PERCOBAAN lapangan untuk obat TBC lifampicin pada taraf paling
awal sudah mengalami keterlambatan. Sampai akhir Agustus obat
yang sudah dipesan dari pabrik Cibageigy itu masih tertumpuk di
salah satu gudang Departemen Kesehatan, Jakarta. Padahal menurut
rencana semula, obat itu udall harus sampai di lapangan sejak
Juli Yang lalu. Obat tersebut akan dicobakan terhadap 2000
pasien TBC di seluruh Jawa, Bali, Kalimantan Barat dan Sumatera
Barat.
Apa yang dicemaskan sementara dokter akan jalannya percobaan itu
jadi dapat angin. Mereka beranggapan pemberantasan TBC yang
kurang berhasil selama ini dengan menggunakan streptomycin dan
INH (yang jadi alasan percobaan ini), bukan disebabkan oleh
kurang mampunya obat lama tersebut. Aparat yang lemah jadi
penyebab (TEMPO 2 Juli 1977). Meskipun mereka mengakui bahwa
keampuhan obat lama itu, terutama INH, sudah menurun sampai 35
persen. Tetapi timbulnya kekebalan penyakit terhadap obat itu
pun tak lepas dari kurangnya pengawasan terhadap penggunaan obat
tersebut oleh para dokter. "Seharusnya tidak setiap penyakit
batuk dan kurang nafsu makan, terutama bagi anak kecil diberi
INH. Penggunaan obat ini tidak pernah dicatat dengan baik, tak
pernah ada kewajiban dokter untuk melaporkannya kepada
pemerintah kalau dia menuliskan resep untuk obat tersebut.
Pemakaian yang serampangan tentu saja bisa mengakibatkan
kebalnya kuman penyakit,' kata seorang peserta dalam kongres
penyakit paru beberapa waktu yang lalu, di Hotel Horison,
Jakarta.
Akan keterlambatan penyaluran Rifampicin tersebut ke berbagai
daerah, Kepala Sub Direktorat Penyakit TB Paru, Depkes, dr AS
Gunardi mengatakan: "Ini baru mulai, tentu ada kekurangan di
sana-sini. Dan percobaan lapangan ini diadakan justru untuk
mengetahui di mana kelemahan dan pelaksanaan pengobatan. Kalau
memang ada."
Peralihan dari obat lama ke obat baru nampaknya sudah menjadi
ketetapan hati para pejabat Departemen Kesehatan. Apalagi
percobaan klinis yang dilaksanakan di Malang dan Bali belum lama
ini, menunjukkan hasil yang sangat memuaskan untuk Rifampicin.
Lebih dari 90% penderita TBC paru yang disembuhkannya. Sedang
INH dan treptomycin kurang dari 80.
Lebih Mahal
Seperti yang dikatakan AS Gunardi, dengan obat ini jangka
pengobatan lebih pendek. Hanya setengah tahun. Sedang dengan
obat lama sampai setahun. Digunakannya tablet dan bukan injeksi
(seperti pada obat lama) menurut anggapannya, "akan memperkecil
jumlah drop out." Meskipun diakuinya pengobatan baru ini jauh
lebih mahal. "Dengan INH-Streptomycin Rp 8.000 perorang selama
setahun. Dengan Rifampicin Rp 5.000 perorang untuk 6 bulan."
Kurang tabahnya penderita untuk menjalani masa pengobatan yang
sampai setahun, lemahnya aparat kesehatan, membuat pemerintah
kewalahan dalam menanggulangi penyakit TBC pada paru-paru ini.
"Saya sendiri kewalahan ketika masih duduk sebagai pejabat yang
menanganinya di tahun 60-an," kata dr Kusnadi, Ketua Perhimpunan
Pemberantasan Penyakit TBC Indonesia. Organisasi swasta yang
berusaha membantu kesulitan pemerintah tetapi dia juga tak
berdaya, "karena kurangnya biaya."
Gambaran penderita penyakit TBC di sini cukup mengkhawatirkan.
700.000 orang yang mengidapnya dalam taraf siap untuk ditularkan
kepada mangsa berikutnya. Jumlall ini berdasarkan penelitian
yang dilakukan WHO pada tahun 1961-1965. Dan tiap tahun muncul
sekitar 200.000 penderita baru. Sedangkan yang meninggal
separuhnya," kata Gunardi. Kalau hanya menilik pada jumlah dana
yang disediakan, boleh dibilang besar juga hasrat pemerintah.
Untuk tahun keempat Pelita 11 ini saja dianggarkan Rp 310 juta.
Kencing-nanah
Negara tetangga kita seperti India menunjukkan hasil yang lebih
baik dari kia sendiri. Soalnya menurut Gunardi, India punya
satu badan nasional yang secara khusus menanggulanginya.
Sedangkan di sini dikerjakan dalarn satu atap yang juga
menangani penyakit lain "Selain faktor pasien, taraf rumahsakit
kita juga berhadapan dengan minat dokter yang mungkin kurang
begitu besar terhadap TBC," katanya pula. Jadi perlukah satu
badan khusus untuk penyakit yang menggerogoti alat pernafasan
ini? "Saya tak bisa memberi jawaban. Karena itu menyanRkut
kebiiaksanaan pemerintah pusat," jawabnya.
Dia hanya ingin mengatakan bahwa penggunaan yang serampangan
untuk INH dan Streptomycin selama ini jangan terulang lagi untuk
obat baru dan ampuh seperti Rifampicin. Aba-aba ini dia utarakan
mengingat kenyataan banyaknya dokter dan orang awam yang .udah
menggunakan obat itu untuk penyakit kotor kencing nanah. "Kami
sudah berusaha untuk mengajak para dokter untuk tidak
menggunakannya terhadap penyakit tersebut." Lagi pula 'kan ada
obat lain untuk dia.
Kalau pemakaian obat baru yang merupakan obat pilihan yang
terakhir untuk TBC ini masih lepas juga dari pengawasan tak
terbayangkan bagaimana nasib para penderita di hari datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini