Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria kurus itu telentang di kursi rotan panjang. Kecuali dua tangan dan kepalanya, seluruh tubuhnya lumpuh. "Tubuh saya memang seperti gedebok pisang (mati rasa), tapi otak saya 100 persen normal," katanya saat ditemui di ruang Lembaga Penelitian Universitas Katolik Atma Jaya, pekan lalu. Meski lumpuh, ia memang masih mengajar.
Malapetaka itu datang pada 27 Juli tahun lalu. Sepulang dari kantor, Irwanto merasa dada dan belikat kirinya sakit. Malam itu juga ia pergi ke Rumah Sakit Internasional Bintaro (RSIB). Saat diperiksa, tensi darahnya tinggi: 170/90. Dokter jaga menyarankan agar ayah dua anak ini menginap di intensive cardiac care unit (ICCU). "Jantung Anda perlu diobservasi," kata dokter.
Dua jam kemudian, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah datang. Entah atas pertimbangan apa, Irwanto diberi Lovenox, obat untuk pasien sakit jantung. Esok harinya, kepada Irene Ramman, istri Irwanto, dokter menjelaskan bahwa bilik jantung kiri atas depan sang suami tersumbat. Ia harus diinfus streptokinase sebanyak 1,5 juta international unit (IU) seharga Rp 4,8 juta sekali infus. Irene tak keberatan.
Tiga jam kemudian, Irwanto merasa tengkuknya sangat sakit, padahal sakit di dada belum hilang. Tapi, tak lama setelah itu, ia mati rasa. Lalu malamnya Irwanto mengalami perdarahan luar biasa.
Dokter jantung RSIB pun panik. Irwanto di-scan malam itu juga di Rumah Sakit Gleneagles, Karawaci, Tangerang. Besoknya, dokter jantung datang bersama dokter saraf dan ahli bedah saraf. Kesimpulan mereka, ada penekanan di tulang belakang (spinal infarct), pada bagian C3-C4, sekitar tengkuk. Itu, menurut dokter, terjadi karena ada darah atau daging tumor. Irwanto pun disarani dioperasi.
Berubah-ubahnya kesimpulan dokter itu membuat panik sang istri. Irene mengontak keluarga dan kenalannya. Ada kolega yang menyarankan agar dia mencari second opinion ke Padmosantjojo, guru besar bedah saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Setelah melihat hasil MRI, profesor itu menyarankan pembatalan operasi.
Anehnya, Irwanto terus digenjot obat jantung Lovenox. Dua hari kemudian, dokter malah meminta Irene membeli Aggrastat. Ini obat jantung juga. Fungsinya mirip streptokinase: mencegah penggumpalan darah. Harganya sekitar Rp 7 juta. Begitu diberi Aggrastat, Irwanto kembali mengalami perdarahan.
Tak tahan dengan perlakuan dokter RSIB, Irwanto minta pindah ke rumah sakit di bilangan Kuningan. Di rumah sakit baru ini, Irwanto didiagnosis ulang. Kali ini vonisnya dia terinfeksi cytomegalovirus (CMV). "Penyakit apa lagi?" pikir Irwanto. Sementara Lovenox tetap jalan, tubuh Irwanto malah dibanjiri obat virus. Dari hari ke hari, kondisinya makin buruk. Bertahan dua minggu, Irwanto akhirnya minta berobat ke Singapura.
Pada 18 Agustus 2003, Irwanto masuk Tan Tock Seng Hospital, bagian National Neurology Institute (NNI). Di sana, ia diperiksa ulang total. Kesimpulan Dokter Lee Tze Haur, jantung Irwanto normal. Tapi dokter Singapura heran mengapa pasiennya sampai lumpuh.
Akhirnya, tim dokter Singapura menyimpulkan streptokinaselah biang masalahnya. Obat itu bersifat koagulat atau mengencerkan darah yang tersumbat. Karena nadi dan arteri Irwanto tak tersumbat, darah pun menekan ke mana-mana. Akibatnya, arteri di tengkuk Irwanto dan pembuluh darahnya pecah.
Penyandang gelar Ph.D. bidang psikologi dari Purdue University, West Lafayette, Indiana, Amerika Serikat, itu kini meminta pertanggungjawaban RSIB dan dokternya. RSIB diminta mengundang tim ahli untuk membuktikan ada atau tidaknya kesalahan diagnosis. "Jadi, bukan hanya saya yang bilang salah," ujar dia. Jika ini mentok, Irwanto akan menempuh upaya hukum. "Kalau kasus saya jadi pembelajaran buat publik, target saya sudah tercapai," ujar dia.
Pihak RSIB sejauh ini belum memberikan penjelasan resmi. Beberapa kali dihubungi, telepon genggam dokter yang pernah merawat Irwanto tak pernah aktif. Pernyataan singkat datang dari Manajer Pemasaran RSIB, Nailufar. Pihak RSIB, katanya, belum bisa memberikan keterangan karena tim pengacara mereka masih berdialog dengan tim pengacara Irwanto.
Ajal Mengintip di Ruang Bedah
Edyson Gultom terus mondar-mandir di depan pintu ruang steril operasi. Bayangan ruang operasi yang akan dia masuki beberapa menit lagi seperti sangat mengganggunya. Untuk menguras cemas, Gultom memencet-mencet nomor telepon genggamnya. Keluarga yang mengantarnya sempat mendengar Gultom meminta stafnya melaporkan urusan bisnis yang tertunda.
Tak dinyana, itulah "adegan" perpisahan Gultom, 58 tahun. Setelah dioperasi dan sadar beberapa jam, Gultom mengalami koma. Selama berhari-hari, jantungnya hanya bekerja dengan bantuan mesin pemacu. Empat hari kemudian, 16 Desember 2003, ia meninggal di intensive care unit (ICU) sebuah rumah sakit internasional di Jakarta Utara.
T. Gadjah Adi, sang menantu, menguraikan kejadian yang menimpa mertuanya. Awalnya adalah diagnosis dokter tentang tumor kecil di kepala bagian belakang Gultom, dekat otak. Dokter menyarankan agar tumor itu segera diangkat. Namun Gultom menolak. Di samping menganggap penyakitnya masih ringan, ia sangat takut dioperasi. Maklum, Gultom punya masalah lemah jantung bawaan.
Pertengahan Juli 2003, Gultom mulai mengeluhkan banyak gangguan kesehatan: kepala pusing, keseimbangan badan terganggu. Ia berkali-kali berkonsultasi ke dokter. Rekomendasinya selalu sama: tumor harus diangkat. Gultom dan keluarganya baru memutuskan operasi enam bulan kemudian. Itu pun dengan jaminan dokter bahwa peluang keberhasilan operasi di atas 80 persen.
Tapi janji manusia tinggallah janji. Setelah menyerahkan nasib ke pisau bedah, Gultom pergi untuk selamanya. Yang membuat keluarganya meradang adalah proses sebelum, selama, dan sesudah operasi. Keluarga tak puas atas kurangnya tanggung jawab dokter dan buruknya pelayanan rumah sakit. Buntutnya, 25 Januari lalu, sang istri, Meity Johana Moningka, melaporkan rumah sakit itu ke Departemen Kesehatan, DPR, dan Kepolisian Resor Jakarta Pusat.
Ada sejumlah hal yang dipermasalahkan. Saat operasi, misalnya, dokter yang menjadi ketua tim bedah sempat meninggalkan rumah sakit. Penjelasan dia saat itu, proses operasi tahap awal sudah sukses. Tapi itu tak membuat keluarga tenang. Pihak keluarga juga mempersoalkan sikap tim rumah sakit yang menyepelekan catatan kesehatan pasien. Pihak rumah sakit tak pernah menjelaskan secara rinci hasil observasi pra-operasi serta risiko operasi. Keluarga juga menggugat, mengapa pihak rumah sakit tak melibatkan dokter jantung yang pertama kali memeriksa Gultom dalam tim bedah.
Hal lain yang dipermasalahkan, ketika kondisi Gultom makin parah, pihak rumah sakit malah menyarankan agar pasien dipindahkan ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Alasannya, jantungnya pun harus dioperasi. "Kami tak mau. Kami melihat ada upaya lepas tangan," ujar Gadjah.
Kini Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara memfasilitasi dialog antara keluarga dan pihak rumah sakit. Pihak rumah sakit, kata Gadjah, pernah menawarkan jalan damai. Kompensasinya, biaya operasi dan perawatan—sekitar Rp 130 juta—dibebaskan. Namun keluarganya belum menerima.
Ketika Rahim Nyaris Diangkat
Semua bermula pada sekitar Agustus 2003. Saat itu, Agustianne Sinta Dame Marbun, 45 tahun—istri pengacara kondang Hotman Paris Hutapea—rutin berkonsultasi dengan seorang dokter spesialis kandungan di Rumah Sakit Mitra Kemayoran. Atas petunjuk dokter ini, kemudian dilakukan beberapa kali pemeriksaan laboratorium.
Dalam pemeriksaan terakhir pada 29 September 2003, sang dokter menjelaskan bahwa dari hasil diagnosisnya diketahui ada infeksi dan gejala prakanker (Cin II-III) di mulut rahim Anne. Menurut Hotman, dokter lalu mengatakan bahwa cara pengobatan terbaik untuk menyingkirkan sel-sel prakanker adalah mengangkat rahim Anne, termasuk membuang sepertiga bagian dalam vagina.
Sebelum pengangkatan dilakukan, dokter memberikan obat antibiotik ciprofloxacin untuk menghilangkan infeksi dengan dosis tiga kali sehari selama tujuh hari, masing-masing berkadar 1.500 miligram per hari. Obat ini pun ditelan Anne mulai 4 November 2003. Empat hari kemudian, "Istri saya muntah-muntah hampir tiap lima menit dan terus berlanjut seminggu kemudian," kata Hotman. Akhirnya, Anne dirawat di Rumah Sakit MMC, Kuningan. Dari sanalah ketahuan, "Fungsi ginjal istri saya menurun sampai tinggal 18 persen dan unsur kreatin darahnya sudah mendekati tujuh," kata Hotman. Padahal, menurut pengacara kepailitan ini, kadar kreatin normal hanya sekitar 1,2.
Karena merasa tidak puas, Anne dibawa ke Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura. Oleh dokter ahli ginjal di sana, Lye Wai Choong, dijelaskan bahwa penurunan fungsi ginjal istrinya itu akibat ada kesalahan dari sesuatu yang dimakannya. Lalu Lye Wai Choong menyimpulkan bahwa gagal ginjal tersebut akibat pemakaian antibiotik dosis tinggi ciprofloxacin. Akhirnya, setelah opname sepuluh hari, soal ginjal Anne teratasi.
Beres dengan ginjal, dokter kandungan memeriksa rahim Anne. "Tidak ada infeksi," kata Hotman. Oleh dokter kandungan itu, Kek Lee Phin, Hotman diberi tahu bahwa memang ada infeksi yang menyulut gejala prakanker, tapi belum sampai kanker. Kek Lee Phin kemudian melimpahkan Anne ke dokter spesialis kanker, A. Ilancheran.
Oleh dokter ahli kanker di Singapura ini, menurut Hotman, disebutkan bahwa dengan adanya gejala Cin II (prakanker) di mulut rahim, tidak ada alasan untuk mengangkat rahim seperti saran dokter di Indonesia. "Cukup dilaser satu kali dan hanya sepuluh menit, persoalan itu bisa diatasi," ujar Hotman, "Enggak ada angkat-angkatan dan tidak disuruh lagi datang."
Hotman berang bukan buatan. Ia menuding dokter di Indonesia melakukan beberapa kesalahan. Pertama, dokter tidak menceritakan ada alternatif selain mengangkat rahim, yakni dengan laser. Menurut Hotman, pihak rumah sakit beralasan tidak memiliki alat itu. "Lo, kenapa tidak memberikan rujukan ke dokter lain?" ujar Hotman jengkel. Kesalahan kedua, ketika dokter kandungan tadi sudah melihat prakanker, "Kenapa tidak menunjuk ahli kanker kayak di Singapura?" ujarnya gemas.
Kesalahan berikutnya adalah hasil diagnosis yang mengatakan rahim harus diangkat. "Ternyata tidak perlu," kata Hotman. Kesalahan keempat, tidak ada pengawasan atas pemberian antibiotik dosis tinggi. Sebab, menurut dokter di Singapura, "Pemberian antibiotik dosis tinggi seharusnya diawasi ketat," ujarnya.
Pihak Rumah Sakit Mitra Kemayoran hingga pekan lalu memilih tutup mulut. Tak cuma menolak menjawab wawancara, Manajer Humas Rumah Sakit Mitra Kemayoran, A. Ekaross P. Kardia, melimpahkan soal ini ke Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Jakarta, yang telah mengeluarkan putusan menyangkut persoalan ini. Melalui persidangan pada 31 Desember 2003, mereka menyatakan bahwa dokter bersangkutan telah melakukan praktek sesuai dengan prosedur yang berlaku dan tidak terbukti melanggar etik kedokteran.
Jajang Jamaludin, Agus Hidayat, Ucok Ritonga, Nunuy Nurhayati (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo