Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Kesehatan

Jaga Kesehatan Penglihatan dengan Segera Periksa Degenerasi Makula

Degenerasi makula terkait usia (AMD) butuh penanganan segera agar tak berujung perburukan kondisi. Berikut penjelasan dokter mata.

15 Oktober 2021 | 10.53 WIB

ilustrasi periksa mata (pixabay.com)
Perbesar
ilustrasi periksa mata (pixabay.com)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Degenerasi makula terkait usia (AMD) butuh penanganan segera agar tak berujung perburukan kondisi. Pada kasus AMD, khususnya tipe basah, pasien bisa mengalami kondisi penglihatan yang semakin memburuk apabila tak mendapatkan penanganan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI), dr. M. Sidik, Sp.M(K), mengatakan gangguan penglihatan dan kebutaan akibat AMD terjadi secara perlahan dan progresif sehingga memerlukan pemantauan ketat serta kontrol dokter dan pengobatan berkala Dia mengakui situasi pandemi COVID-19 bisa menyulitkan pengobatan tetapi pasien diharapkan tetap bersemangat dan tidak takut ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan sehingga tidak terjadi kondisi penglihatan yang memburuk dan menurunkan kualitas hidup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AMD merupakan kerusakan makula, yaitu pusat fokus penglihatan pada retina mata. Terjadinya perubahan anatomi makula yang menyebabkan gangguan fungsi penglihatan, mulai dari distorsi bentuk atau penglihatan buram hingga buta pada penglihatan sentral. Akibatnya, pasien tidak dapat membaca, menulis, bahkan melihat wajah orang di hadapannya, ungkap dokter spesialis mata konsultan dari RSCM-FKUI, Dr. dr. Gitalisa Andayani, Sp.M(K).

“Ini menunjukan bahwa AMD merupakan penyakit mata yang perlu diwaspadai,” katanya.

Prevalensi AMD tahap awal di seluruh dunia pada pasien berusia 45 dan 85 tahun sekitar 8 persen dan AMD tahap lanjut sebesar 0,4 persen. Hampir 288 juta orang diperkirakan memiliki AMD pada 2040. Indonesia, berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan 2018, termasuk satu dari lima negara dengan jumlah penduduk yang mengalami gangguan penglihatan terbanyak selain Cina, India, Pakistan, dan Amerika Serikat.

AMD terbagi menjadi dua jenis, yakni AMD kering dan basah. Pada AMD kering terjadi kerusakan makula secara bertahap, biasanya selama bertahun-tahun karena sel retina mati dan tidak beregenerasi. Gitalisa mengatakan sekitar 10-15 persen AMD kering akan berkembang menjadi AMD basah. Sementara pada AMD basah, terjadi pertumbuhan pembuluh darah abnormal ke dalam makula sehingga terjadi perdarahan atau akumulasi cairan di makula. Akibatnya, akan timbul jaringan parut pada makula yang menyebabkan pasien kehilangan penglihatan sentral atau kebutaan.

AMD basah diketahui sering berkembang sangat cepat dan menyebabkan kehilangan daya lihat yang sangat signifikan. Usia menjadi faktor risiko utama AMD. Biasanya, kondisi ini terjadi pada yang berusia di atas 60 tahun tetapi bisa juga terjadi lebih awal. Di sisi lain, genetik dan kebiasaan merokok juga bisa meningkatkan risiko AMD.

“Mereka yang memiliki faktor risiko ini tentu harus waspada karena jika tidak ditangani dengan baik AMD bisa mengakibatkan komplikasi hingga kebutaan, bahkan juga mempengaruhi kesehatan mental seperti risiko depresi dan isolasi sosial yang lebih tinggi,” ujar Gitalisa.

Terkait pengobatan, pada AMD kering biasanya tidak mengakibatkan kehilangan penglihatan total dan saat ini belum ada pengobatan yang efektif. Hal ini berbeda dengan terapi pada AMD basah yang telah mengalami perkembangan pesat dalam dua dekade terakhir, salah satunya menggunakan Aflibercept untuk menghambat faktor pertumbuhan endotel antivaskular (vascular endothelial growth factor atau VEGF).

Terapi dengan Aflibercept dilakukan dengan cara memberi suntikan ke dalam bola mata (intravitreal), untuk memperlambat pertumbuhan pembuluh darah abnormal dan mencegah kerusakan makula lebih lanjut sehingga mencegah kebutaan. Studi ALTAIR pada 2020 menunjukkan terapi Aflibercept intravitreal pada penderita AMD tipe basah dapat memperpanjang jarak interval pengobatan dalam rejimen treat-and-entend (T&E) dengan penyesuaian dua atau empat minggu.

Hasil terapi menunjukkan perbaikan penglihatan dan anatomi makula pada pasien yang sebelumnya belum pernah menggunakan pengobatan selama 52 minggu sekaligus mengurangi beban pengobatan. Studi ini menunjukan 40 persen pasien bisa berobat empat bulan sekali dan 60 persen lain tiga bulan sekali.

Sebelumnya, pasien harus datang untuk perawatan AMD basah setiap dua bulan sekali. Gitalisa berharap dengan interval terapi lebih lama, terlebih dalam masa pandemi COVID-19, jumlah kunjungan dan beban ekonomi pasien dapat berkurang. Terapi Aflibercept intravitreal dikatakan efektif pada satu sub-tipe AMD tipe basah yaitu Polypoidal Choroidal Vasculopathy (PCV), yang paling sering terjadi pada ras Asia sehingga disebut Asian AMD.

Sekitar 25–50 persen pasien Asia dengan AMD juga memiliki PCV. Pada masa pandemi saat ini, pasien khususnya AMD tipe basah diharapkan tak lagi khawatir menjalani pengobatan di rumah sakit.

Lebih lanjut, khusus yang tak mengalami degenarasi makula atau AMD atau kondisi gangguan penglihatan lain, sesuai imbauan pada Hari Penglihatan Sedunia 2021 pada 15 Oktober, Gitalisa mengingatkan agar tak lupa melakukan pemeriksaan mata minimal sekali dalam setahun, terutama ketika mulai menginjak usia 40 tahun, serta mendeteksi berbagai gangguan mata degeneratif termasuk AMD.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus