Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Jangan gagal lagi

Percobaan awal obat tbc rifampicin. hasilnya lebih ampuh dari inh, streptomycin. diakui obat baru ini lebih mahal. pemakaian obat ini pilihan terakhir bagi penderita tbc. (ksh)

3 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERCOBAAN lapangan untuk obat TBC lifampicin pada taraf paling awal sudah mengalami keterlambatan. Sampai akhir Agustus obat yang sudah dipesan dari pabrik Cibageigy itu masih tertumpuk di salah satu gudang Departemen Kesehatan, Jakarta. Padahal menurut rencana semula, obat itu udall harus sampai di lapangan sejak Juli Yang lalu. Obat tersebut akan dicobakan terhadap 2000 pasien TBC di seluruh Jawa, Bali, Kalimantan Barat dan Sumatera Barat. Apa yang dicemaskan sementara dokter akan jalannya percobaan itu jadi dapat angin. Mereka beranggapan pemberantasan TBC yang kurang berhasil selama ini dengan menggunakan streptomycin dan INH (yang jadi alasan percobaan ini), bukan disebabkan oleh kurang mampunya obat lama tersebut. Aparat yang lemah jadi penyebab (TEMPO 2 Juli 1977). Meskipun mereka mengakui bahwa keampuhan obat lama itu, terutama INH, sudah menurun sampai 35 persen. Tetapi timbulnya kekebalan penyakit terhadap obat itu pun tak lepas dari kurangnya pengawasan terhadap penggunaan obat tersebut oleh para dokter. "Seharusnya tidak setiap penyakit batuk dan kurang nafsu makan, terutama bagi anak kecil diberi INH. Penggunaan obat ini tidak pernah dicatat dengan baik, tak pernah ada kewajiban dokter untuk melaporkannya kepada pemerintah kalau dia menuliskan resep untuk obat tersebut. Pemakaian yang serampangan tentu saja bisa mengakibatkan kebalnya kuman penyakit,' kata seorang peserta dalam kongres penyakit paru beberapa waktu yang lalu, di Hotel Horison, Jakarta. Akan keterlambatan penyaluran Rifampicin tersebut ke berbagai daerah, Kepala Sub Direktorat Penyakit TB Paru, Depkes, dr AS Gunardi mengatakan: "Ini baru mulai, tentu ada kekurangan di sana-sini. Dan percobaan lapangan ini diadakan justru untuk mengetahui di mana kelemahan dan pelaksanaan pengobatan. Kalau memang ada." Peralihan dari obat lama ke obat baru nampaknya sudah menjadi ketetapan hati para pejabat Departemen Kesehatan. Apalagi percobaan klinis yang dilaksanakan di Malang dan Bali belum lama ini, menunjukkan hasil yang sangat memuaskan untuk Rifampicin. Lebih dari 90% penderita TBC paru yang disembuhkannya. Sedang INH dan treptomycin kurang dari 80. Lebih Mahal Seperti yang dikatakan AS Gunardi, dengan obat ini jangka pengobatan lebih pendek. Hanya setengah tahun. Sedang dengan obat lama sampai setahun. Digunakannya tablet dan bukan injeksi (seperti pada obat lama) menurut anggapannya, "akan memperkecil jumlah drop out." Meskipun diakuinya pengobatan baru ini jauh lebih mahal. "Dengan INH-Streptomycin Rp 8.000 perorang selama setahun. Dengan Rifampicin Rp 5.000 perorang untuk 6 bulan." Kurang tabahnya penderita untuk menjalani masa pengobatan yang sampai setahun, lemahnya aparat kesehatan, membuat pemerintah kewalahan dalam menanggulangi penyakit TBC pada paru-paru ini. "Saya sendiri kewalahan ketika masih duduk sebagai pejabat yang menanganinya di tahun 60-an," kata dr Kusnadi, Ketua Perhimpunan Pemberantasan Penyakit TBC Indonesia. Organisasi swasta yang berusaha membantu kesulitan pemerintah tetapi dia juga tak berdaya, "karena kurangnya biaya." Gambaran penderita penyakit TBC di sini cukup mengkhawatirkan. 700.000 orang yang mengidapnya dalam taraf siap untuk ditularkan kepada mangsa berikutnya. Jumlall ini berdasarkan penelitian yang dilakukan WHO pada tahun 1961-1965. Dan tiap tahun muncul sekitar 200.000 penderita baru. Sedangkan yang meninggal separuhnya," kata Gunardi. Kalau hanya menilik pada jumlah dana yang disediakan, boleh dibilang besar juga hasrat pemerintah. Untuk tahun keempat Pelita 11 ini saja dianggarkan Rp 310 juta. Kencing-nanah Negara tetangga kita seperti India menunjukkan hasil yang lebih baik dari kia sendiri. Soalnya menurut Gunardi, India punya satu badan nasional yang secara khusus menanggulanginya. Sedangkan di sini dikerjakan dalarn satu atap yang juga menangani penyakit lain "Selain faktor pasien, taraf rumahsakit kita juga berhadapan dengan minat dokter yang mungkin kurang begitu besar terhadap TBC," katanya pula. Jadi perlukah satu badan khusus untuk penyakit yang menggerogoti alat pernafasan ini? "Saya tak bisa memberi jawaban. Karena itu menyanRkut kebiiaksanaan pemerintah pusat," jawabnya. Dia hanya ingin mengatakan bahwa penggunaan yang serampangan untuk INH dan Streptomycin selama ini jangan terulang lagi untuk obat baru dan ampuh seperti Rifampicin. Aba-aba ini dia utarakan mengingat kenyataan banyaknya dokter dan orang awam yang .udah menggunakan obat itu untuk penyakit kotor kencing nanah. "Kami sudah berusaha untuk mengajak para dokter untuk tidak menggunakannya terhadap penyakit tersebut." Lagi pula 'kan ada obat lain untuk dia. Kalau pemakaian obat baru yang merupakan obat pilihan yang terakhir untuk TBC ini masih lepas juga dari pengawasan tak terbayangkan bagaimana nasib para penderita di hari datang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus