Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak kisah "menakjubkan" dalam dunia kedokteran di negeri ini. Kisah Nanda, bukan nama sebenarnya, adalah satu contoh. Dia mengalami cedera kepala lantaran tertabrak sepeda motor di jalanan. Tapi dokter yang menanganinya justru membedah perut Nanda yang sehat walafiat.
La?
Cerita bermula pada sebuah siang terik di kawasan Ciputat, Jakarta Selatan, setahun lalu. Kemacetan merata dari ujung ke ujung jalan. Saat itulah Nanda, 17 tahun, berjalan santai di trotoar sepulang sekolah. Mendadak sepeda motor datang menyeruduk dengan liar. Brak...! Nanda terlempar. Kepalanya membentur aspal.
Nanda yang pingsan segera dilarikan ke rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan. Di sana dia dibawa ke ruang gawat darurat. Untuk memastikan seberapa parah lukanya, dokter yang bertugas meminta perawat membawa Nanda ke ruang pemeriksaan kepala dengan alat pindai komputer CT scanner.
Entah kenapa, bukannya membawa Nanda ke ruang CT scanner, sang perawat malah mengusung Nanda ke ruang operasi. Kebetulan (atau celakanya), pada jam yang sama dan di ruang yang sama pula, tim dokter sedang bersiap melakukan operasi usus buntu. Kebetulan lagi, profil pasien usus buntu yang akan dioperasi mirip profil Nanda—sama-sama gadis berumur 17 tahun. Tanpa periksa ini dan itu lebih dulu, Nanda diusung ke meja bedah. Sang dokter pun sigap beraksi dengan pisau bedahnya. Kres..., usus buntu Nanda terpotong.
Tentu saja keluarga Nanda geram menanggapi kesembronoan ini. Adu tegang dengan pihak rumah sakit pun berlangsung. "Sempat pula orang tua Nanda mengadu kepada kami," kata Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI).
Setelah dilakukan penelusuran, pihak rumah sakit menyadari kekeliruan ada pada perawat. Manajemen rumah sakit kemudian meminta maaf dan Nanda diberi pelipur lara: dia boleh datang berobat sesuka hati, seumur hidup, tanpa harus membayar ongkos sepeser pun. "Bapaknya Nanda ini orang sederhana. Dia cukup puas dengan sikap rumah sakit. Tak ada niatnya untuk menuntut ke pengadilan," kata Marius.
Keluarga Nanda memang tidak mau memperpanjang soal, seperti cara yang dipilih korban-korban salah penanganan dokter yang lain. Pekan-pekan lalu, umpamanya, media massa dipenuhi berita tentang kesalahan diagnosis demam berdarah. Beberapa dokter keliru menafsirkan gejala demam berdarah dengue sebagai pertanda demam tifus. Dokter yang lain rancu membedakan antara demam berdarah dan radang tenggorokan. Akibatnya, pertolongan yang tepat tak dapat segera diberikan hingga tidak sedikit pasien yang keburu menemui ajal.
Seolah tak cukup dengan demam berdarah, dunia kedokteran diguncang beberapa kasus dugaan malpraktek yang melibatkan tokoh penting. Pengacara top Hotman Paris Hutapea, misalnya, bertekad menggugat dokter dan rumah sakit yang ia tuding melakukan malpraktek kepada istrinya. "Pokoknya, gua mau hajar mereka," katanya garang. Istri Hotman, Agustianne Sinta Dame Marbun, mengalami kerusakan ginjal yang diduga akibat salah pengobatan oleh dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Mitra Kemayoran.
Lalu ada lagi kasus yang tak kalah heboh. Kali ini korbannya adalah Irwanto, Direktur Lembaga Penelitian Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta Selatan. Doktor yang dulunya lincah dan penuh semangat ini berubah menjadi kurus kering. Tubuhnya lumpuh dari dada sampai kaki, yang diduga berawal dari kesalahan diagnosis yang dilakukan dokter di Rumah Sakit Internasional Bintaro. Seperti Hotman, Irwanto kini tengah serius menjajaki upaya membawa kasusnya ke pengadilan. "Saya ingin kasus ini menjadi proses pembelajaran publik," kata Irwanto.
Pembelajaran publik, ini juga kata kunci bagi Hotman Paris. Gugatannya tidak semata bertujuan mencari ganti rugi materi. "Buat apa? Rumah sakit juga bisa saya beli, kok," kata pengacara yang punya 60 rumah dan 15 mobil mewah ini. Langkah gugatan ini, menurut Hotman, adalah batu loncatan untuk membantu banyak korban malpraktek yang selama ini takut berteriak dan bertindak. Begitu gemasnya Hotman melihat kasus-kasus malpraktek, ia pun berjanji akan membantu para korban. "Sudah saya siapkan tim pengacara dan dokter untuk membantu mereka," kata dia.
Memang betul, kasus malpraktek tidak cukup dihitung dengan jari. Ada dokter yang meninggalkan kain kasa di dalam rahim pasien, dokter lain melupakan kateter yang tersisa di perut pasien, dokter berikutnya menunda persalinan hingga janin meninggal di dalam kandungan ibu, dan dokter yang lain lagi menjahit luka operasi dengan asal-asalan hingga si pasien terkena infeksi berat.
"Saya berani bertaruh, setiap minggu ada korban malpraktek dalam berbagai tingkatan di seluruh Indonesia," kata Marius Widjajarta. Maklumlah, pengawasan praktek kedokteran di negeri ini begitu longgar dan hanya bagus sebagai teori di atas kertas.
Sayangnya, hampir semua korban tidak memperkarakan kejadian yang menimpa mereka. Sebagian dari mereka tak tahu harus mengadu ke mana. Sebagian lainnya merasa tak sanggup menghadapi meja hijau yang pasti menyita banyak uang, waktu, dan tenaga. Tak sedikit pula yang memilih pasrah, menganggap sakit-sekarat-mati adalah bagian dari takdir.
Like Jetty Rondonuwu, 40 tahun, termasuk yang memilih pasrah dan tak mau repot berurusan panjang. Pada 2001, lutut kaki kiri Like cedera hingga harus menjalani operasi di RSUP Manado. Entah apa yang terjadi, dokter malah mengoperasi lutut kanan Like. Sehari setelah operasi, barulah dokter sadar telah melakukan kesalahan. Like pun kembali dioperasi, tapi kali ini gratis tanpa ongkos. Urusan pun selesai cukup dengan permintaan maaf.
Keengganan para korban berpanjang soal itulah yang membuat kasus-kasus malpraktek tak ubahnya seperti fenomena gunung es. Teramat sedikit yang menyembul ke permukaan, jauh lebih banyak yang terpendam di lautan dan kemudian terlupakan begitu saja. YPKKI, misalnya, pada 1998-2003 menangani 18 kasus malpraktek dan hanya dua di antaranya yang melaju ke pengadilan. Sisanya diselesaikan dengan mediasi mencari jalan damai.
Berdamai memang pilihan mudah bagi korban atau dokter. Pasien mendapatkan ganti rugi berupa materi, sementara dokter dan rumah sakit tak perlu risau dengan publikasi bernada miring di media massa. Tapi jalan damai inilah yang membuat fenomena gunung es tadi makin tak terlihat. "Selama orang cenderung terus memilih jalan damai, kita tidak akan pernah belajar menangani persoalan malpraktek sampai tuntas," kata Kartono Mohamad, mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia.
Jalan damai, Kartono menegaskan, tidak cukup membuat para dokter jeri melakukan kesembronoan. "Cukup dengan puluhan atau ratusan juta rupiah, urusan bisa selesai. Korban tutup mulut," katanya. Uang sejumlah itu bagi dokter atau rumah sakit ternama bukanlah masalah besar. Lain bila kasusnya dibawa ke pengadilan. Dokter dan rumah sakit akan menanggung dampak serius bila divonis bersalah. Hasilnya, mereka bakal berhitung panjang sebelum melakukan kecerobohan.
Tapi, harus diakui, membawa kasus malpraktek ke meja hijau memang bukan perkara gampang. Pertama, tentu, itu karena pengadilan kita sedang jatuh wibawa, bisa dibeli, dan rumah sakit serta dokter dianggap mewakili pihak yang sanggup membeli pengadilan. Tak aneh bila pasien merasa ngeper duluan jika harus berhadapan dengan rumah sakit yang bermodal raksasa.
Kedua, para penegak hukum belum tentu memahami teknis dan prosedur kerja dunia kedokteran. Kekurangpahaman ini bisa menyulitkan proses pembuktian kasus malpraktek yang memang melibatkan banyak sekali persoalan teknis kedokteran.
Dua pertimbangan itulah yang mendorong Ikatan Dokter Indonesia (IDI), melalui Rancangan Undang-Undang Praktek Kedokteran, mengusulkan adanya lembaga independen yang disebut "konsil kedokteran" atau general medical council. Lembaga ini kelak akan memiliki divisi yang khusus bertugas mengadili para praktisi dunia medis (medical court). Selain berisi hakim konvensional, pengadilan ini diperkuat barisan dokter yang kompeten. "Pengadilan inilah yang nantinya memutuskan apakah sebuah tindakan medis tergolong malpraktek atau tidak," kata Fachmi Idris, Wakil Ketua Pengurus Besar IDI.
Namun, sebagus dan seideal apa pun lembaga peradilan yang akan disiapkan, itu tak akan berguna tanpa diimbangi proses pembelajaran pada masyarakat. "Para dokter jangan sok kuasa dan menganggap pasien cuma perlu dicekoki obat," kata Kartono Mohamad. Komunikasi perlu dibangun demi optimalnya pengobatan.
"Pasien jangan mau lagi diam," saran Kartono. Seharusnyalah pasien mempertanyakan resep, dosis, dan jenis terapi kepada dokter dengan kritis. Cari pendapat kedua (second opinion) dari dokter lain sebagai pembanding. Ini memang agak susah karena sebagian masyarakat masih menilai posisi dokter begitu tinggi. Sedikit saja dokter melotot, mulut pasien seolah beku terkunci. Padahal dokter adalah juga manusia yang bisa keliru dan, karena itu, butuh dicereweti.
Iwan Dwiprahasto, ahli epidemiologi klinik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pernah melakukan riset pada 23 puskesmas di lima provinsi. Hasilnya, kesalahan medis mencapai 85 persen. Lalu, pada 2002, Iwan menggelar penelitian pada 12 rumah sakit yang ada di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kesimpulannya cukup mengagetkan: kesalahan medis (medical error) pada 12 rumah sakit itu sampai 88 persen.
Kesalahan medis yang terjadi meliputi keliru diagnosis, obat tak tepat, salah menetapkan dosis obat, bahkan sampai salah operasi. Salah satu medical error yang sepintas tampak remeh adalah kebiasaan perawat melubangi tabung infus—supaya tabung kempis—dengan tusukan jarum. Maksud si perawat tentu agar air infus menetes lancar. Padahal, "Tindakan ini tak bisa dibenarkan karena cairan infus jadi terkontaminasi dengan udara luar yang penuh bakteri," kata Iwan. Akibatnya, si sakit malah mendapat tambahan pasokan bibit penyakit, kesembuhan makin lama diraih, dan bukan mustahil pula muncul komplikasi yang fatal.
Risiko yang disebabkan oleh kesalahan medis memang tidak main-main. Di Amerika Serikat saja, angka kematian akibat medical error diduga mencapai 100 ribu per tahun—angka kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan kematian gara-gara kecelakaan lalu lintas dan HIV/AIDS. "Kondisi Indonesia mungkin saja lebih buruk," kata Iwan.
Nah, mengingat begitu gawatnya risiko kekeliruan medis, tak ada alasan bagi pasien untuk tidak terlibat aktif dalam pengobatan. Jika kemudian terjadi kesalahan medis, jangan pula ragu mempersoalkannya, kalau perlu sampai pengadilan. Tujuannya adalah menekan kecerobohan petugas medis dan ujung-ujungnya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Memang, dibutuhkan nyali teguh untuk maju ke pengadilan. Perlu dukungan keluarga, kawan, dan kerabat. Mungkin juga Anda perlu menggandeng lembaga swadaya masyarakat seperti YPKKI dan berbagai lembaga bantuan hukum. Bisa pula Anda menagih janji Hotman Paris Hutapea untuk membantu korban malpraktek.
Mardiyah Chamim, Nunuy Nurhayati, Syaiful Amin (Yogyakarta), Verrianto Madjowa (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo