TATKALA malam kian larut, dan jangkrik sudah mulai berkencan di
bawah pokok-pokok tembakau yang sebentar lagi diangkut ke kapal
menuju Bremen, buku buruk yang dipungutnya dari tong sampah
rumah Bupati dibuka-bukanya helai demi helai. Pastilah buku
rombengan, kalau tidak mana mungkin dicampakkan dari lemari
kabupaten. Lemari yang mulia hanya menyimpan buku-buku mulia -
setidaknya tumpukan kertas mulia - yang penuh belaka dengan
angka kekayaan dan pembangunan daerah Jenggawah. getiap Bupati
yang pandai senantiasa punya kebiasaan membuang buku tak berguna
ke tong sampah, kalau tidak ke comberan. Buku itu buku Fyodor M.
Dostoevsky. Dari mana pula asal orang ini? Jangan-jangan dari
Sukorejo.
Disimaknya ogah-ogahan. Oh, soal tanah! Heran juga dia di
mana-mana orang bicara tanah, pemukiman para cacing dan pijakan
telapak turun-temurun. Feodalisme mempersilakan menginjak-injak
lengkap dengan petaninya sekaligus hingga terampun-ampun.
Kolonialisme memasukkannya sekali sapu ke dalam kantung dan
tinggal di sana hingga orang membabat kepalanya dengan parang.
Sungguh suatu sumber derita dan sekaligus sumber kehidupan yang
tanpanya makhluk hidup akan melayang-layang di langit atau
berhamburan bagai laron.
Alyosha, kata Zossima dalam buku itu, biasakanlah letakkan kamu
punya jidat menyentuh tanah, ciumlah dia sehabis cium, cintailah
tanah itu sepenuh hati dan sehabis cinta, karena tanah itu
adalah segala-galanya. Dan Alyosha mematuhi petuah Zossima walau
yang bersangkutan sudah berangkat ke alam baka. Tanpa malu-malu
dikecupnya tanah tiap saat, dadanya berombak oleh sedu dan
sedan, dipeluknya dengan geram seperti memeluk bunda yang
bertahun lenyap terbawa angin. Tanahku, kasihku!
Begitu Alyosha begitu pula Maria Lebyadkina yang malah lebih
gila-gilaan lagi. Buat orang Rusia, katanya dengan bibir
gemetar, tanah itu adalah "ibunda yang dipersembahkan kepada
kita dari Tuhan Yang Maha Kuasa" yang mesti dipeluk sambil
sembahyang menghadapnya. Masya Allah, begitu benar kemuliaan
sepotong tanah. Jangan-jangan (pikirnya) Fyodor M. Dostoevsky
ini hanya sekedar seorang penghasut atau suruhan dari PTP XXVII!
Ini patut dicurigai, diawasi, ditertibkan, dan kalau perlu
ditatar habis-habisan supaya keinsyafannya pulih seperti
sediakala. Syukur-syukur Kodim Jember sudi bertundak supaya
perkaranya jadi ringkas. Bukankah menurut kabar Fyodor M.
Dostoevsky sudah terbiasa diamankan di Siberia oleh Tsar Nicolas
II? Pengamanan ulang tidak akan berarti apa-apa baginya.
Tiba-tiba mata anak Jenggawah ini lebih membelalak dari biasanya
(apalagi lampu petromak sudah mulai menyusut sinarnya). Rupanya
buku brengsek yang dipungutnya dari tong sampah rumah Bupati
Jember itu namanya The Idiot, buku ihwal orang sinting. Hanya
orang sinting yang membikin buku perihal orang sinting. Bukankah
begitu banyak pembesar dan pejabat yang mulia bisa dikisahkan,
kenapa memilih orang sinting? Tak syak lagi, satu-satunya ilmu
yang dituntutnya di bangku sekolah hanyalah cara bagaimana bikin
resah, dan ini mesti ditumpas setumpas-tumpasnya hingga
serbuknya pun tidak boleh bersisa.
Coba saja pikir tenang-tenang. Hatta tokoh Myshkin -- tak peduli
betapa sucinya dia di mata Dostoevsky sampai-sampai nekat
berkata: "Barangsiapa tidak memiliki tanah punya sendiri
berarti dia pun tidak memiliki Tuhan." Ini sudah kelewat batas.
Ini sudah lebih dari cukup. Ini sudah mengada-ada. Ini sudah
cari perkara. Ini sudah mengganggu ketertiban umum. Ini sudah
mesti digiring ke kantor. Apa pula yang sudah ditelan oleh orang
Sukorejo ini (maaf, orang Rus ini) sehingga sarafnya jadi begitu
berantakan?
Buku buangan Bupati ke tong sampah itu lekas-lekas dicampakkan
ke bawah lemari. Selain membikin hatinya kacau balau, juga
membuat matanya mengantuk. Dia pun mengambil keputusan duduk di
depan rumah' menatap ke arah kebun tembakau yang cuma disinari
oleh sinar bintang kemintang, dan memaki-maki dalam hatinya:
"Persetan dengan semuanya itu!!!" Fyodor M. Dostoevsky boleh
ngomong seenak hati supaya mencintai tanah dan mengecupnya
dengan bibir sampai air mata berlinang-linang, tapi dia toh cuma
orang Rus. Dia sama sekali bukan orang Jenggawah. Tahu pun dia
tidak di mana letak Jenggawah itu. Ngomong mah meunang!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini