kapak dan cangkul. Di samping itu beras empat kilogram per jiwa per bulan, dan garam. -- Kami di sini seperti masuk perangkap, Pak. Dulu kami menerima janji yang muluk-muluk, kami akan dimajukan, pendidikan dan kesehatan akan diperbaiki, katanya kesejahteraan akan ditingkatkan. Tapi nyatanya .... Niat Pemerintah memang jelas terurai dalam kata dan gambar yang ditempelkan dengan rapi di dinding: "Mari Belajar", "Mari Hidup Sehat", "Mari Membangun Bersama." Tapi masih jauh rupanya, jauh sekali. -- Bagaimana bisa sejahtera, Pak. Uang masuk tidak ada. Pekerjaan tidak ada. Entah mengapa, pekerjaan upahan tidak diberikan kepada kami. -- Misalnya? -- Misalnya, kontraktor tidak mau memberikan pekerjaan apa pun. Sebodoh-bodohnya kami, paling tidak jaga malam kan sanggup. Kami biasa di hutan, kan bisa jaga malam? Itu pun tidak. Pekerja didatangkan dari luar. Beberapa kali diulanginya: masuk perangkap. Dia merasa getir. Getir karena hutan pun ternyata sudah dimiliki orang. Dan mereka pun ditakut-takuti. Awas, kalau mengganggu hutan. Awas, kalau mengambil kayu dari hutan milik pemegang HPH. Dilarang mengambil kayu gelondongan. Dan kepada mereka dijelaskan peran poster yang berbunyi: "Selamatkan Hutan, Air dan Tanah Kita." Tanah kering yang mereka terima satu HA jauh lebih kecil daripada jatah para transmigran. Mengapa mereka, yang jumlah jiwanya tak seberapa ini, tidak bisa disamakan dengan transmigran, wallahualam. Sulit diterangkan memang. Karena bukankah kita sudah sepakat meningkatkan harkat mereka sebagai manusia, diintegrasikan seutuhnya dalam kehidupan bangsa? Dengan asumsi begitu jauh tercecer dalam proses perubahan dan kemajuan, persoalan etika yang begitu mendasar tidak kita perdebatkan lagi, seperti halnya kita tidak mempertanyakan Proyek Koteka dan yang sejenisnya. Tidak dipertanyakan: apakah bijaksana membongkar kehidupan dan kebudayaan suku terasing sampai ke akar-akarnya? Katakan lah tindakan itu bisa dibenarkan, tetapi apakah sudah dilakukan semua daya upaya agar mereka tidak tercecer lagi? Dan apakah mereka tidak semakin tercecer lantaran terkatung-katung antara dua dunia? Apa makna tanah kering satu HA? Dari segi masalah kependudukan seyogyanya orang Sakai tidak lagi memecah-mecah tanah satu HA itu. Demi keselamatan petak tanah itu dan demi kelangsungan hidup mereka sendiri, mereka perlu konsekuen beranak dua. Tidak peduli hutan Riau begitu luas, tidak peduli berapa prosen hutan di tangan pemegang HPH, tidak peduli gajah banyak atau sedikit, suku Sakai memerlukan caturwarga. Mereka memerlukan pamflet caturwarga di samping pamflet lainnya yang sudah beredar: "Mari Belajar", "Mari Hidup Sehat", Mari Membangun Bersama", "Selamatkan Hutan, Air dan Tanah Kita."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus