Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sadfishing menjadi istilah yang relatif baru dalam dunia daring yang merujuk pada praktik memposting konten pribadi yang emosional atau dramatis untuk mendapatkan simpati atau perhatian dari komunitas online.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meskipun istilah ini mungkin baru, perilaku suka mencari perhatian, baik secara daring maupun luring, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Namun, dengan maraknya penggunaan media sosial, tuduhan sadfishing semakin sering muncul, sering kali merujuk pada orang-orang yang dianggap mencari perhatian, baik secara sengaja maupun tidak. Hal ini menciptakan dilema: bagaimana kita bisa membedakan antara mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan dan mereka yang hanya mencari perhatian?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti yang dilansir dari Psychology Today, suka mencari perhatian adalah hal yang wajar bagi manusia, sebagai makhluk sosial. Kita semua ingin merasa dicintai dan diterima, yang merupakan faktor utama dalam kesejahteraan emosional kita. Namun, sadfishing melibatkan manipulasi—sebuah tindakan melebih-lebihkan atau berpura-pura mengalami kesulitan untuk mendapatkan perhatian.
Ketika seseorang melabeli sebuah kiriman sebagai sadfishing, itu adalah penilaian subjektif dari pembaca, bukan dari pengirim kiriman. Keaslian konten sulit untuk diukur. Meskipun beberapa individu mungkin berlebihan untuk mendapatkan respons, ada juga kemungkinan bahwa kiriman tersebut merupakan cara untuk mencari dukungan atau sekadar berbagi perasaan di tengah tekanan emosional.
Ada banyak alasan mengapa orang cepat menuduh sebuah postingan sebagai sadfishing. Sebagian orang merasa bahwa mencari perhatian melalui cara yang menyedihkan adalah penipuan yang menjijikkan. Namun, respons emosional kita seringkali menunjukkan bahwa orang cenderung berempati dan terhubung dengan konten yang dramatis. Ketika seseorang merasa tertipu, itu bisa memicu kemarahan dan perilaku defensif. Memberi label sadfishing pada kiriman tersebut sering kali berfungsi untuk merendahkan nilai konten dan mengembalikan kendali bagi mereka yang merasa terjebak.
Dilansir dari laman Parents, fenomena sadfishing juga terkait erat dengan cancel culture, di mana validitas perasaan atau pengalaman seseorang bisa diabaikan. Penilaian ini biasanya bersifat reaktif dan tidak memerlukan penyelidikan mendalam. Memberi label sebuah unggahan sebagai sadfishing adalah upaya untuk membatalkan pengalaman emosional di balik kiriman tersebut. Meskipun beberapa kiriman mungkin benar-benar melanggar batas, seperti contoh pengungkapan emosional yang bermotif komersial, memberi label pada semua kiriman dramatis sebagai sadfishing dapat menjadi bentuk perundungan siber.
Akan lebih baik jika kita memberi keuntungan dari keraguan kepada teman dan orang terdekat, berusaha untuk mengasumsikan bahwa kesusahan mereka adalah nyata hingga terbukti sebaliknya. Terutama bagi remaja, kebutuhan untuk terhubung secara sosial sangat kuat. Interaksi sosial membantu mereka menavigasi dunia emosional dan identitas mereka.
Perhatian adalah fungsi kognitif yang kompleks, di mana kita secara otomatis memperhatikan hal-hal yang tidak biasa untuk menilai ancaman, terutama yang bersifat negatif. Dalam dunia media sosial yang tak terbatas, konten emosional seringkali menjadi faktor penentu dalam menarik perhatian kita. Media sosial mempermudah komunikasi, meskipun terkadang menyamarkan kepentingan relatif setiap unggahan. Dalam konteks ini, sadfishing dapat dilihat sebagai manifestasi dari kebutuhan mendalam akan koneksi sosial, meskipun juga membawa risiko manipulasi.
Media sosial adalah alat yang efektif untuk merasakan koneksi, dukungan, dan menjadi bagian dari komunitas. Mengungkapkan pikiran dan perasaan secara terbuka dapat memperbaiki suasana hati kita, dan umpan balik dari orang lain dapat membantu menormalkan pengalaman yang kita alami.
Namun, media sosial juga memiliki sisi negatif. Kontennya bersifat permanen dan dapat dicari, sehingga tidak ada yang benar-benar bersifat pribadi. Ekspresi kesedihan yang berlebihan bisa menjadi bagian dari identitas digital kita, yang dapat diakses oleh siapa saja, mulai dari keluarga hingga perekrut kerja. Selain itu, berbagi emosi secara terbuka berisiko membuat kita dituduh melakukan sadfishing, yang bisa sangat menyakitkan, terutama jika kita benar-benar merasa sedih.