DUA orang tamu dari mancanegara, begitu ceritanya, berkunjung ke
sebuah pengadilan di Jakarta. Kebetulan acaranya hanya
pengadilan perkara sumir. Kepada sesama kolega advokat di sini,
kedua tamu itu serentak bertanya: "Mana pembela mereka?" Yang
ditanya, Ketua Peradin Jakarta, Yan Apul, meneruskan pertanyaan
tersebut ke dalam hatinya: "Ya, kenapa tidak tersedia pembela
bagi mereka?"
Jawabnya ini: Peradin Jaya perlu membuka pos bantuan hukum di
pengadilan-pengadilan untuk melayani permintaan mendadak pencari
keadilan secara cuma-cuma. Hanya saja, begitulah kenyataannya,
cuma Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur (waktu itu)
Bismar Siregar, yang menyambut baik Posbakum (Pos Bantuan
Hukum). Sebuah sudut di bawah tangga pengadilan agaknya cukup
memadai.
Hasilnya memang nyata. Diresmikan dua tahun lalu, 30 pembela
yang sebagian mahasiswa hukum, telah menangani hampir seribu
perkara. Puluhan di antara tersangka, kata Yan Apul, ternyata
dibebaskan. "Setidaknya kami telah membantu menyelamatkan
puluhan orang korban salah tangkap," kata Yan Apul.
Posbakum tak memungut bayaran dari yang dibelanya. Biaya pos
memang tak begitu besar, Rp 500 ribu setahun, sekedar untuk
alat-alat kantor dan konsumsi pembela. Itu bisa diperoleh dari
kantung advokat. I Wayan Sudira, Ketua Pos, mengerahkan
pembelanya mengurus berbagai macam perkara seperti pencurain,
penganiayaan, sampai kejahatan susila.
Kongres para advokat di Bandung baru-baru ini menyambut baik
Posbakum. Diminta agar LBH mengembangkan gagasan tersebut di
daerah. Sebab, lembaga dan badan-badan bantuan hukum yang kini
tumbuh di hampir setiap daerah, masih terasa jauh dari jangkauan
kebutuhan.
Pertumbuhan lembaga atau badan-badan bantuan hukum -- yang
setengah atau gratis sama sekali -- belakangan memang bukan
main. Di Jakarta saja sudah seperti tak terhitung lagi. Dalam
musyawarah nasional pemberi bantuan hukum pertengahan bulan
lalu, berkumpul tak kurang 9 organisasi -- belum semua
organisasi ikut serta.
YOGYA
Pun di kota gudeg ini, menurut seorang advokat di sana,
sampai-sampai sulit menentukan berapa organisasi pemberi bantuan
hukum. Menurut hitungan sepintas lalu Advokat Sudjito dari KSBH
(Kelompok Studi dan Bantuan Hukum) ada 14 buah -- belum termasuk
LBH Peradin.
LP3H (Lembaga Pengkajian, Penerangan dan Penyuluhan Hukum) lewat
dua tahun lalu diresmikan Buyung Nasution pada Hari Hak Asasi
Manusia. Kini hampir kehabisan napas. "Kantornya masih ada,"
ujar Direkturnya, Kamal Firdaus, "tapi pegawainya tak ada lagi
-- kami tak mampu menggaji mereka."
Dulu LP3H punya 6 pengacara (4 sarjana dan 2 sarjana muda hukum)
dan sudah mengurus sekitar 150 perkara. Dana dari para advokat
dan notaris yang diharapkannya macet. Dari Pemda tak pernah
dapat. Sedangkan mau minta ke luar negeri, kata Kamal, ogah
mengurus prosedur yang berbelit-belit.
KSBH merasa lebih cerah. Anggota kelompok ini tak melulu ahli
hukum dan mewakili pula macam-macam kelompok suku, agama dan
ormas, seperti kata Sudjito. Seperti juga LP3H, yang sudah
dahulu, KSBH juga menjalin kerjasama dengan LBH Peradin di
Jakarta. Semula Peradin menyangka KSBH dan LP3H bergabung dengan
LBE Peradin Yogya di bawah Yayasan LBHI. Ternyata, seperti kata
Sudjito, "KSBH hanya bersedia kerjasama -- bukan melebur diri."
MEDAN
Hitung-hitung setidaknya ada 4 organisasi pemberi bantuan hukum
di Medan. Organisasi tani (HKTI) punya Lembaga Penyuluhan dan
Bantuan Hukum (LPBH), Organisasi buruh (FBSI) Sum-Ut punya Tim
Bantuan Hukum (TBH). Fakultas Hukum USU lebih dulu punya Biro
Bantuan Hukum (BBH) daripada Peradin.
Diketuai Prof. Nyonya Anni Abbas Manopo (72 tahun), BBH diasuh
pula oleh dua orang dosen, serta memperoleh dana lumayan juga.
Pemda pernah menyumbang Rp 2,5 juta. Dari Jakarta turun pula Rp
2,5 juta. Dari itu sudah ratusan perkara -- umumnya menyangkut
petani yang diserobot tanahnya -- yang digarap BBH.
SURABAYA
Selain punya Biro Bantuan Hukum (BBH) di Fakultas Hukum Unair,
yang didirikan lebih 10 tahun lalu, Surabaya setidaknya kini
punya LBH Peradin dan Biro Bantuan dan Konsultasi Hukum Putra
Surabaya (Pusura).
Mula-mula BBH hanya menerima klien di kampus. Belakangan
kegiatannya meningkat: membentuk pos bantuan hukum di luar.
Pertama, pos beroperasi di Kecamatan Wonocolo, sebelah selatan
kota. Dari situ pindah ke Sukolilo. Lebih seratus perkara masuk
melalui pos tersebut.
Juga ada pos bantuan hukum keliling kota dan desa. Mengumpulkan
perangkat dan tokoh-tokoh masyarakat. Di situ ditampung segala
persoalan yang sebisabisa dibantu pemecahannya menurut
pertimbangan hukum. Dalam waktu dekat menurut Dekan Fakultas
Hukum, Dr. Sahetapy, BBH juga akan menempatkan posnya dekat
pengadilan. Dananya yang belum ada. Ditangani 15 dosen yang
melayani klien secara gratis, menurut Wakil Ketua BBH
Wisnususanto, fakultas memang memberi dana bantuan hukum Rp 2,5
juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini